“Terima kasih sudah mau datang, Vid,” ucap Bu Ratri saat menyambut uluran tangan David.
Wajah wanita itu berseri memandang wajah David yang lebih tinggi darinya. Jika saja lelaki di hadapannya masih suami Adelia, mungkin ia sudah memeluknya sejak melihatnya tadi. Bu Ratri sekuat hati menahan haru meski tak dapat ia sembunyikan dari air mukanya. Kedua netranya mengembun. Ditambah wajah cemas David yang berusaha segera melihat kondisi putrinya.
“Gimana kondisi Adelia, Ma?” tanya David.
“Sebelumnya maafkan kami, Vid, sudah mengganggu persiapan pernikahanmu,” ujar Bu Ratri sendu. Jauh di dalam hati tentu ia masih menginginkan David untuk kembali menjadi keluarganya. Meski sekarang sudah mustahil.
“Mama nggak perlu pikirkan itu, aku nggak bisa lama di sini. Itu pun karena ada calon anakku di perut Adelia. Dan menurut Mama kehadiranku bisa memperbaiki kondisi Adelia,” ucap David lugas. Bagaimana pun pikirannya jug
“Apa aku bisa, Vid? Aku sempat putus asa, nggak ada yang mau ngerti aku. Papa selalu keras kepala dengan pemikirannya. Mama hanya menutup mata, dia nggak ingetin aku kalau aku salah,” ratap Adelia. Air bening mengalir di pipinya. Orang yang ia harapkan dan rindukan itu kini ada di sampingnya.“Kamu pasti bisa, Del. Aku dukung kamu. Sekarang bukan cuma kamu sendiri yang kamu pikirin. Ada nyawa di dalam rahimmu. Tolong tetap kuat untuk anak kita,” David mengusap air mata di pipi Adelia. “Kamu mau janji buatku?”“Aku janji, Vid,” angguk Adelia sambil tersenyum. Senyum pertamanya sejak mereka memutuskan untuk berpisah. Kehadiran lelaki ini sungguh mampu merubah pemikirannya. Semangatnya kembali tumbuh setelah tandas tak bersisa kemarin.“Alhamdulillah,” sahut David senang. Kedua mata insan yang pernah saling mencinta itu bertemu. Ada banyak energi yang David salurkan pada mantan istrinya. Sedang Adelia kemb
Pukul delapan belas empat belas menit David tiba di rumah. Mobilnya ia parkirkan di luar pagar tanaman, ketika ia pergi tadi halaman rumah berantakan dan ramai orang-orang yang membantu menyiapkan acara besok. Namun dari dalam mobilnya ia tak melihat aktivitas apa pun di halaman rumahnya. Tak ada juga nyala lampu besar yang sudah diinstalasi sejak tadi siang. Perlahan David keluar dari mobilnya. Langkah kakinya terhenti sejenak di halaman rumah. Hatinya penuh dengan tanya menyaksikan tak ada perubahan berarti dengan dekorasi pelaminan dan seluruh area resepsi. Tak juga terdengar suara aktivitas terutama ibu-ibu yang biasanya riuh bergurau di tengah-tengah pekerjaannya. Pintu rumahnya juga tertutup rapat. Sesuatu yang hampir tak pernah terjadi pada rumah Saiful Hajat. Suara anak kunci diputar dua kali, handel pintu di tekan dan muncul Bu Maryam. Wanita itu berjalan cepat ke arah David dengan wajah panik. Sampai di depan putranya, Bu Maryam tak juga mengucapkan sepatah kata pun. “Ada
“Ini apa, Bro?” tanya David memperhatikan lipatan kertas putih yang tak sengaja keluar dari sling bag Andra. “Eits, jangan asal ambil, Bro!” Seketika Andra merebut lipatan kertas putih yang tadi dipegang David. Ia buru-buru memasukkan lagi kertas tersebut di tempat semula. “Nah, Lu ngobat ya? Ngaku Lu!” hardik David, telunjuknya mengacung tepat di hidung Andra yang duduk di sebelahnya. “Eh, nggak! Gila Lu nuduh gue ngobat, haram Bro, haram!“ Andra membuang arah pandangannya. Kedua tangannya memeluk sling bag hitam miliknya. “Kok Lu panik kalau itu bukan barang haram? Hah?” David masih meninggikan suaranya. “Eem ... Berani sumpah gue, ini bukan barang haram.” Andra kini memutar arah duduknya, membelakangi David. “Ya kalau bukan barang haram, santai saja lah, sini gue lihat itu apa!” David mengulurkan tangannya. Ia sengaja menunggu reaksi Andra. Kalau pun Andra tidak memberitahu, ia pasti akan memaksa. Perlahan An
Pukul tujuh pagi, David terbangun karena suara tetangga kost menghidupkan motor tepat di depan pintu kamarnya. Suara melengking knalpot racing dan aroma emisi gas buang memaksanya bangkit dan membuka pintu kamar. Ia tampak melongok sebentar ke kamar sebelah, lalu ia matikan kontak motor tetangga dan menutup pintunya kembali. Pemilik motor biasanya akan menyadari kekeliruannya, menuntun motornya sampai depan lalu menghidupkan di sana. David meraih gelas di atas galon air mineral, menekan tuas dispenser dan meneguk segelas air. Gawainya yang sejak semalam diisi ulang baterainya tampak menampilkan beberapa notifikasi. Biasanya hanya pesan grup yang kadang sengaja tak pernah ia buka atau bahkan dibisukan. Grup sekolah satu-satunya yang tidak ia bisukan karena urusan pekerjaan. Tapi hari ini David tidak ada jam mengajar. Ia abaikan gawainya, lalu masuk ke kamar mandi. Air mengalir deras dari keran plastik yang dibuka maksimal ke dalam ember. David mengguyur kepal
