Anjani bangkit, bantalnya basah oleh air mata. Kedua matanya masih terus mengalirkan cairan bening yang teriring dengan isak tertahan. Ia duduk bersila di atas tempat tidur dengan sprei merah muda favoritnya. Rambut yang belum lama tadi ia rapikan, sudah tidak beraturan lagi. Sebagian yang menjuntai ke wajah juga basah. Ia tampak begitu berantakan.
Gadis itu tak kunjung memahami mengapa hatinya begitu hancur. Padahal tak banyak yang pantas ia tangisi dari dua hari bersama David. Menurutnya tak ada hal istimewa selain momentum di atas motor semalam. Tapi setiap kali ia berpikir untuk tak peduli, air matanya justru semakin deras. Isaknya semakin menderu, seperti ada energi yang terus memaksanya untuk meratapi David. Sama seperti kemarin sampai akhirnya ia paksakan untuk mendatangi David di kostnya.
“Jani, kamu nggak kuliah? Udah bangun kan?” seru Ibu setelah mengetuk pintu kamar beberapa kali.
Anjani menarik napas panjang. Berusaha menetralkan suasana hatinya yang kacau. Ia seka air matanya di pipi. Ia tak ingin Ibunya tahu hal ini.
“Iya, Bu. Sebentar lagi Jani keluar,” seru Anjani parau. Emosinya masih begitu tampak dari suaranya yang bergetar.
“Ya udah, Ibu berangkat ya? Rumah kosong loh....”
“Iya, Bu.”
Setelah Bapak meninggal setahun lalu, Ibu bekerja di sebuah toko penyedia bahan kue. Anak tertuanya sudah berkeluarga, seringkali membantu dengan membelikan bahan pangan. Ia juga yang akhirnya membiayai kuliah Anjani. Namun tentu hal itu tidak cukup, harus ada penghasilan lain untuk mencukupi kebutuhan Ibu dan Anjani.
Tak lama terdengar suara pagar rumah ditutup dan dipasang grendelnya. Pukul delapan tiga puluh, sudah dua jam lebih Anjani menangisi David. Sesuatu yang jauh dari dalam hati ia tak menginginkan. Anjani berdiri di depan cermin, perlahan ia kenakan kacamata minusnya. Ia sungguh berantakan, kelopak matanya sudah memerah. Ia rapikan rambut dan mengikatnya ke belakang.
Gawainya bergetar, notifikasi pesan masuk. Ia lalu teringat hampir sepanjang malam ia mencoba menghubungi David. Tak pernah tersambung, sampai pagi-pagi ia datang dan memutuskan hubungan. Anjani meraih gawainya di atas meja belajar. Dua ibu jarinya bergerak lincah di atas keyboard virtual pada penyelia pesan.
“Kak ... sudah di sekolah? Nanti kita makan siang bareng ya? Bisa kan?” Anjani berhenti sejenak sebelum menekan tombol kirim. Ia berpikir, apakah pantas ia seperti ini. Ia bahkan tak tahu apa yang akan dibicarakan dengan David. Anjani menghapus draft pesannya. Namun saat ini ia sangat ingin bertemu dengan lelaki itu. Ia lalu melemparkan gawainya ke atas tempat tidur, lalu berjalan keluar dari kamarnya.
Anjani memukul kepalanya sendiri beberapa kali. Ia merasa bodoh dan hampir merendahkan dirinya sendiri. Putus cinta sudah beberapa kali ia alami, dan ia tak pernah merasa sebodoh dan senaif ini. Gadis itu terpekur di dapur rumahnya, tepat di depan lemari pendingin. Tangan kirinya menggenggam gelas kaca, tangan kanannya menggenggam handel pintu lemari pendingin. Beberapa detik ia tak bergerak, lalu ia kembali menuju kamar.
Anjani meraih gawai di atas tempat tidur yang semenit lalu ia lemparkan. Ia buka kunci pola gawainya. Diketiknya pesan untuk David sama persis seperti yang ia hapus tadi. Ia berhenti lagi, tatapan matanya kosong. Ada banyak keraguan di benaknya. Ia meneguk gelas yang ia genggam di tangan kiri. Ia baru ingat ia belum menuangkan air di dalamnya, ia tak bisa meneguk apa pun. Anjani menghela panjang napasnya.
Pesan singkat itupun terkirim. Anjani terus menatap layar gawainya menunggu balasan dari David, tak seperti orang yang baru saja disakiti hatinya. Tapi balasan yang ia tunggu-tunggu tak kunjung tiba. David terakhir online satu jam lalu, mungkin sedang mengajar di kelas. Anjani menggaruk-garuk kepalanya, ia seperti mencerna dulu apa yang akan dilakukan. Layar gawainya terus standby dari ia mengirim pesan tadi.
