“Sembarangan, siapa yang pakai dukun!” bantah Ardhan dengan tegas.
“Jangan bohong, tidak mungkin karirmu tiba-tiba melejit. Kamu itu hanya tukang tagih lalu bagaimana bisa dipercaya sebagai perwakilan kantor,” lanjut Jundi, teman baik Ardan yang sekarang berubah menjadi pembencinya.
“Aku berusaha untuk menjadi lebih baik, aku –“
“Apanya yang berusaha menjadi lebih baik, kamu pasti pakai ilmu hitam. Di mana kamu ketemu dukun itu?”
“Jangan asal tuduh ya!”
“Ada apa ini?” tanya Pak Bobby yang tiba-tiba datang dan berdiri di belakang Jundi.
Mengetahui ada atasannya, Jundi lantas pergi begitu saja tanpa mengatakan sepatah kata pun. Sedangkan Ardhan hanya bisa tersenyum simpul melihat tingkah musuhnya itu. Lelaki itu lalu mendekat ke arah Pak Bobby.
“Dhan, mulai besok kamu tidak usah menagih konsumen lagi. Kamu fokus pada projek kerjasama kita saja,” titah lelaki paruh baya itu.
“Te –tapi Pak, bukannya ad-“
“Ini perintah kantor, wajib untuk kamu laksanakan, Ardhan,” ujar Pak Bobby memotong ucapan anak buahnya. Tak ada yang bisa lelaki itu lakukan kecuali melaksanakan tugas berat tersebut. Usai mengatakan hal tersebut, sang atasan mengijinkan Ardhan untuk pulang.
Meja kerjanya sudah rapi, kini saatnya untuk lelaki untuk kembali ke rumahnya. Begitu ia keluar dari ruangan berbarengan dengan para pegawai yang lain. Ardhan sadar masih banyak karyawan yang membicarakannya, sehingga ia berjalan dengan menutup kedua telinganya.
Akhirnya Ardhan bisa bernapas lega ketika sudah sampai di tempat parkir. Ia menyalakan motor bututnya dan mulai meninggalkan area kantor. Di tengah perjalanan menuju rumah, tak sengaja ekor mata Ardhan melihat si kakek misterius tersebut.
“Aku harus kejar kakek itu,” tekad Ardhan. Lelaki berusia 23 tahun itu segera memutar arah untuk mengejar pria tersebut. Ardhan tak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini, sudah banyak pertanyaan dalam benaknya yang harus mendapatkan jawaban.
Jarak antara Ardhan dan si Kakek tidak begitu jauh namun entah mengapa ia tak bisa mengejar pria itu sekencang apapun Ardhan memacu kendaraannya. Ardhan terus mengikuti kakek tua tersebut hingga tanpa sadar dirinya berada di tempat yang asing. Seketika ia menghentikan laju kendaraan lalu melihat pemandangan sekelilingnya.
Di kanan dan kirinya terdapat tanah yang luas, tentu saja itu membuat Ardhan bingung. Lelaki itu merasa tak mungkin di kota besar padat penduduk seperti itu masih lahan kosong sebesar itu. Rasa takut membuat dirinya memutuskan untuk berbalik arah dan tidak mengejar sosok kakek itu lagi.
Keadaan sekitarnya yang minim pencahayaan membuat Ardhan kesulitan menemukan jalan pulang. Rasa takut dan bingung juga ikut membuat keadaan menjadi lebih buruk. Beruntungnya ia bertemu dengan seorang penjual nasi goreng. “Permisi Bang,” sapa Ardhan. “Numpang tanya, jalan keluarnya sebelah mana ya?” lanjutnya setelah mendapatkan respon dari penjual tersebut.
“Lurus aja bang, kira-kira seratus meter lalu belok kanan,” jelas penjual tersebut.
“Terima kasih bang,” sahut Ardhan, ia kembali memacu kendaraannya.
Lelaki itu sudah mengikuti arahan yang dikatakan oleh penjual tersebut namun ia belum juga menemukan jalan keluarnya. Kepanikannya bertambah ketika ia mendengar suara perempuan menangis, semakin lama suaranya makin terdengar kencang.
Ardhan tak berniat untuk mencari keberadaan wanita tersebut sayangnya sorot lampu motornya mengarah pada satu sosok perempuan yang duduk tertunduk di pinggir jalan. Kini Ardhan dalam kebingungan antara ingin menghampiri sosok itu atau meneruskan perjalanannya.
Rasa kemanusiaannya lebih mendominasi, lelaki itu kemudian menghampiri sosok itu. Dengan gugup Ardhan menyapa dan bertanya pada sosok itu. “Permisi mbak, sedang apa di sini? Kenapa menangis?”
