“Jani….”
“Kak David? Kakak baik-baik aja?”
Suara Anjani terdengar parau, ia belum lama bangun. Setelah kejadian semalam ia terus berusaha menghubungi David tapi tak berhasil. Sampai pagi ini pun tak ada pesannya yang dibalas David.
“Iya, Kakak sehat. Bisa keluar sebentar? Kakak di depan pagar rumahmu. Ada hal penting yang mau Kakak omongin,”
“Oh, oke Kak, tunggu sebentar.”
“Oke.”
Sambungan telepon itu terputus. Anjani buru-buru mengenakan pakaian yang layak untuk dikenakan di depan kekasihnya. Ia mencuci muka dan merapikan rambutnya sebentar. Ini pasti penting, masih pukul enam pagi dan David sudah berada di depan pagar rumahnya. Anjani meraih kunci gembok pagar dan keluar melalui pintu samping.
“Masuk dulu, Kak.”
Anjani menggeser pagar rumahnya sedikit, sekedar cukup untuk dilewati seseorang. Sekilas ia perhatikan wajah David, datar-datar saja. Ada banyak kegelisahan terlihat jelas di sorot matanya. Ada juga sedikit lebam di pipi kiri, David coba sembunyikan dengan kupluk hoodienya.
“Nggak usah, di sini aja. Kakak nggak lama kok.”
“Ada apa, Kak?”
“Sebelumnya Kakak minta maaf, Jani.” Suara David terhenti.
“Apa yang terjadi, Kak?”
“Tak ada, semalam itu urusan keluarga besarku. Maafin Kakak, Jani. Kakak nggak bisa cerita detail masalahnya. Tapi sepertinya kita nggak bisa lanjut….”
Anjani tersentak, ia cermat mendengar suara dan menyimak gerak bibir David. Tak ada yang salah dengan pendengaran dan penglihatannya. David tertunduk, ia tak berani menatap mata gadis yang tadi malam memeluknya di atas sepeda motor itu.
“Kak, lihat aku, Kak.”
Anjani menatap lekat-lekat wajah lelaki yang dicintainya itu. Kedua telapak tangannya meraih kedua sisi wajah David dan mengangkatnya perlahan. David tetap tak mau melihat wajah Anjani, ia membuang pandangannya. Ada banyak rasa haru yang terus coba ia tahan. Anjani menurunkan kupluk hoodie David.
“Kakak kenapa, Kak?” tanya Anjani melihat lebam di pipi kiri David.
“Nggak apa, ini bukan apa-apa.”
David meraih pergelangan tangan kiri Anjani dari wajahnya. Mata dibalik lensa gadis itu mulai basah. Tampak jelas oleh David yang kini menunduk menatap wajah Anjani yang menengadah. Sudah ada ruang dalam hati yang ia siapkan khusus untuk gadis di hadapannya. Ada rasa sayang yang baru saja mulai ia pupuk namun harus segera ia cabut. Hatinya condong ke Adelia.
“Maaf, Anjaniku, Kakak harus menyudahi hubungan kita.”
“Iya, Kak. Tapi apa sebabnya? Aku nggak akan mau kalo nggak tahu sebabnya.” Anjani setengah memohon. Ia mulai terisak, menghirup cairan dari hidungnya yang meleleh. Sedang air matanya tak kuasa lagi berdiam di tempatnya. “Apa karena Kak Adelia? Semalam orang-orang itu sebut nama dia kan?”
“Nggak, Jani. Ini bukan soal dia.”
“Aku nggak masalah kok kalau Kakak masih sayang sama dia. Itu lah kenapa aku ngajak Kakak balikan kemarin lusa.”
“Kamu nggak bisa maksa Kakak untuk terus sama kamu kan?”
“Kenapa nggak? Kakak bisa maksa sayang sama aku walaupun masih sayang sama Kak Adelia kan?”
“Itu sebabnya! Kakak mencoba untuk sama kamu, dan ternyata nggak bisa. Kamu ngerti kan, Jani?” Suara David mendadak meninggi kemudian lembut lagi di akhir kalimatnya. Ia menyadari makhluk tak berdosa di hadapannya ini mulai hancur. “Maafin Kakak, Jani. Kita udahan aja ya? Terima kasih untuk dua hari yang indah ini,” ujar David sembari melepaskan tangan Anjani.
Anjani terdiam, tangis yang ia tahan sungguh terasa begitu menyesakkan dada. David berpaling, meninggalkan telapak tangan kanannya yang tadi menyentuh pipi lebam David. Lelaki itu berjalan menuju mobilnya. Membuka pintu, berhenti sejenak dan menoleh ke belakang. Matanya basah, sama seperti hati gadis cantik yang baru saja cintanya terenggut paksa. David sendiri tak menyangka ia melakukan hal securang ini pada Anjani.
