Dua mobil melaju beriringan di jalan tol yang sepi. Diana bersandar miring memandangi Alex sepanjang perjalanan. Enggan sekali kalau harus berpisah lagi.
"Kamu yakin papa mau bicara denganmu?" tanya Diana. "Selain ayah kan masih ada ibumu. Cara lain untuk mendekati lelaki adalah melalui wanitanya." "Ohh..." Diana tidak menyangka jawaban Alex. "Aku tidak akan menyerah, Princess." Alex menggenggam tangan Diana. Siapakah lelaki di sampingnya ini? Pikiran Diana melayang pada saat mereka pertama kali bertemu. Alex memberi kesan yang menakutkan karena sikap agresifnya. Setelah beberapa waktu mengenalnya ternyata Alex memiliki hati yang baik dan menghargai. Diana berharap semoga Benyamin dapat melihat diri Alex di balik penampilan yang terkesan cuek. Ketegangan membuat Diana terjaga sepanjang perjalanan, padahal biasanya dia mengantuk dan tertidur sebentar. Keluar dariSore hari ketika Alex harus pulang... "Aku akan sering berkunjung," janji Alex. Mata Diana berkaca-kaca, "Janji?" "Janji, Sayang..." Alex mencium pipi Diana setelah yakin tidak ada yang melihat. "Baiklah. Hati-hati di jalan." Diana enggan melepas tangan Alex. Alex mencium tangan Diana, "Nikmati waktumu disini. Aku akan menelepon nanti malam." "Iya." Diana menunggu di gerbang sampai mobil Alex menghilang dari pandangan. Mikaela berjalan tanpa suara ke sisi Diana. Mereka menghela nafas berbarengan. Diana terlonjak kaget, "Mama? Bikin kaget saja." "Dasar anak muda. Untung papamu tidak melihat adegan cium pipi tadi, kalau tidak dia bisa berlari keluar dengan golok di tangan," goda Mikaela. Diana tertawa malu. "Sudahlah, Nak. Dia pasti akan kembali kok. Ayo kita masuk, sudah sore." Mikaela
Pagi-pagi sekali Diana terbangun oleh gedoran di pintu. Dilihatnya handphone sudah mati kehabisan daya. Diana langsung menancapkan kabel charger. Dia membenahi pakaian tidurnya dan membuka pintu. Mikaela berdiri dengan wajah pucat. "Ada apa, Ma?" Diana langsung merasa ada yang tidak beres. "Ada yang melempar sesuatu ke dalam pagar," kata Mikaela lirih. "Apa itu?" Mikaela tidak menjawab. Mereka berdua bergegas turun menuju pusat kehebohan. Penjaga dan karyawan lain berkerumun di pekarangan. Jack tampak berdiri di antara mereka. Diana berlari menghampiri, tangannya menepuk bahu Jack, "Ada apa?" "Nona, sebaiknya jangan dilihat," kata Jack. Wajahnya tanpa ekspresi. Diana melongok ke tengah kerumunan. Kelihatannya ada sebuah kotak kardus besar. Mata Diana terbelalak melihat isinya. Gambaran itu tertanam dalam otak Diana, membuatnya bergidik jijik. Bangkai t
Suara jeritan wanita terdengar sayup dari dalam rumah. Niko berjalan mondar-mandir dengan gelisah. Hasratnya bangkit mendengar suara-suara itu. Han adalah binatang yang tak terpuaskan. Wanita-wanita yang dipaksa melayani bos mereka terkadang harus kehilangan nyawa karena kebuasan lelaki tua itu. "Lakukan sekarang," perintah Niko lewat handphone. Niko memerintahkan anak buahnya untuk membakar tumpukan ban di depan rumah Benyamin Hartanto. Mereka kenal Benyamin, seorang konglomerat dengan masa lalu yang kelam. Kalau bukan karena Alexander mereka tidak akan mengganggu konglomerat itu. Niko tahu dengan kekayaan yang dimiliki, Benyamin dapat mengimbangi kekuatan kelompok hitam. Di depan rumah Benyamin beberapa orang bergerak. Mereka melempar beberapa ban bekas yang dibawa. Saat salah seorang dari mereka hendak menyulut api, polisi menyergap. Kejadiannya sangat cepat. Satu orang lolos karena saat pen