Sosok perempuan itu berhenti menangis dan perlahan bangun dari posisi duduknya. Kini mereka sudah sama-sama berdiri, Ardhan memundurkan langkahnya saat matanya beradu dengan mata perempuan itu. Ia melihat warna yang berbeda lagi dan hal itu membuatnya terkejut.
“Bisa tolong saya, Mas? Saya mau pulang,” lirih perempuan itu.
“Pu –pulang? Pulang ke mana? Kenapa bisa di sini?” sahut Ardhan, dengan sedikit takut.
“Saya ditinggalkan pacar saya di sini, bisa antar saya pulang?”
Ardhan tak langsung mengiyakan permintaan wanita itu, dia sibuk meneliti apakah lawan bicaranya itu sungguh manusia atau makhluk lain. Karena Ardhan tak kunjung menjawab, perempuan itu kembali menangis dan mengulang perkataannya.
“Begini mbak, saya juga tidak tahu jalan pulang. Nanti bagaimana kalau kita berdua tersesat lebih jauh?“ ujar Ardhan, ia berusaha menjelaskan keadaannya.
“Tidak apa-apa mas, kita bisa cari jalan pulang berdua. Yang penting saya tidak sendirian lagi.”
Ardhan dan perempuan itu lalu berjalan beriringan mencari jalan keluar dari tempat itu. Tak ada pembicaraan di antara mereka, banyak hal yang dipikirkan oleh pria itu. Salah satunya mengenai bola mata perempuan yang ada di sampingnya itu.
“Bola matanya unik, biru dan kuning, apa arti warna itu ya?” batinnya.
Perempuan itu menoleh ke arah Ardhan seakan tahu jika lelaki itu sedang memikirkannya. “Kenapa Mas?” tanya perempuan itu. Tentu saja Ardhan menjadi salah tingkah, ia hanya bisa tersenyum simpul. “Ada yang salah dengan saya?”
“Nggak kok mbak,” sahut Ardhan cepat. “Silakan naik,” ajak Ardhan, perempuan itu seketika langsung mengambil posisi di belakang lelaki itu. Motor tua itu kembali menyala dan melanjutkan pencarian jalan pulang.
Ardhan memberanikan diri untuk memulai percakapan. Ia menanyakan nama serta alasan mengapa wanita itu ditinggalkan di tempat tersebut.
“Kami bertengkar Mas dan seperti biasa setiap kami ribut besar, pacar saya selalu menurunkan saya di jalan.”
“Memangnya kalian dari mana?”
“Saya menemani pacar saya melihat lokasi proyek yang sedang ia tangani di tempat itu,” jawab perempuan tersebut. Ardhan menganggukkan kepalanya, ia semakin bersimpati dengan perempuan tersebut. Lelaki itu lantas bertanya mengenai alamat rumah perempuan bernama Kinanti. Ternyata rumah perempuan itu tak jauh dari rumah Ardhan.
Karena terlalu asyik mengobrol sampai tak terasa kalau mereka sudah hampir tiba di tempat tujuan. “Rumahku yang berwarna biru,” ujarnya. Belum sampai tempat tujuannya, Kinanti meminta Ardhan untuk mematikan motornya. “Itu pacar saya Mas,” tunjuk kinanti pada sosok laki-laki yang berdiri di depan pagar rumahnya.
Ardhan memperhatikan sosok itu berulang kali. Ciri-cirinya sama dengan seseorang yang dia kenal. “Itu pacar kamu? Siapa namanya?” tanya Ardhan untuk memastikan jika dugaannya benar.
“Nama pacarku adalah ...” kalimat Kinanti terpotong karena tiba-tiba saja perempuan itu turun dari motor lalu menghampiri sosok yang disebut sebagai pacarnya itu. Ardhan yang masih penasaran terus memperhatikan kedua orang itu.
ia semakin yakin jika pacar Kinanti adalah orang yang dikenalnya karena suara pria itu cukup familiar untuknya. Ardhan yang tidak ingin mencampuri urusan percintaan klien-nya, ia memutuskan untuk segera pergi. Namun ketika dirinya sedang berusaha menyalakan mesin motor tiba-tiba sorot lampu mobil mengarah kepadanya.
“Hei kamu!!"
