Sena pikir, perlu adanya sebuah perjanjian pernikahan. Mengingat pernikahan ini hanya didasari sebuah keterpaksaan.Kini, keduanya tengah berkutat membubuhkan pena di atas selembar kertas.Sena Adi Pratama sebagai pihak pertama dan Adinda Almira Wijaya sebagai pihak kedua. Isi surat perjanjian yang dibuat Sena:[1. Pihak pertama dan pihak kedua bebas melakukan aktivitas apapun, seperti saat sebelum menikah. 2. Pihak pertama dan pihak kedua bebas menjalin hubungan dengan siapapun, asalkan tidak sampai ketahuan oleh pihak keluarga dan dapat menjaga rahasianya dengan baik. 3. Pihak pertama tidak memiliki kewajiban memberikan nafkah apapun, mengingat pernikahan ini hanyalah pernikahan sandiwara.4. Dilarang mencampuri urusan masing-masing.]Diberikannya surat perjanjian itu pada Adinda. "Nah, baca!"Netra Adinda menelusuri deretan abjad. Mengerutkan keningnya. Adinda tampak berpikir dengan apa yang ditulis si loser. "Nggak bisa gitu dong, masa gue nggak dikasih uang bulanan," protes A
"Laper..." rengek Adinda manja. "Bentar. Ada yang harus gue pastiin," ucap Sena. "Apa?""Kenapa elo nggak marah?" tanya Sena. "Marah soal apa?" Adinda balik bertanya. "Si brengsek itu udah cium pipi elo, Dinda..." ucap Sena geram. "Tapi, gue nggak berasa apa-apa, Sena."Sena melirik sinis ke arah Adinda. "Iyalah, orang elo pingsan.""Jangan-jangan om itu pacar elo? Makannya waktu lo tahu dicium biasa aja," tuduh Sena. "Nggak usah asal nuduh. Gue nggak punya pacar. Lagian yang lo maksud siapa sih? Bahas om-om mulu dari tadi.""Kan gue udah bilang gatau namanya, Dinda..." "Yaudah, biasa aja gausah ngegas."Adinda membuka kotak pizza. Mengambil sepotong hendak memakannya, tapi Sena menghalau pergerakannya. "Nggak usah dimakan udah jatuh. Jorok," cibir Sena. "Jatuhnya kan masih pake bungkus. Nggak bakalan kotor juga ini pizzanya. Udah ah awas, gue laper pengen makan."Sena bergeming. Enggan melepaskan cekalannya. "Jawab dulu, itu pacar elo atau bukan?"Adinda menelisik netra Sena.
Hujan membasahi bumi. Tanah yang gersang kembali lembab. Bunga yang sempat layu kembali bersemi. Seorang wanita memandang nanar sekitarnya. Guratan penuh kesedihan nampak di wajahnya. Netranya tidak berhenti menitikkan air mata. Ya, dia tengah terisak di bawah guyuran air hujan.Memukuli dadanya sendiri yang terasa amat menyesakkan. Napas tersengal-sengal dan tercekat di tenggorokan. Tidak, dia tidak sanggup menerima kenyataan pahit ini. Dicampakkan saat tengah berbadan dua. Sebuah penyesalan menyelimuti perasaannya saat ini. Ah, andai saja malam itu tidak termakan bujuk rayu setan, pastilah tidak akan mengalami kesakitan yang sebegininya. Kotor. Itulah yang dirasakannya saat ini. Menggosok tubuh di bawah guyuran air hujan. Berharap air dari langit dapat meluruhkan seluruh dosa-dosanya. Hawa dingin kian terasa. Perpaduan hembusan angin dan guyuran air hujan membuat tubuhnya menggigil. Netranya mulai berkabut. Seluruh persendiannya terasa melemas. Hampir saja wanita itu limbung. Be
Adinda dan Sena berangkat ke kampus menggunakan motor masing-masing. Mereka berdua masih menyembunyikan status pernikahan ini. Mereka berdua sepakat akan mencari Wildan dan meminta pertanggungjawaban dari pria itu. Mau tidak mau Wildan harus bertanggung jawab dan menikahi Andina. Tidak mungkin kan Adinda dan Sena akan membiarkan Andina menanggung perkara ini semua seorang diri. "Gue duluan yang cari si Wildan. Kalau emang gak ketemu baru giliran lo yang cari," ucap Sena. "Oke. Gue duluan."Menekan tuas gas, Andina melajukan motornya memasuki kawasan kampus. Sementara Sena, masih berdiam diri di atas motor. Menunggu berjaga jarak dengan Adinda. Sena tidak mau ada anak kampus yang mengetahui hubungannya dengan Adinda.Memarkirkan motor di sisi selatan gedung Fakultas Ekonomi, Sena memicingkan mata. Nampak Wildan berjalan bergandengan tangan dengan seorang gadis berambut panjang. Mengepalkan tangan hingga buku-buku jari memutih, Sena tergopoh menghampiri Wildan. Dengan meredam segala
