Satu minggu ini kelakuan Adinda membuat Sena pusing tujuh keliling. Setiap hari ada saja hal yang menguji kesabaran Sena. Seperti saat ini, di tengah malam seperti ini Adinda ingin pergi melihat air terjun.Adinda menarik-narik baju Sena. Merengek seperti bocah balita. Keinginannya harus segera terpenuhi. Bila tidak, Adinda tidak akan merasa lega. "Ayo, berangkat sekarang, Yang!""Enggak!" tegas Sena. Sudah berulang kali Adinda merengek, berulang kali pula Sena menolak permintaan Adinda. Semua dirasa tidak masuk akal bagi Sena. Mana ada tempat wisata yang sudah buka di jam pocong seperti saat ini. Adinda berbalik, meringkuk dan memunggungi Sena. Wajahnya sangat masam. Di dalam batinnya itu, Adinda sangat kesal dan terus menggerutu. "Hih, dasar nyebelin. Pengen lihat air terjun aja nggak diturutin."Meraih ponsel di atas nakas, Adinda membuka aplikasi berwarna merah. Menonton video air terjun. Netranya tampak berbinar-binar saat melihat video tersebut. Suara gemericik air membuat h
Suasana penuh kebahagiaan menyertai kediaman keluarga Wijaya. Hari ini ketiga keluarga besar itu berkumpul menjadi satu untuk merayakan kehamilan Adinda.Sena mulai kesal karena dari tadi tidak diperbolehkan berdampingan dengan Adinda. Sedari tadi Opa Gunandar tidak mau jauh dari Adinda. Istri Sena itu hari ini dikuasai oleh Opa Gunandar. Opa Gunandar hanya terlampau bahagia karena sebentar lagi akan mempunyai cicit yang sudah lama didambakannya. "Perutnya Dinda jangan diusap terus dong, Opa. Lama-lama bisa mengikis entar," protes Sena. "Brisik! Ganggu orang lagi bahagia aja," kesal Opa Gunandar. "Ma, geseran dong! Sena pengen duduk sebelah Dinda," ucapnya pada Indah. "Nggak mau. Mama kan juga pengen dekat sama Dinda," tolak Indah. Sena mencebikkan bibirnya. Mama dan Opa-nya sama saja, paling hobi membuat Sena jengkel. Adinda terkekeh. "Sayang, ih... begitu aja masa ngambek," ledek Adinda. "Emang lebay banget tuh suami kamu. Tiap hari juga udah ngekepin, masih aja kurang," cibi
Seorang gadis berpakaian minim membawa bendera kecil di tangannya. Berjalan memasuki area, berdiri diantara dua pengendara motor, kemudian memberikan aba-aba tanda pertandingan akan segera dimulai. Bukan pertandingan sepak bola, basket, apalagi adu jotos, tetapi balap liar. Gadis tersebut mulai mengayunkan bendera tanda dimulainya balap liar ini. Kedua pembalap saling melirik satu sama lain. Melemparkan tatapan sinis disertai seringaian. "One... Two... Three... Go!"Keduanya menarik gas motor secara bersamaan. Menekan hingga menghasilkan kecepatan tinggi, beradu di jalanan yang sepi dan berebut untuk menyentuh garis finish terlebih dahulu dengan saling menyalip. Pembalap dengan motor ninja berwarna merah dapat menyentuh garis finis terlebih dahulu pada putaran pertama. Namun, pada putaran kedua pembalap dengan motor ninja berwarna putih dapat menyalipnya.Pendukung keduanya saling bersorak sorai. Menggumamkan nama idola mereka. Tiga putaran ini akan menjadi balapan yang penuh denga
Malam menjelang, riuh suara penonton telah memenuhi area pertandingan. Begitupun dengan Sena yang telah berada di area balap, sedangkan Adinda masih mondar mandir di parkiran dengan gelisah. Karin berlari dengan tergesa-gesa "Dinda... Gawat Din, gawat," ucapnya sembari mengatur napasnya yang tersengal-sengal. "Apaan sih Rin? Gue lagi pusing nih ban motor gue kempes." Dinda memijat pelipisnya sembari menendang ban motornya yang kempes, menunjukkannya pada Karin. "Nah ini yang mau gue omongin. Motor lo disabotase sama Arfan. Tadi gue rekam, nih liat videonya!" Karin menyerahkan bukti rekaman sabotase itu pada Dinda. "Kenapa malah lo rekam sih? Harusnya tuh lo cegah! Peak lo," ucap Adinda setengah emosi. "Udah sekarang lo bawa bukti ini kesana. Kasih tunjuk tuh kalau motor lo disabotase sama Arfan biar geng Andromeda malu. Udah buruan!""Pinter juga ya lo." Adinda nyengir, menepuk bahu Karin, lalu pergi meninggalkannya. "Dih... Tadi aja bilang gue peak."Adinda berjalan memasuki are