***
Pukul sembilan tiga puluh menit, Anjani memasuki halaman sekolah mengendarai sepeda motor maticnya. Satpam sekolah segera tersenyum dan menganggukkan kepalanya saat Anjani membunyikan klakson. Bila ada guru atau staff lain bertanya, ia bisa saja beralasan mengurus sesuatu di kampus. Alasan sakti yang amat jamak digunakan mahasiswa magang lainnya. Seratus persen berhasil tanpa resiko.
Anjani memarkirkan sepeda motor dan bergegas menuju ruang guru. Suasana sekolah ini tampak sepi karena kegiatan belajar mengajar sedang berlangsung. Terdengar sayup-sayup suara guru tengah menjelaskan materi pelajaran dari ruang-ruang kelas yang tertutup. Beberapa siswa mengenakan jas laboratorium tampak membawa beberapa benda menuju laboratorium kimia. Mereka menyapa Anjani yang datang dari arah berlawanan.
Ruang guru begitu sepi. Tak ada satu pun aktivitas di dalamnya. Anjani meletakkan tasnya di meja, ada juga beberapa tas milik teman sesama mahasiswa magang di sana. Pandangannya mencari jejak David di meja kerjanya. Bersih, tak ada tanda-tanda penghuninya sudah datang. Ia buka gawainya, tak ada balasan pesan dari David. Bahkan pesannya tadi belum juga dibaca.
“Kak, nggak masuk kah hari ini?” Anjani mengirim pesan berikutnya. Hatinya menjadi tak tenang. Terakhir kali David tanpa kabar seperti ini, ia kemudian datang membawa keputusan yag menyakitkan. Apa sebaiknya ia telepon saja? Atau cari di kostnya seperti kemarin? Anjani memukul keningnya. Mengapa ia begitu peduli dengan David? Mengapa ia tidak bisa bersikap sewajarnya saja?
Gawainya bergetar, notifikasi pesan masuk. Dari David, pesan yang Anjani tunggu-tunggu. Anjani tersenyum lebar bahkan sebelum membaca isi pesannya. Jantungnya berdegup kencang. Raut wajahnya begitu berseri-seri sungguh berbeda dengan dua jam lalu saat waktu dihabiskannya untuk meratap.
“Sorry, Jani. Kakak hari ini ijin nggak masuk kerja, ada urusan di kampung. Ada apa ya?” Anjani lega, pujaan hatinya baik-baik saja dan dari pesannya ia tak sedang menjalani hal yang buruk.
“Oh, kirain kenapa kok nggak ada di sekolah. Mau ngobrol aja sambil makan siang. Ya udah, Kak, maaf ganggu,” Anjani mengakhiri pesannya dengan emoji senyum. David sudah membaca dan tetap online, tapi tak membalas. Mungkin sudah tidak ada lagi yang perlu dikonfirmasi dari Anjani.
Anjani sendiri tak memahami apa sebenarnya yang terjadi dengan perasaannya. Hatinya seperti dibolak-balik dan selalu berseberangan dengan logika. Beberapa kali ia alami hal tersebut hari ini. Secara logika seharusnya ia tak perlu menangisi David karena tak ada yang istimewa dari hubungan singkat mereka. Secara logika pula ia seharusnya tak perlu menghubungi David, karena tak ada urgensi untuk itu. Bahkan sekedar mengharapkannya lagi pun tak layak. Tapi semua yang dilakukannya berbanding terbalik dengan logika yang ia sadari sendiri.
Anjani masih sendiri di ruang yang cukup luas ini. Ia duduk di salah satu kursi dari deretan pasangan meja dan kursi membujur ke belakang beberapa banjar. Tak ada yang bisa ia lakukan di sini selain memainkan gawainya. Ia lalu membuka beberapa media sosial yang ia miliki. Beberapa unggahan story milik teman-teman dan akun publik yang ia ikuti. Ia membuka story milik David. Tampak video singkat yang diambil dari balik kemudi dengan latar lagu You-nya Ten 2 Five. Video berakhir saat seorang perempuan berhijab bersandar di bahu David.
Anjani terpekur, tatapan matanya kosong. Gawainya terus memainkan semua stories yang ada. Hanya video singkat yang ia lihat, tapi sakitnya di hati melebihi sakit diputuskan tadi pagi. Ia tidak ingin menangis di ruang ini. Sebentar lagi pasti para penghuninya akan tiba. Namun sekuat apa pun ia menahan, air matanya segera meluap.
Gadis itu bangkit, meraih gawai dan tasnya, lalu berjalan cepat menuju parkiran sepeda motor melewati koridor kelas yang cukup panjang. Di tempat itulah dulu David menyatakan cinta padanya. Ia menerima lalu seketika memutuskannya karena David masih menyayangi Adelia.
