Sejauh inikah aku berjalan? Emily merasa kalau dia sudah cukup lama duduk di atas motor yang dikendarai Adam dengan kecepatan sedang itu. Bahkan rasanya debu-debu jalanan pun sudah tebal menutup pori-porinya. Pantas saja kakinya sakit serasa otot-ototnya membesar dan hampir meledak semalam.
Emily tak bisa menepiskan ingatannya pada apa yang menjadi alasan dia pergi meninggalkan rumahnya kemarin sore. Hatinya pun semakin diselimuti oleh rasa ragu. Emily tahu apa yang akan terjadi dengan hatinya jika dia kembali. Sakit!
Remuk dan terkoyak, mana yang lebih baik? Keduanya sama menyakitkan dan sama menyiksa. Satu paduan rasa yang membuat orang ingin bercumbu dengan kematian dan meninggalkan hidup. Dan jika sekarang Emily masih bertahan untuk hidup, itu karena dia takut pada kematian. Bukan karena dia hebat, secepat itu bisa berdamai dengan kenyataan.
Emily memejamkan matanya sesaat. Mencoba meresapi rasa perih yang menyakitkan itu. Dan ketika dia membuka mata, dua bulir air bening mengalir membasahi pipinya. Dengan cepat Emily pun menghapusnya dengan jemari tangannya lalu mencoba menahan rasa perih itu agar dia tak kembali menumpahkan kristal bening itu dari matanya.
Jangan menangis lagi, Emily. Tidakkah kau lelah menangis? Suara hati Emily ramai berbisik. Ya, aku lelah menangis. Tapi aku tak kuasa untuk menahannya karena rasa sakit ini teramat perih. Dan ku rasa, aku tak sanggup untuk kembali pulang.
Terlintas wajah tampan Tomy di pelupuk matanya. Wajah tampan yang dulu pernah membuat dia terpesona hingga hatinya serasa jungkir balik dilanda cinta. Dan tiga bulan lamanya dia gelisah mengharapkan satu kata cinta dari lelaki pujaan itu. Hingga akhirnya kata indah yang diharapkannya itu terucap juga dari mulut Tomy. Oh, alangkah bahagianya! Dunia serasa penuh warna! Dan segala yang dipandangnya seolah tersenyum dan bernyanyi lagu cinta untuknya.
Emily teringat hari-hari indah yang dilaluinya bersama Tomy ketika itu. Betapa lelaki pujaan itu mencurahkan segala perhatian dan kasih sayang padanya. Tomy pandai melambungkan Emily dengan kelembutan sikapnya. Dia laki-laki yang romantis. Yang selalu memperlakukan Emily layaknya seorang puteri.
"Kamu yang terindah, Emily." Itu kata-kata yang selalu Tomy bisikan di telinga Emily. Dan biasanya Emily akan segera merebahkan kepalanya di dada bidang Tomy dan menikmati dekapan hangat dari kekasihnya itu.
Jika aku yang terindah untukmu, mengapa kau tinggalkan aku demi yang lain? Apakah Sandra juga yang terindah untukmu? Atau dia lebih indah dariku? Apakah kata-kata cintamu yang selalu kau bisikan di telingaku juga kau bisikan di telinganya? Atau kata-kata cinta yang kau bisikan padanya justru lebih indah dan mesra dari pada yang kau bisikan di telingaku?
Ah, tak perlu ku tahu jawaban dari tanyaku itu. Karena ku tahu jawabannya pasti akan melukaiku. Kau membuangku, Tomy. Tanpa aku punya salah, kau lukai aku seperti ini. Kau menjalin cinta bersama Sandra di belakangku. Di saat kau masih membisikan kata-kata cintamu untukku dan aku masih terbuai dalam hangat dekapmu.
Emily menghela napas panjang. Mencoba membuang sedikit beban yang menyesakan rongga dadanya. Emily ingin bertanya, sesungguhnya siapa yang lebih salah di antara mereka? Tomy atau Sandra?