Keluarga Gunandar telah bersiap-siap sejak sore. Mereka menyiapkan berbagai macam bingkisan untuk dibawa ke rumah keluarga Wijaya. Semua orang yang ada di rumah itu menyibukkan dirinya masing-masing untuk acara pertemuan dua keluarga ini.Memangku kedua tangan di bawah dagu. Melamun memikirkan nasibnya di masa depan. Sena sungguh tidak menginginkan perjodohan ini. Jujur saja, Sena sedang malas berurusan dengan wanita, membuatnya pusing saja. Apalagi kejadian menyakitkan di masa lalu, membuat hatinya mati rasa. Sena masih ingat bagaimana dirinya dihianati pacar dan sahabatnya. Mereka berdua menjalin kasih di belakang Sena. Menancapkan luka secara bersamaan. Indah menghampiri anak semata wayangnya. "Sen... Ayo buruan mandi! Kalau Opa tau kamu belum siap-siap bisa marah."Sena memegang perutnya, pura-pura sakit agar terhindar dari rencana perjodohan ini. "Ma, Sena nggak usah ikut ya. Perut Sena sakit banget ini, Ma.""Opa tau kamu pura-pura, Sena. Ayo buruan mandi atau Opa akan mencore
Tiga hari sudah kedua insan yang hendak melakukan prosesi sakral dipingit. Selama tiga hari itu keduanya hanya berada di rumah. Sebenarnya hal ini dilakukan kedua keluarga untuk menjaga anak cucu mereka agar tidak melarikan diri sebelum hari pernikahan. Kini, keduanya dipertemukan kembali dalam acara sakral. Sebuah pernikahan yang sama sekali tidak mereka sangka. Pernikahan konyol hanya untuk menjalankan wasiat Kakek Wijaya. Gadis mungil itu kini menjelma layaknya boneka hidup. Wajah imutnya dipulas begitu apik oleh MUA paling terkenal di kota ini, membuat siapa saja akan mengangumi maha karya sang perias. Tidak sia-sia Opa Gunandar mengirimkan perias handal untuk memulas wajah calon menantu tomboynya ini. Penampilan Adinda kali ini terlihat anggun dengan kebaya modern berwarna putih yang melekat sempurna di tubuhnya."Wah... cantiknya pengantinku satu ini," puji si perias tidak henti-hentinya memandangi hasil karyanya."Pantesan aja dipilih sama Mas Tampan (Sena), orang kamunya aja
Tubuh sepasang pengantin itu terasa remuk redam. Bagaimana tidak, seharian dipajang dan menyalami para tamu yang terus-terusan berdatangan tanpa henti."Uh... hampir copot rasanya ini kaki," ucap Adinda seraya meregangkan otot-ototnya yang terasa kaku. Adinda tidak habis pikir. Kedua keluarga itu mengundang begitu banyak tamu. Bahkan ada beberapa diantaranya yang berasal dari luar negeri. Jauh-jauh datang kemari hanya untuk menghadiri pesta pernikahan Adinda dengan Sena. "Nikah konyol aja dibikin seheboh ini. Apa Papa-Mama, Mertua, sama Opa pada nggak sayang sama duitnya ya?"Jelas sekali acara pernikahan ini menggelontorkan banyak dana. Semua tamu dan rekan bisnis yang berasal dari luar negeri saja disediakan hotel fasilitas bintang lima untuk tempat peristirahatan. "Ah udahlah, terserah. Yang penting temen-teman kampus gak ada yang tahu kalau gue nikah sama itu manusia loser."Adinda melipat ujung gaunnya. Melangkahkan kaki menuju tempat peraduan. Sepasang pengantin itu awalnya di
Ceklek! Keluar dari kamar mandi dengan mengenakan kaos oblong dan celanana kolor, Sena berjalan menuju tempat peraduan. Adinda terus mengekori pergerakan si loser melalui tangkapan netranya. Ranjang berderit, menandakan bahwa terdapat sebuah pergerakan. Si loser naik ke atas ranjang, membuat Adinda memicingkan matanya. "Heh, siapa yang ijinin lo naik ke atas ranjang?" tanya Adinda. "Gak ada," balas Sena cuek. Dibaringkannya tubuh yang terasa lelah di sebelah si kutu kupret. Adinda tidak terima si loser tidur di sampingnya. Enak saja, bisa-bisa si loser itu akan mengambil kesempatan dalam kesempitan saat Adinda terlelap nanti. Didorongnya tubuh Sena sekuat tenaga, tapi tetap saja tidak bergeming. Adinda dibuat kesal sejadi jadinya. Sementara Sena cuek saja. "Minggir ih, gue nggak sudi tidur seranjang sama loser," ucap Adinda. "Hmm..." balas Sena menggumam. Matanya terpejam. "Awas ih..." Adinda masih bersikeras mendorong tubuh besar itu agar beranjak dari atas ranjang. Dengan