David meninggalkan rumah Anjani. Ia masih dapat melihat Anjani berlari masuk ke dalam rumah dari spion mobilnya. Ia tahu hati gadis itu pasti sakit, begitu juga hatinya meski dalam versi yang berbeda. Ia pacu mobilnya dengan kecepatan tinggi. Jalanan masih sepi, hanya ada beberapa pengendara sepeda motor dari arah berlawanan. Tak akan terganggu dengan kecepatan mobil David.
Masih ada waktu satu jam lagi untuk bertemu Adelia di rumahnya. Hanya selisih dua rumah dengan rumah Anjani. Itu sebabnya ia ke rumah Anjani pagi-pagi, meminimalisir bertemu atau terlihat oleh Adelia. Berurusan dengan perempuan yang kini calon istrinya itu masih bisa dibicarakan baik-baik. Tapi tidak dengan calon kakak ipar dan mertuanya, lebih baik waspada.
“Assalamualaikum,”
“Wa'alaikumussalam, Bu. Ibu sehat? Ini pakai hape Laras, emang orangnya belum berangkat sekolah?” jawab David. Telepon dari Ibu setelah kejadian semalam, sungguh dimulai dengan rikuh. Apalagi David sengaja tak menghubungi keluarganya tadi malam.
“Alhamdulillah sehat, Vid. Kalau nggak pake hape Laras ya pake punya siapa lagi? Oh iya, kamu sudah ketemu Adelia?” Ibu memang selalu to the point. Perempuan sederhana yang sampai sekarang tak bisa menggunakan telepon genggam, apalagi smartphone. Dulu David sempat membelikannya, namun setelah baterainya habis ia biarkan begitu saja sampai sekarang.
“Sudah, Bu. Adelia telepon Ibu semalam?”
“Iya, dia telepon Laras. Lalu video call, jadi dia, Mamanya dan kami bertiga ngobrol. Sebenarnya Mamanya Adelia itu sakit apa toh?”
“Hah? Sakit?”
“Lho, dia bilangnya sakit keras. Jadi sebelum dia meninggal dia mau lihat Adelia menikah dulu sama kamu. Karena dia sudah merasa cocok sama kamu, Vid.” Terang ibu.
Baik, terjawab sudah mengapa Bu Ratri tampak tenang saja semalam. Beliau tahu dan ikut sandiwara yang dibuat Adelia. Mereka berdua juga tega membohongi orang tua David. Tapi apa motifnya sampai Bu Ratri mengikuti rencana anaknya?
“Kalo itu aku nggak paham, Bu. Ini rencananya aku mau bawa Adelia pulang. Nanti tanya sama dia ya, Bu?”
“Oh, boleh-boleh. Tapi Ibu mau tanya sama kamu, Vid. Kamu nggak hamilin Adelia kan?”
“Astagfirullah … Ibu, kok gitu sih ngomongnya?” David menghela napasnya. Ia tepikan mobilnya, ia telah sampai di perbatasan kota.
“Lho, apa salah Ibu tanya begitu? Apa lagi alasan pihak perempuan mendesak untuk menikah kalo bukan itu?”
“Kan tadi katanya Mamanya Adelia sendiri bilang dia sakit, Bu.” Jawab David.
“Ibu nggak percaya, Vid. Pasti ada alasan lain. Adelia nggak hamil kan, Vid?”
“Nggak, Bu. Insya Allah dia perempuan baik.” jawab David gamang.
David pernah beberapa kali membawa Adelia untuk bertemu dengan orang tuanya. Ibu tak pernah membicarakan kesannya ke Adelia pada David. Semua biasa saja, justru Laras yang kemudian menjadi dekat. Mereka tampak seperti sahabat jika bertemu. David sendiri tak yakin apa Laras tahu mereka sempat putus dan Adelia sempat bertunangan dengan orang lain. Akan beda ceritanya kalau ibu tahu.
“Mungkin ini kekhawatiran Ibu saja. Kamu sendiri apa sudah yakin dengan pilihanmu, Vid?” lanjut Ibu.
“Sudah, Bu.” jawab David singkat.
Telepon terputus, David memeriksa apa ada masalah dengan jaringannya. Ia lalu mencoba menghubungi Ibu lagi beberapa kali tapi tak dapat tersambung. David meletakkan gawainya di konsol tengah kabin mobilnya. Ia menghela napas panjang, bersandar pada kursi kemudi. Matanya terpejam, begitu banyak hal terjadi padanya dalam tiga hari saja.
David melirik arlojinya, ia mengarahkan mobilnya kembali ke kota menuju rumah Adelia. Biar nanti ia tanyakan sendiri rencana sandiwara ke dalangnya. Kalau perlu ia minta juga dia untuk meyakinkan ibunya. Untuk memulai sebuah chapter baru dalam hidup harus ada keterbukaan, paling tidak antar mereka berdua saja. Baru di awal saja Ibu sudah mencium gelagat yang aneh pada Adelia.
Pukul enam lewat lima puluh menit David sampai di rumah Adelia. Ia sengaja melalui jalan yang berbeda agar potensi bertemu Anjani menjadi minimal. Sebelum turun ia bercermin, memastikan raut wajahnya normal. Terutama di sekitar mata yang tadi sembat basah karena kehilangan Anjani.