Kak, tega kakak rebut kekasihku. Kakak hancurkan bahagiaku. Kakak sayat hatiku sepedih ini. Dulu, kakak selalu tersenyum tiap kali kakak dengarkan cerita bahagiaku bersama Tomy. Ku pikir, kakak ikut bahagia untukku. Tapi ternyata kakak menikamku dari belakang. Lantas apa arti senyum bahagia yang kakak berikan untukku selama ini, kak? Tahukah kakak betapa sakitnya aku?
Tiba-tiba Emily tersentak. Dia seperti menyadari sesuatu. Sesuatu yang baru saja terlintas dalam kepalanya dan membuatnya membatalkan langkahnya untuk pulang.
"Kita berhenti di depan, Bang Adam. Di warung bubur itu!" pinta Emily tiba-tiba.
"Emangnya Neng Emily belum sarapan?" tanya Adam sedikit bingung.
"Sudah. Tapi sekarang saya lapar lagi," sahut Emily sekenanya.
Adam pun menghentikan motornya di depan sebuah warung tenda yang menjual bubur ayam. Dia bingung memperhatikan Emily yang setengah berlari bergegas memasuki warung itu. Aneh sekali sikapnya, pikir Adam. Tapi dia cuma mengikuti. Tak dilontarkannya pertanyaan pada gadis cantik itu. Adam pun cuma duduk diam di samping Emily yang segera memesan dua mangkuk bubur ayam.
"Itu, di depan sana itu rumah saya," kata Emily sambil menunjuk ke sebuah gerbang perumahan mewah yang tak seberapa jauh dari sana.
Adam mengikuti arah yang ditunjukan oleh Emily dengan pandangan matanya. Ya, itu memang perumahan mewah yang disebutkan Emily sebagai tujuan mereka tadi. Tapi kenapa mereka harus berhenti di sini? Jika Emily lapar, tidakkah lebih baik jika dia makan saja di rumahnya karena mereka telah hampir sampai? Atau gadis ini memang ingin sarapan bubur ayam?
Adam memperhatikan sikap Emily yang gelisah. Gadis itu tak menyentuh buburnya sama sekali. Dia malah asyik memperhatikan jalanan yang cukup ramai pagi itu. Entahlah, seperti ada yang dia cari atau dia tunggu yang seolah akan melintas di jalan itu.
"Buburnya nggak dimakan, neng? Tadi katanya lapar," kata Adam akhirnya.
"Huh?" Emily menoleh pada Adam. "Oh, iya, bang," sahutnya sedikit gugup.
Emily pun mengaduk Buburnya perlahan. Tapi detik berikutnya dia kembali memperhatikan jalan dan terdiam dengan wajah yang gelisah.
Sambil terus memperhatikan, Adam memakan bubur ayamnya perlahan. Adam membiarkan Emily yang terus gelisah menatap jalanan. Adam tak ingin mengganggu meski pun sesungguhnya dia sangat ingin bertanya. Adam merasa kalau semua itu bukanlah urusannya.
Sementara itu Emily tampak semakin gelisah. Entahlah, mungkin orang yang ditunggunya tak juga lewat. Adam terus memperhatikan dalam diam. Hingga akhirnya dia melihat raut wajah Emily yang berubah seketika. Sepertinya sebuah mobil yang melintas menarik perhatian gadis itu. Bahkan matanya tak berkedip seolah mobil yang melintas itu sangat mengejutkannya.
Mobil siapakah itu? Mau tidak mau Adam pun ikut memperhatikan mobil yang melintas itu. Sepertinya itu mobil seseorang yang dikenal oleh Emily. Lihat, wajah gadis itu tampak pasi sekarang. Bahkan ada genangan air mata di pelupuk matanya. Jelas dia pasti memiliki ikatan kisah dengan si pemilik mobil itu. Dan pasti kisah itu bukanlah kisah yang indah karena Emily tampak bersedih sekarang.
"Neng?" panggil Adam pelan.
Emily tak menyahut. Dia sedang berusaha menahan air matanya yang ingin melompat keluar. Mobil yang barusan melintas itu adalah mobil Tomy. Hendak kemanakah dia? Samar dari balik kaca mobil itu Emily bisa melihat jika Tomy sendirian. Dia tak bersama Sandra. Apakah dia hendak mencariku? Ah, untuk apa lagi berharap seperti itu? Jika pun bertemu dan Tomy membawaku pulang, maka di rumah nanti aku hanya akan menyaksikan kebahagiaan mereka saja. Adakah yang mengerti tentang perasaanku? Rasanya tidak! Sebab jika mereka peduli padaku, maka mereka tak akan mungkin melakukan semua itu.