"Hah? Adelia? Apakah perempuan di story itu Adelia? Ya Tuhan, bahkan pria yang menculik David semalam juga menyebut nama Adelia," batin Anjani.
“Pak, Bu, aku pamit ya. Terima kasih sudah menyambutku, terutama untuk restunya,” pamit Adelia pada Bu Maryam dan Pak Ahmad. Kedua orang tua David itu tampak menyunggingkan senyum. “Bilang ke orang tuamu, Insya Allah hari minggu kami ke rumah untuk silaturahmi dan membicarakan rencana pernikahan kalian,” ujar Pak Ahmad saat Adelia menyalami dan mencium tangannya. Ia lalu mengusap lembut kepala Adelia. “Jaga Mamamu ya, Nak. Jangan biarkan dia mikir yang enggak-enggak. Penyakit itu banyak yang datang dari pikiran.” Bu Maryam memeluk perempuan cantik berhijab di hadapannya erat sekali. Seolah menandakan bahwa ia mulai diterima menjadi bagian dari keluarga ini. “Baik, Bu,” jawab Adelia singkat. Sebuah kecupan mendarat di keningnya. Adelia tersenyum lebar menatap wajah teduh Bu Maryam. Perempuan tua ini jauh lebih hangat dan bersahaja dari mamanya sendiri. Bersama suaminya mereka berdua punya tatapan dan senyum yang meneduhkan. David berdiri di depan pintu
Pukul sembilan belas tiga puluh David meninggalkan rumah Adelia. Ia hanya mampir sebentar untuk sholat magrib dan berbincang beberapa hal hasil pertemuan dengan orang tuanya kepada orang tua Adelia. Lalu menolak dengan halus ajakan untuk makan malam bersama, dengan alasan ada pekerjaan yang harus diselesaikan malam ini juga. Berjarak kurang lebih seratus meter, ia melewati rumah Anjani. Rumah yang tiga belas jam lalu ia singgahi, hanya sebentar namun menghasilkan air mata. Seseorang tengah duduk di kursi teras rumah Anjani. Tertunduk memeluk lutut dengan rambut panjang yang menutupi seluruh wajahnya. David memperhatikan sekilas, ia mengangkat kaki dari pedal gas mobilnya. "Siapa dia? Apa mungkin Anjani?" batin David. Ia lalu menghentikan mobilnya di depan rumah tetangga sebelah Anjani. 'Kamu di teras rumah, Jani?' pesan terkirim. Sesekali David menoleh ke belakang memperhatikan perempuan tadi. Tidak ada pergerakan. Pesannya tadi pun belum dibaca. Ah,
Satu jam baru saja terlewati. Sejak Anjani keluar dari mobil David dan berusaha melawan hawa dingin di parkiran hotel atas bukit. Tak banyak kata terucap dari kedua mulut insan yang saling mencinta tapi tak bisa bersatu ini. Menikmati junk food dan memanjakan mata dengan pendar lampu-lampu kota sudah cukup membuat hati anjani jauh lebih baik. sejenak ia lupakan dua pertanyaan yang mengganggu pikirannya. David tak ada maksud apa pun selain memperbaiki suasana hati Anjani. Ia merasa bertanggung jawab atas yang terjadi pada gadis itu meski berisiko memberikan harapan semu. David berencana perlahan-lahan melepaskan diri dari Anjani sembari mempersiapkan pernikahannya dengan Adelia. Sungguh sebuah kenyataan yang berbanding terbalik dengan kondisinya beberapa hari lalu. Kini dua ada dua gadis yang menyerahkan hatinya untuk David. “Pulang yuk? Udah jam sembilan,” ajak David. Anjani menatap lekat-lekat lelaki di sampingnya. Lelaki itu bangkit dan merapikan s
“Lu kemana aja, Bro?”“Lah, ada Lu, Bro? Sejak kapan? Kok gue nggak liat Lu masuk?” David bangkit dari bean bag-nya.“Eee ... anak Pak Ahmad ngelawak. Lu yang dari tadi cengar-cengir depan hape. Sampe nggak nyadar gue masuk. Udah pipis segala gue di kamar mandi Lu. Kemana aja sih? Gue tiga kali kemari nggak ada orang melulu,” protes Andra.“Dih, hari gini ada teknologi namanya hape. Telpon lah! Kalo nggak ada pulsa bisa WA. Nggak ada kuota? Mampir aja bentar di warkop nebeng WIFI, susah amat idup Lu!” balas David.“Lah jomblo kaya Lu biasanya kalo nggak di kost-an ya di kerjaan kan?” seru Andra. Ia lalu mencari stop kontak tanpa penghuni untuk mengisi ulang baterai gawainya. David tak mempedulikan sahabatnya itu. Andra memang sudah biasa menganggap kostnya ini seperti kamar sendiri. Bahkan dulu saat belum dapat kost, ia tinggal bersama David selama beberapa minggu.