"Silakan. Yang paling tua boleh memulai dulu." Alex tersenyum. Penampilan Han boleh terlihat seperti lelaki tua, tapi gerakannya luwes dalam pertarungan. Langkah kakinya ringan seolah tak berbobot. Hanya butuh dua langkah lebar bagi Han untuk memperkecil jarak sejauh dua meter antara dirinya dan Alex. Alex sudah mengantisipasi tapi dia masih terkejut. Dia menghindar ke samping saat Han melayangkan telapak tangan ke kepala. Besi menghantam dada Han dengan keras, membuatnya mundur selangkah. Alex tidak membuang waktu, batang besi di tangannya berputar, menusuk, memukul tubuh Han bertubi-tubi. Han berteriak keras dan melancarkan serangan balasan. Alex menangkis tepat waktu. "Kamu sudah bertambah tua. Cuma segitu pukulanmu?" ejek Alex. "Siapa yang tertawa paling akhir itulah pemenangnya," kata Han. Satu sentakan dan bajunya pun robek, menunjukkan tubuh tua yang masih
"Kapan pulang??" tanya Benyamin dengan galak. "Pa, aku janji akan pulang kalau Alex sudah pulih. Sekarang biarkan aku merawatnya. Dia terluka karena menghadapi orang-orang yang meneror rumah Papa," bujuk Diana. Benyamin terdiam sesaat, "Baiklah! Tapi hanya kali ini saja Papa ijinkan kamu berdekatan dengannya!" "Iya Pa." Diana tersenyum. "Ehm, bagaimana Nona? Pak Ben mengijinkan?" tanya Jack penasaran. "Iya. Sampai Alex pulih." Diana meletakkan handphone di meja. "Hah! Kamu beruntung, Vorst." Jack tertawa. "Aku bersyukur." Alex tersenyum senang. Jack meninggalkan kamar untuk cari angin. Alex tahu Jack sengaja keluar untuk memberi privasi padanya dan Diana. "Sakit banget ya?" tanya Diana dengan wajah sedih. "Masih bisa ditahan. Aku pernah beberapa kali mengalaminya meskipun tidak sepa
"Temani aku tidur," bujuk Alex. "Kamu bisa manja juga ya?" "Hmmm... Kapan lagi? Mumpung ada kesempatan." Diana memanjat ke tempat tidur dan rebah di sisi kiri Alex, "Begini cukup, Kakak?" Dia menahan tawa. Alex mengerang, "Aku benar-benar disiksa. Kamu tahu kan aku sulit tertawa?" "Iya, maaf. Habisnya kamu manja sih. Ini sudah hari ke berapa sih kamu istirahat?" "Baru satu minggu, Princess. Aku butuh waktu sekurangnya satu bulan untuk pulih seratus persen." "Satu bulan ya. Setelah itu aku harus pulang." Diana bersandar di dada Alex. Alex melingkarkan lengan di punggung Diana. Dia menahan nyeri untuk menarik Diana mendekat. "Sakit ya?" tanya Diana. "Masih bisa ditahan. Aku sudah terbiasa." "Kamu tidak mau minum obat dokter?" "Obat pereda nyeri me
Benyamin menelepon Diana setiap hari untuk memastikan keadaan. Keinginannya adalah supaya Diana cepat pulang ke rumah. Sebagai ayah dia sangat mengkhawatirkan putrinya yang berada jauh. Kondisi tubuh Alex yang kuat membuatnya pulih lebih cepat. Tidak sampai satu bulan dia sudah dapat bergerak normal. Diana tahu waktu perpisahan sudah ada di depan mata. "Kenapa tidak sakit lebih lama sih...," rajuk Diana. "Apa? Kamu senang kalau aku sakit?" Alex tertawa. "Biar aku tidak usah pulang..." Mata Diana berkaca-kaca. "Princess, jangan berkata begitu," Alex mengusap airmata yang jatuh di pipi Diana, "Aku juga tidak ingin berpisah, tapi kita harus menunjukkan pada ayahmu bahwa kita dapat menepati janji." "Aku tahu..." Diana terisak. "Aku akan mengantarmu pulang." "Kapan? Sekarang?" Alex mengangguk.
"Terima kasih sudah mengijinkan Diana merawat saya selama beberapa minggu. Saya tidak akan melupakannya," kata Alex. Ben mendengus, "Sekarang kita impas. Tidak ada beban sama sekali jika kita berpisah jalan. Hidup putri kami masih panjang dan kami sebagai orangtua tidak ingin Diana berada di tengah pertikaian antara dirimu dan lawan-lawanmu di dunia hitam." "Benar. Maafkan saya atas keresahan yang ditimbulkan, tapi saya akan berusaha supaya tidak ada lagi yang akan mengganggu Diana," tutur Alex dengan wajah datar. "Aku juga tidak keberatan kok, Pa," timpal Diana. Ben mendelik, "Kamu jangan ikut campur! Masuk ke kamarmu!" "Papa kan sedang membicarakan hidupku? Ya tentu aku ikut bicara dong?" balas Diana. "Benar-benar...." Ben menggertakkan gigi. Mikaela meletakkan tangan di lengan suaminya. Sejak awal pembicaraan wajahnya sangat tenang.