Pukul sembilan lima puluh lima menit, David melajukan mobilnya menuju Prime Coffee. Baru saja ia antarkan Anjani kembali ke sekolah. Mahasiswi cantik itu masih tampak dari kaca spion mobilnya, masih menatap kepergian David. Senyum manis mengembang di wajahnya. Ia lalu memasuki gerbang sekolah setelah mobil David mendahului mobil di depannya. Beberapa notifikasi pesan muncul di gawai David. Ia melirik, dari Anjani, Adelia, grup sekolah dan bebarapa yang tak dapat tampil di layar gawai. David tersenyum, ia masih begitu penasaran dengan apa yang akan Adelia bicarakan dengannya. Selain tentu ada senggurat rindu yang diam-diam ia simpan untuk mantan dambaan hatinya itu. Mereka tidak pernah bertemu sejak Adelia mengakhiri hubungan hampir tiga bulan lalu. David keluar dari mobilnya, di area parkir Prime Coffee tempat yang sama satu jam lalu. Tidak banyak kendaraan parkir di sana. Jam sibuk kedai kopi ini memang belum sampai, ini masih terlalu pagi. David membuka pesan dari
Adelia membuka kaca jendela penumpang mobil MPV tiga baris milik perusahaan. Ia melambai pada pujaan hati yang berdiri di balkon lantai dua Prime Coffee. Wajahnya nampak berseri-seri, senyumnya merekah membuatnya tampak semakin mempesona. David membalas lambaian tangannya. Perempuan cantik itu lalu hilang oleh mobil yang sudah melaju, namun aroma parfumnya masih tertinggal. David menghela napasnya, ia tersenyum sendiri. Ada banyak emosi yang bercampur di hatinya. Ia duduk kembali di tempat Adelia tadi mendekap lengannya. Di hadapannya masih ada separuh cup Moccachino milik Adelia dengan bekas lipstik di tepinya. Ia sudah sering menemui hal ini dulu, tapi entah mengapa kali ini bekas lipstik itu terasa spesial. David meraih gawainya, mengabadikan dengan kamera. “Halo, ya, Del. Ada apa?” tanya David. Tiba-tiba gawainya berdering ketika ia keluar dari aplikasi kamera. “Vid, masih di Prime Coffee?” tanya Adelia dari seberang. “Masih, tapi sebenta
Mobil yang membawa David berhenti di sebuah rumah besar berpagar putih. Sudah ada sebuah mobil yang lebih dulu parkir di halamannya. David kenal betul dengan rumah ini. Pria yang tadi memukul perutnya ia kenal sebagai Kak Bagas, kakak Adelia. Pria itu kini merangkul David dan menggiringnya untuk segera masuk ke dalam rumah. Dua pria lain duduk di teras rumah, mulai membakar rokoknya. Bagas langsung membawa David ke ruang tengah. Sudah ada Pak Ruslan, Papa Adelia yang tampak sudah tak sabar menunggu mereka tiba. Bu Ratri, mama Adelia duduk di sofa sambil memeluk seorang perempuan memakai mukena, David tebak itu Adelia. Di tengah kebingungan, Bagas mendorong tubuh David hingga ia dengan cepat tiba di hadapan Pak Ruslan. Sebuah tamparan keras mendarat di pipi kiri David. Pak Ruslan menggeram melepaskan amarahnya. David terhuyung ke kanan, jika tak ada dinding ia pasti sudah roboh ke lantai. Telinganya berdenging, tulang pipinya terasa begitu sakit. Mungkin terhantam ole
“Jani….” “Kak David? Kakak baik-baik aja?” Suara Anjani terdengar parau, ia belum lama bangun. Setelah kejadian semalam ia terus berusaha menghubungi David tapi tak berhasil. Sampai pagi ini pun tak ada pesannya yang dibalas David. “Iya, Kakak sehat. Bisa keluar sebentar? Kakak di depan pagar rumahmu. Ada hal penting yang mau Kakak omongin,” “Oh, oke Kak, tunggu sebentar.” “Oke.” Sambungan telepon itu terputus. Anjani buru-buru mengenakan pakaian yang layak untuk dikenakan di depan kekasihnya. Ia mencuci muka dan merapikan rambutnya sebentar. Ini pasti penting, masih pukul enam pagi dan David sudah berada di depan pagar rumahnya. Anjani meraih kunci gembok pagar dan keluar melalui pintu samping. “Masuk dulu, Kak.” Anjani menggeser pagar rumahnya sedikit, sekedar cukup untuk dilewati seseorang. Sekilas ia perhatikan wajah David, datar-datar saja. Ada banyak kegelisahan terlihat jelas di sorot matanya. Ada juga sedikit le