David menyisir rambutnya perlahan setelah mengaplikasikan gel rambut sebesar ibu jari. Sudah pukul enam empat puluh menit. Biasanya ia sudah dalam perjalanan menuju sekolah. Gara-gara Andra memaksa akhirnya hampir sepanjang malam David menceritakan dengan rinci mengapa ia bisa kembali pada Adelia dan segera akan menikah. Hal itu juga lah yang membuatnya sedikit terlambat bangun. Pemilik rambut ikal berkulit coklat itu masih terlelap karena baru tidur dini hari. Dia lulusan desain grafis yang memilih untuk menjadi pekerja lepas dari pada terikat seperti David. Di jaman serba digital ini kemampuannya banyak dibutuhkan. Ia terbiasa mengerjakan suatu projek sampai melupakan tidur namun ia akan tidur seharian bila projeknya telah selesai. Dari luar Andra tampak begitu tak teratur. Namun sesunguhnya ia adalah lelaki paling terjadwal yang dikenal David. “Bro ... bangun bentar!” David menyentuh ujung jari kaki Andra dengan kakinya yang sudah bersepatu. Andra menggeliat mereg
David mengemudikan mobilnya memasuki sebuah kompleks perkantoran berlantai empat. Seorang secutiry mengehentikan mobilnya dan menghampiri di sisi kanan mobil. Pria bertubuh tegap itu tampak membawa sebuah tongkat panjang dengan cermin cembung besar di bawahnya. David membuka kaca mobilnya. Pria itu memberikan hormat dan mengucapkan salam. David tak mendengar dengan jelas apa yang pria itu katakan. Tapi David paham bahwa ini adalah pemeriksaan sesuai prosedur komplek perkantoran ini.Security itu kemudian mengelilingi mobil David, memeriksa bagian bawah mobil menggunakan cermin cembung bertangkai itu. Setelah selesai, ia mempersilahkan David untuk masuk ke area parkir melalui lobi gedung. Adelia berkantor di lantai 3. Bekerja full time sebagai Customer Service Relationship di sebuah perusahaan asuransi membuat calon istrinya itu banyak beraktivitas di luar kantor. Bertemu dengan pihak-pihak terkait dari berbagai kalangan. Inilah yang sering dimanfaatkan sepas
Pukul tujuh belas lima menit, David sudah menunggu Adelia di parkiran gedung perkantoran yang tadi siang ia datangi. Para pekerja satu persatu sudah mulai meninggalkan kantor. Beberapa menghampiri pasangannya yang menunggu di parkiran sama seperti David. Ada yang tengah hamil, ada yang dijemput oleh suami dan anak-anaknya. Sebuah pemandangan yang membangkitkan harapan David akan kejadian masa depan yang mungkin akan dilaluinya bersama Adelia. Dari lobi gedung tampak Adelia keluar sambil membawa tas jinjing dan beberapa berkas dalam map berwarna biru. Ia tampak melambaikan tangan pada rekan kerjanya, lalu melangkah dengan ringan ke arah mobil David. Wajahnya masih segar seperti tadi siang. David menduga sebelum pulang ia merias ulang lagi riasannya. Sama seperti rekan guru David pada umumnya. “Udah lama ya?” ujar Adelia begitu membuka pintu. “Ah, enggak ... paling sepuluh menit,” jawab David sembari mengenakan sabuk pengaman. “Ini langung ke rumah atau kemana
Pukul dua puluh lewat empat puluh menit David pamit pulang. Pak Ruslan mengingatkan lagi tentang permintaannya menjadikan temu keluarga sekaligus proses lamaran. Bu Ratri dan Adelia mengantarkannya sampai ke teras. Calon ibu mertua David itu mengusap-usap bahu David seolah memberikan dukungan atas sikap dingin suaminya. Sekaligus menguatkan David agar tetap bersedia mendampingi putrinya.Lambaian tangan dan senyuman dua ibu dan anak itu mengakhiri makan malam tak nyaman David bersama calon mertuanya. Bau kerumitan kehidupan rumah tangga dalam hal hubungan dengan keluarga istri sudah tercium sejak dini. Seandainya dulu ia tidak menyerahkan sepenuhnya hal ini pada Adelia, mungkin ceritanya tak akan seperti ini. Mereka berdua seolah melompati sebuah proses untuk melewati proses lain yang lebih berat sebelum mencapai tujuan yang sama.David membelokkan mobilnya ke sebuah minimarket yang sering bersebelahan dengan kompetitornya. Minimarket franchise bermaskot lebah ini menj