Emily merasa ada yang meremas hatinya teramat kuat ketika kenangan masa lalunya hadir. Dulu, dengan mobil itu Tomy selalu mengajaknya berkencan. Bahkan di dalam mobil itulah untuk pertama kalinya bibir mereka saling bertautan. Emily masih ingat bagaimana hangatnya Tomy mengecup bibirnya malam itu. Ah, kini semua itu terasa pahit untuk dikenang.
"Neng Emily kenapa gelisah begitu? Kok, nggak dimakan buburnya?" tanya Adam pelan.
"Lapar saya hilang, bang," sahut Emily juga dengan suara yang pelan.
"Kalau begitu, kita lanjutkan perjalanan? Rumah Neng Emily kan udah dekat."
Emily menggeleng.
"Nggak jadi pulang?"
"Saya nggak mau pulang." Emily menyahut dengan suara yang bergetar.
"Jadi?"
Emily terdiam. Dia berpikir sejenak. Dia tahu, dia ingin pergi dan menghilang. Menghilang begitu saja bagai ditelan bumi. Tanpa pamit, tanpa diketahui lagi keberadaannya oleh semua orang. Biar Sandra dan Tomy tahu betapa dalam luka yang telah mereka buat untuknya. Biar mereka berpikir, dan mungkin bisa menyesali semuanya.
Mungkin semua ini adalah tindakan bodoh. Tapi Emily memang seolah tak lagi bisa berpikir dengan jernih. Berpikir jernih? Bahkan masih sanggup sedikit berpikir saja Emily sudah merasa beruntung!
Tiba-tiba Emily merasa tubuhnya sedikit limbung. Dia merasa melayang dan seolah tak lagi berpijak pada bumi. Oh, tuhan..., jangan pingsan.... Aku harus tetap sadar dan segera pergi dari sini. Pergi jauh dari Tomy. Pergi jauh dari Sandra. Pergi jauh dari kenyataan pahit ini.
"Neng, Neng Emily nggak apa-apa? Wajah neng pucat sekali," kata Adam cemas.
"Bawa saya pergi dari sini, Bang Adam," pinta Emily.
"Kemana, neng?"
"Kembali ke rumah Mas Abian."
"Ke rumah Abian?"
Emily mengangguk. Saat ini, memang cuma tempat itu tujuan yang Emily punya. Dia belum punya tujuan lain selain rumah penolongnya itu. Adam pun menuruti meski pun dia tahu kalau Abian pasti akan marah padanya nanti. Adam merasa tak punya pilihan. Apa lagi ketika dilihatnya wajah pucat Emily yang begitu pasi. Adam merasa bukan waktu yang tepat untuk menentang keinginan gadis cantik itu sekarang. Tanpa banyak bicara, Adam pun mengikuti keinginan Emily untuk kembali ke rumah Abian.
Selesai melayani seorang pelanggan yang datang berbelanja, Inung duduk dan menyeruput kopi susunya dengan nikmat. Kemudian untuk beberapa saat lamanya dia terdiam, seolah sedang termenung memikirkan sesuatu. Sementara itu Abian sedang sibuk memasukan roti ke dalam panggangan. Laki-laki tampan itu menoleh sekilas pada Inung yang sedang termenung. Tapi kemudian dia kembali asyik melanjutkan pekerjaannya membuat roti dibantu oleh seorang pemuda bernama Dion, yang sudah dua tahun ini bekerja di toko roti miliknya itu.Abian menoleh lagi karena didengarnya Inung menghela napas panjang. Diperhatikannya sepupunya itu yang masih duduk termenung sambil bertumpu tangan di atas meja. Inung seperti orang yang sedang dibebani satu masalah. Sejak pagi tadi dia terlihat asyik melamun dan tak banyak bicara seperti biasanya. Tapi ketika berangkat tadi dia tampak biasa saja, pikir Abian bingung. Lantas kenapa sekarang mendadak jadi melamun terus begini?"Nung," panggil Abian pada Inung.