"Lo belum bilang kalau gue hamil kan, Din?" tanya Andina. Saat ini mereka tengah berada di taksi. Setelah dipaksa Adinda, Andina akhirnya mau pulang ke rumah. "Sena udah bilang, Kak.""Kenapa bilang sih?" sentak Andina. "Gak... Gue nggak mau pulang. Pak, kita putar balik," ucap Andina pada sopir taksi. "Jangan, Pak. Terus jalan. Saya yang bayar bukan Kakak saya. Jadi, Bapak harus ikut kata saya," ucap Adinda. "Din, gue gak mau pulang. Papa-Mama pasti marah besar," rengek Andina. "Harus pulang, Kak. Hari ini juga lo nikah sama Wildan."Andina tampak syok. "Ha-hari ini?""Iya, Sena udah bawa Wildan ke rumah. Di sana juga ada orangtua Wildan.""Ta-tapi, gue takut diamuk habis-habisan," cicit Andina. "Enggak akan. Palingan juga dinasehati. Lo tahu sendiri Mama sama Papa sayangnya gimana ke elo."Sesampainya di kediaman keluarga Wijaya, Risma menghambur mendekap Andina. Menciumi puncak kepala Andina bertubi-tubi. Lalu, beralih mengusap perut rata Andina. Di sana terdapat janin yang a
Gabriella Larasati. Gadis yang pintar, cantik, tinggi semampai, dan juga memiliki kulit seputih salju. Siapa pria yang tidak menaruh minat kepadanya. Apalagi, karirnya sebagai model sedang berada di atas. Ella tentunya bisa mendapatkan pria tampan dan kaya manapun yang dia mau. Namun, hati Ella hanya tertaut pada mantan kekasihnya. Tujuan Ella kembali ke Indonesia juga karena mantan kekasihnya itu. Ella ingin memperbaiki hubungan yang sempat retak. Dari bandara, Ella menuju kampus mantan kekasihnya. Sengaja Ella tidak pulang ke rumah terlebih dahulu. Ya, karena tujuannya pulang hanya untuk bertemu sang mantan, apalagi. Menggigit bibirnya kesal, bosan dirasakan Ella. Gadis cantik itu sudah dua jam menunggu kehadiran mantan kekasihnya, tapi sayang sekali yang dicarinya sama sekali tidak menampakkan batang hidungnya.Memutar otak, kembali berpikir. "Astaga... Kenapa baru kepikiran sih," ucap Ella. Masuk ke dalam mobil, menyuruh sang sopir melajukan kendaraan pada alamat yang dituju.T
Tok... Tok... Tok"Bukain gih pintunya! Mantan lo pasti balik lagi tuh," perintah Adinda."Males ah. Lo aja sono yang bukain," tolak Sena. Adinda mencebikkan bibirnya. "Dih..."Pintu kembali diketuk dengan tidak sabaran. Tok... Tok... Tok"Iya sebentar," sahut Adinda."Biar Mama yang buka pintunya, takutnya si Ella itu datang lagi," ucap Indah saat berpapasan dengan Adinda di ruang tengah. "Nggak usah, Ma. Mama istirahat aja ya," tolak Adinda. "Hmm... Yasudah, Mama kembali lagi ke kamar."Ceklek! Geng Andromeda berdiri di depan pintu. Memandang Adinda dan mengulum senyum canggung. "Oh kalian," ucap Adinda bernada malas. "Hai musuh kami... Lama tidak berjumpa. Eh, sekalinya berjumpa sudah menjadi Nyonya dari ketua geng Andromeda," ucap Aldo tidak tahan ingin mengeluarkan godaannya."Buruan ngomong ada perlu apa atau pintunya gue tutup nih," ketus Adinda. "Jangan galak-galak dong cantik," ucap Bima ikutan menggoda Adinda. Adinda dibuat kesal dengan dua teman Sena ini. Hendak men
Usai sudah jam mata kuliah yang terasa amat membosankan hingga membuat Sena menguap berulang kali. Mengemasi buku dan alat tulis, memasukkan ke dalam ransel, Sena keluar kelas terlebih dahulu. Hawa di luar kelas lebih terasa menyejukkan ketimbang di dalam kelas. Aldo ikut menyusul Sena ke luar. "Buru-buru amat sih?""Bosen gue dengerin ocehan itu orang," ucap Sena. "Heh, sopan! Begitu dia juga dosen lo.""Hmm..." gumam Sena. "Eh tungguin!" ucap Arfan setengah berlari mengejar Sena dan Aldo. "Rizal sama Bima ngapain masih di dalam sih?" tanya Sena. "Biasalah. Mereka berdua kan kalau ada tugas langsung di kerjain di tempat," ucap Arfan. "Oh ya, Sen. Kita jadi nyerang geng Roxy kan?" tanya Aldo. "Iya, jadi. Entaran ya. Pengen makan dulu gue laper," ucap Sena. Setelah mengisi energi dengan makan siang, geng Andromeda siap baku hantam dengan geng Roxy. Memasuki halaman basecamp geng Roxy yang terlihat lenggang, geng Andromeda menunggu di depan camp itu. Tidak mau langsung asal masu