“Hei Kamu! Ngapain di sana! Nguping!”Suara teriakan kekasih Kinanti membuat Ardhan terkejut. Begitu mesin motornya menyala, Ardhan segera angkat kaki dari tempat itu. Untung saja dirinya tahu jalan alternatif menuju rumahnya. Dalam waktu yang singkat Ardhan sudah sampai rumahnya.“Baru pulang, Boss? Abis meeting sama Tuan Takur ya?” sindir sang Ibu ketika ia membuka pintu rumah. “Salesman biasa kok pulang malam terus. Apa sih yang kamu lakukan di kantor? Lembur terus tetapi duitnya nggak ada. Heran.”Ardhan mengabaikan omelan ibunya yang masih berlanjut. Ia langsung merebahkan punggungnya di ranjang ketika sudah berada di dalam kamar. Lelaki itu memejamkan mata, banyak pikiran yang bermunculan. Terutama tentang kekasih Kinanti, jika tebakannya benar maka ia harus bersiap menghadapi lelaki tersebut.Membayangkan bekerja sama dengan pria seperti itu saja membuat lelaki itu frustasi. Ia mengacak rambutnya dengan kasar, dengusan kesal keluar begitu saja dari mulutnya. Ardhan tak ingin be
Ardhan menghela napas panjang setelah membaca pesan singkat tersebut. Belum selesai tugas dari kini Prama ikut memberikan titah padanya. Lelaki itu ingin Ardhan untuk menyambut investor atasannya yang datang ke lokasi pembangunan proyek mereka.Lelaki itu melangkah secepat mungkin untuk kembali bekerja, menyelesaikan tugas dari Pak Bobby. Setelah itu, Ardhan mempersiapkan diri untuk menyambut tamu mereka. Namun tamu yang ditunggu tak kunjung datang.“Pak Prama, apakah tamu kita tidak jadi datang?” tanya Ardhan pada Prama ketika lelaki itu kembali.“Saya sudah bertemu dengan investor kita tadi, kami makan siang bersama. Maaf karena saya lupa memberitahu Pak Ardhan,” jelas Prama.“Oh begitu,” timpal Ardhan singkat. Entah mengapa muncul rasa kecewa dihatinya. Ia sudah mempersiapkan diri tampil sebaik mungkin. Nyatanya tamu yang ditunggu sudah bertemu dengan Prama. “Untuk apa tadi menyuruhku untuk menyambut tamu,” batinnya.Kedua lelaki itu kembali melanjutkan pekerjaannya. Ardhan kembali
Ardhan tercekat ketika mendengar pertanyaan dari sosok dihadapannya, suara yang cukup familiar menggema di telinganya. Kedua lelaki itu saling menatap. “Apa maksud Pak Ryan bertanya seperti itu? Ini file perusahaan saya, ini milik saya,” jawab Ardhan serius. “Tenang Pak Ardhan, saya tidak bermaksud untuk –“ “Permisi Pak, saya harus segera pergi,” sela Ardhan, ia melanjutkan langkahnya. “Pak Ardhan, mau ke mana?” tanya Prama ketika melihat rekan bisnisnya itu berjalan cepat menuju parkiran. Ardhan mengabaikan pertanyaan tersebut, ia tetap pada tujuan awalnya. Prama tak menyerah ia menghampiri Ardhan saat memakai helm-nya. “Mau ke mana, Pak? Ada sesuatu yang penting?” “Saya hanya mau mengantarkan berkas kepada atasan saya, beliau ingin tahu apakah ada kecurangan atau tidak,” jawab Ardhan setenang mungkin padahal hatinya bergemuruh. “Kecurangan?” tanya Prama, air wajahnya berubah. “Ah maksud saya kesalahan Pak,” kata Ardhan. “Saya tulis angka atau salah melaporkan hal lainnya.” “Pa
“Di mana??” tanya Ardhan dengan nada agak tinggi. Ia sedikt kesal karena perempuan itu seperti mengerjainya.“Aku perlu tahu dulu, untuk apa kamu menemui kakekku,” sahut wanita itu. “Mau beli kacamata lagi?” lanjutnya. “Ya iyalah ya, kacamata yang kamu pakai itu sama dengan kacamata baca lansia.”“Beli kacamata? Kakekmu jualan kacamata?”“Benar, kakekku jualan kacamata di pasar pagi,” jawabnya santai. Ardhan mengehal napas kasar, ia tak percaya sudah dipermainkan oleh seorang wanita asing. “Beli kacamata kakekku yang banyak ya,” imbuhnya.Ardhan tak tahan lagi dengan perempuan itu, ia pergi begitu saja tanpa mengatakan apapun. Sepanjang perjalanan menuju rumahnya, ia memikirkan tentang perkataan gadis asing itu. Ia berniat untuk mendatangi lapak kakek tersebut. Barangkali kakek gadis itu adalah kakek misterius yang ia cari selama ini.Perjalanan panjang selama 45menit akhirnya terlewati, lelaki itu sudah sampai di rumahnya. Seperti biasa sang Ibu tak pernah absen untuk menceramahi dir