Emily menatap Abian sambil terisak pelan. Dia bingung bagaimana cara menjelaskan pada Abian tentang alasannya tak jadi pulang. Rasanya Abian tak akan bisa mengerti luka hatinya yang terasa perih. Laki-laki itu tak akan mungkin membenarkan perbuatannya ini. Dia pasti akan marah. Tapi sungguh Emily merasa rumah Abian adalah tempat yang ternyaman baginya saat ini. Karena setidaknya Emily tahu kalau Abian adalah seorang laki-laki yang baik. Dan di rumah laki-laki baik itulah dia bisa bersembunyi."Emily, jelaskan pada saya kenapa kamu nggak jadi pulang?" tanya Abian lagi sedikit mendesak. Wajah laki-laki itu tampak serius dan tegas.Emily menggeleng pelan."Jelaskan, Emily. Saya nggak bisa mengerti cuma dengan gelengan kepala kamu," kata Abian lagi bernada tak sabar."Bi!" bentak Inung pelan. "Biar dia tenang dulu. Jangan didesak begitu."Abian pun mendesah kesal. Bocah cengeng, pikirnya. Tapi tak urung diturutinya juga kata-kata Inung itu. Dia t
"Cuma beberapa hari aja, Bi," bujuk Inung.Abian tak menyahut. Dia menatap Emily dengan pandangan yang tajam. Sementara Emily cuma bisa diam. Dia merasa dipaku dengan tatapan tajam itu.Apakah yang ada dalam kepala laki-laki itu? Apakah yang dia pikirkan tentang aku? Pasti di matanya aku hanyalah seorang gadis bodoh yang cengeng. Yang meratap sedih karena kehilangan cinta. Tapi sesungguhnya bukan cinta yang membuatku terluka seperti ini. Tapi dikhianati oleh orang terkasihlah yang membuatku jatuh. Perasaan dikhianati itulah yang sungguh menyakitkan dan membuatku ingin lari dari kenyataan."Berapa lama waktu yang kamu butuhkan, Emily?" Abian kembali melontarkan pertanyaan itu.Emily pun menggeleng pelan. Pertanyaan itu memang seakan tak mempunyai jawaban. Sebab tak akan ada orang yang tahu kapan hatinya bisa kembali kuat setelah dihantam oleh pukulan yang sehebat itu?"Saya bukannya jahat. Saya cuma nggak mau dapat teguran dari Pak RT atau bahkan di
Pagi itu Emily terbangun tanpa Inung di sampingnya. Rumah terasa sepi. Tak terdengar aktivitas suara apa pun di ruang depan atau pun di dapur. Kemanakah Inung? Sudah kembali ke rumahnyakah? Ya, bukankah dia harus mengurus suaminya dulu sebelum berangkat ke toko? Lalu, Abian? Tidakkah dia datang pagi ini? Atau dia langsung berangkat ke toko tanpa pulang dulu kemari? Rumah benar-benar sepi pagi ini. Emily jadi sedikit bingung.Berada di rumah orang dan sendirian seperti ini membuatnya jadi serba salah. Emily tak tahu apa yang harus dia lakukan. Mandi dan membuat sarapan? Tapi Emily tak bisa memasak. Dan dia tak tahu bahan makanan apa saja yang tersedia di dapur.Ah, tak mungkin memasak. Aku cuma akan membuat berantakan dapur Mas Abi saja nanti. Bahkan sekadar memasak telur dadar pun aku tak pernah. Biasanya semua sudah tersedia di atas meja. Dan jika aku butuh sesuatu, aku tinggal meminta pelayan untuk menyiapkannya untukku. Tak perlu bersusah payah mengerjakannya se
Emily melihat Abian yang melangkah cepat memasuki pagar. Dia tampak acuh. Laki-laki itu tak menghiraukan sapaan dari perempuan berkulit pucat yang tampak sangat bersemangat menyapanya itu. Entah karena laki-laki itu yang terlalu dingin, atau karena dia tidak menyukai perempuan itu. Sebab tadi dia hanya sesaat menoleh untuk kemudian acuh berjalan pulang.Abian masuk dan melihat Emily yang sedang berdiri di dekat jendela. Dia langsung bisa menebak apa yang Emily lakukan di sana. Abian pun menatap Emily masih dengan wajah dinginnya hingga Emily seperti dipaku di tempatnya berdiri."Kenapa ngintip-ngintip seperti itu? Kamu seperti ibu-ibu gosip yang sedang mengintip tetangga untuk dijadikan bahan gosipnya," komentar Abian tanpa senyum."Saya cuma sedang melihat keluar," sahut Emily cepat."Kamu udah mandi?" tanya Abian merubah topik pembicaraan.Emily mengangguk. "Sudah," sahutnya segera."Inung bilang kamu mau ikut ke toko?" tanya Abian lagi.E