“Pacar Pak Prama,” ucap Ardhan mengulangi pertanyaan lawan bicaranya. “Yang benar saja Pak, mana pernah saya bertemu pacar bapak.”“Besok kalau ketemu pacar saya, bapak tanya sendiri apakah saya pernah berbuat seperti itu atau tidak.”Ardhan hanya menganggukkan kepalanya untuk merespon perkataan lelaki itu. Sekaligus mulai menerima salah satu sifat pemilik bola mata jingga tersebut. Percakapan kedua berakhir karena baik Prama dan Ardhan ingin segera pulang.Seperti biasa Prama meninggalkan lokasi kerja ebih dahulu disusul pekerja yang lain dan yang terakhir pasti Ardhan dengan si butut hijau. Lelaki penyuka warna biru itu tampak senang karena akhir pekan ini dirinya bisa pulang lebih awal.Motornya tidak mogok dan juga tak ada kemacetan yang berarti, hanya perlu waktu 45 menit untuk sampai di rumahnya. “Tumben pulang cepat,” tegur sang ayah.”“Kerjaannya sudah beres semua,” sahut Ardhan sembari masuk ke dalam.“Tumben nggak pulang malam,” tambah sang ibu. “Biasanya lembur terus.”“Pul
“Dijual?” ujar Ardhan tak percaya.“Pasti dia mau bayar mahal. Karena beliau sangat menginginkan kacamatamu.”“Kacamataku tidak dijual Bu, berapa pun harganya,” ucapnya tegas.“Kamu ini gimana sih Dhan, diajak bisnis kok nggak mau. Kacamata kayak gitu kan banyak di optik,” sambung wanita paruh baya itu.“Kalau begitu suruh Pak Romli saja cari ke optik. Pokoknya kacamataku ini tidak dijual, titik.”Ardhan kemudian masuk ke dalam kamar, ia memilih untuk menelpon kekasihnya dan meneritakan semuanyaa kepada perempuan yang sudah dicintainya sejak tiga tahun yang lalu. Puas bercerita tentang harinya, Ardhan melanjutkan kegiatannya untuk tidur hingga malam hari.Ia baru bangun ketika merasa perutnya lapar, tangan kekarnya menarik gagang pintu. Begitu pintu coklat itu terbuka, matanya bergerak mencari keberadaan sang Ibu. “Kenapa kamu ngintip-ngintip begitu, Dhan?”Lelaki itu terkejut karena aksinya ketahuan ayahnya. “Siapa yang ngintip,” elaknya“Kamu cari keberadaan ibu ‘kan? Ibumu sedang p
“Gimana maksudnya, Pak?” tanya Ardhan memastikan apa yang baru saja didengarnya.“Anak saya ini menderita silinder dan kebetulan saya tidak suka bentuk kacamatanya jadi saya akan –““Belum tentu besrnya silinder saya dengan anak bapak ini sama,” jelas Ardhan dengan pelan dan sikap tenang meskipun dalam hatinya ia ingin mengamuk.“Ayah ini kenapa suka sekali memaksa, aku tidak mau ganti kacamata,” tolak anak remaja itu seraya berlari pulang menuju rumahnya.“Yasudah kalau begitu Mas, saya permisi pulang dulu,” ujar Pak Romli menahan rasa malu. Ardhan tak menjawab salam yang diucapkan lelaki itu, ia masuk ke dalam dengan emosi yang tertahan.“Jangan datang lagi ya Pak,” gerutunya.“Dhan, sebenarnya ada apa dengan kacamatamu itu. Kenapa Pak Romli sangat ingin memilikinya,” tanya pria paruh baya itu penasaran.“Ayah saja bingung apalagi aku.”Percakapan mereka terputus karena masing-masing masuk ke dalam kamar. Ardhan tak merasa senang ataupun kesal, ia lebih merasa was-was karena bisa sa
“Mmm maaf mbak, bukan maksud saya ..” sahut Ardhan bingung.“Memangnya ad yang salah dengan kontak lensa saya Pak? Warnanya jelek ya,” lanjut gadis itu.“Kontak lens?” tanya Ardhan kaget. Pegawai itu mengangguk dengan cepat. “Jadi kamu pakai kontak lensa ya.” Ardhan lalu mencopot kacamatanya, ia menatap pegawai tersebut degan mata kosong dan memang benar tak ada bedanya. Ia kemudian beralih memandang benda misterius yang ada di tangannya.Sepanjang rapat Ardhan tak memakai kacamata tersebut, ia kembali ke tampilan dirinya yang semula. Pak Bobby menyuruh Ardhan untuk menimpali presentasi yang dilakukan oleh atasan mereka. Tiba-tiba saja Ardhan merasa keberanian menghilang, ia sulit merangkai kata-kata. Ia bingung harus berbuat apa.Ardhan sedang dilema antara memakai kacamatanya lagi atau tidak. “Pak Ardhan, ada yang mau dikatakan?”“Kenapa Pak,” tanya Ardhan bingung, terkejut karena namanya tiba disebut. Matanya seketika menoleh ke arah Pak Bobby yang tersenyum lebar. Pria gendut itu