Abian melihat pada jam tangannya. Kemudian dia membuka celemeknya dan menghampiri Inung yang baru saja selesai melayani seorang pembeli."Gue ke bengkel dulu, Nung. Mau ambil motor."Inung menoleh. "Nggak habis makan siang aja, Bi? Tanggung sebentar lagi jam makan siang. Karyawan bengkelnya juga pada istirahat."Abian menggeleng. "Sekarang aja. Mumpung lagi nggak banyak kerjaan. Dion bisa ngerjain sendirian."Setelah itu Abian pun melangkah pergi dengan tergesa. Inung dan Emily memperhatikan kepergian laki-laki jangkung itu dari dalam toko. Abian tampak menghampiri tukang ojek yang mangkal tak jauh dari situ lalu segera menaikinya dan pergi."Kenapa dia tergesa seperti itu? Cuma ambil motor dari bengkel kok seperti orang mau ambil gaji?" tanya Inung yang merasa bingung dengan kelakuan sepupunya itu."Mungkin Mas Abi mau menghindari perempuan yang janji mau datang siang ini untuk mengantarkan makan siang," celetuk Emily yang tiba-tiba saja teringat
Emily duduk di ruang tamu Abian dengan lemas. Perasaan kesal dan bingung berjejal di hatinya hingga membuatnya ingin menangis. Oh, bagaimana ini? Barusan Pak RT datang dan menyampaikan kabar tentang keberatan warga atas kehadirannya di rumah Abian sebagai tamu yang menginap. Mereka protes. Ini tidak pantas, katanya. Masyarakat di sini menganggap tabu tentang semua ini. Tidak boleh gadis menginap di rumah seorang perjaka. Apa lagi si perjaka hidup sendirian. Itu dalih mereka untuk meminta Emily pergi.Di hadapan beberapa orang ibu yang ikut datang, Emily telah berusaha menjelaskan kalau Abian tak tinggal di rumahnya selama dia berada di sana. Tapi mereka tak mau menerima penjelasan itu. Mereka bilang tak ada yang bisa menjamin jika Abian benar-benar tak tidur di sana. Oh, tuhan! Emily gusar mendengar semua itu. Kenapa mereka begitu senang berprasangka buruk terhadap orang lain? Kenapa tak bisa percaya kalau Abian benar tak tidur satu atap dengan dirinya?Melawan para ib
Emily keluar dari rumah Abian pagi-pagi benar. Inung bilang memang sebaiknya begitu. Agar dia tak perlu bertemu dengan ibu-ibu penggosip yang menginginkan kepergiannya. Emily menurut. Rasanya memang sebaiknya tak bertemu dengan mereka. Sebab Emily pasti akan merasa risih nanti. Alangkah tak enaknya jika ada sekelompok orang yang berbisik-bisik di depan kita dan kita tahu jika yang mereka bicarakan itu adalah kita. Oh, benar-benar menyebalkan!Akhirnya, disaat langit belum diterangi oleh cahaya mentari, Emily pun pergi. Tujuannya adalah rumah Monik, sahabatnya. Dan seperti kemarin, Emily diantarkan oleh Adam. Abian yang meminta Adam untuk mengantarkannya pulang. Hm, rupanya dia sungguh mengkhawatirkanku, pikir Emily sedikit senang. Entahlah, mungkin rasa senang yang tak beralasan. Tapi Emily selalu merasa seperti itu tiapkali Abian memberikannya sedikit perhatian.Ketika Emily pergi tadi, Abian dan Inung mengantarkannya sampai ke depan rumah. Inung banyak berpesan, member