Pagar bercat putih itu ia dorong dan bergeser ke kiri. Pagar yang dulu sering ia perlakukan dengan cara yang sama. Biasanya perempuan cantik sedikit pendiam itu akan segera keluar seolah terpanggil oleh suara pagar yang bergeser itu. Sayup David mendengar anak kunci diputar, disusul handel pintu yang ditekan. Perempuan itu muncul, senyumnya mengembang. Ia tampak begitu anggun dengan hijab dan gamis pastel yang dikenakannya.
“Assalamualaikum….”
“Wa'alaikumussalam….”
Adelia masih saja tersenyum, matanya berbinar-binar. Lelaki yang dicintainya berdiri di teras rumah dengan senyum yang mengembang, sama dengan senyumnya. Mata mereka saling bertemu. Ada banyak harapan terpampang di sana. Mata-mata itu seolah bercerita akan seperti apa kehidupan yang akan mereka lalui bersama-sama. Tak lama lagi.
“Pipimu masih sakit, Vid?” Adelia membuka pembicaraan setelah mobil yang mereka kendarai melaju beberapa meter dari rumahnya. “Lebam sih, sakit kalo kepegang aja,” jawab David singkat, matanya fokus ke depan. “Maaf ya, aku sudah terlanjur kasih tahu Rangga, aku nggak nyangka kalo dia dan keluarganya langsung dateng buat batalin pertunangan.” “Iya, jadi aku yang nanggung kebohonganmu kan?” ujar David kesal. “Sayang, aku minta maaf. Aku nggak tahu harus pakai cara apa,” Adelia menatap wajah David yang mengemudi di sebelahnya. Jemarinya menggapai pipi kiri David yang jelas sekali lebam. Pria itu masih fokus pada kemudi mobilnya. “Kamu berubah, Del. Kamu di luar ekspektasiku. Kebohonganmu ini benar-benar nggak kuduga,” tutur David datar. Emosinya terasa amat berbeda saat semalam pamit pulang dan saat datang menjemput beberapa menit lalu. “Apa lagi yang aku belum tahu, Del?” David meilirik sekilas kekasihnya yang amat diliputi rasa bersalah.
Anjani bangkit, bantalnya basah oleh air mata. Kedua matanya masih terus mengalirkan cairan bening yang teriring dengan isak tertahan. Ia duduk bersila di atas tempat tidur dengan sprei merah muda favoritnya. Rambut yang belum lama tadi ia rapikan, sudah tidak beraturan lagi. Sebagian yang menjuntai ke wajah juga basah. Ia tampak begitu berantakan. Gadis itu tak kunjung memahami mengapa hatinya begitu hancur. Padahal tak banyak yang pantas ia tangisi dari dua hari bersama David. Menurutnya tak ada hal istimewa selain momentum di atas motor semalam. Tapi setiap kali ia berpikir untuk tak peduli, air matanya justru semakin deras. Isaknya semakin menderu, seperti ada energi yang terus memaksanya untuk meratapi David. Sama seperti kemarin sampai akhirnya ia paksakan untuk mendatangi David di kostnya. “Jani, kamu nggak kuliah? Udah bangun kan?” seru Ibu setelah mengetuk pintu kamar beberapa kali. Anjani menarik napas panjang. Berusaha menetralkan suasana hatinya y
“Pak, Bu, aku pamit ya. Terima kasih sudah menyambutku, terutama untuk restunya,” pamit Adelia pada Bu Maryam dan Pak Ahmad. Kedua orang tua David itu tampak menyunggingkan senyum. “Bilang ke orang tuamu, Insya Allah hari minggu kami ke rumah untuk silaturahmi dan membicarakan rencana pernikahan kalian,” ujar Pak Ahmad saat Adelia menyalami dan mencium tangannya. Ia lalu mengusap lembut kepala Adelia. “Jaga Mamamu ya, Nak. Jangan biarkan dia mikir yang enggak-enggak. Penyakit itu banyak yang datang dari pikiran.” Bu Maryam memeluk perempuan cantik berhijab di hadapannya erat sekali. Seolah menandakan bahwa ia mulai diterima menjadi bagian dari keluarga ini. “Baik, Bu,” jawab Adelia singkat. Sebuah kecupan mendarat di keningnya. Adelia tersenyum lebar menatap wajah teduh Bu Maryam. Perempuan tua ini jauh lebih hangat dan bersahaja dari mamanya sendiri. Bersama suaminya mereka berdua punya tatapan dan senyum yang meneduhkan. David berdiri di depan pintu
Pukul sembilan belas tiga puluh David meninggalkan rumah Adelia. Ia hanya mampir sebentar untuk sholat magrib dan berbincang beberapa hal hasil pertemuan dengan orang tuanya kepada orang tua Adelia. Lalu menolak dengan halus ajakan untuk makan malam bersama, dengan alasan ada pekerjaan yang harus diselesaikan malam ini juga. Berjarak kurang lebih seratus meter, ia melewati rumah Anjani. Rumah yang tiga belas jam lalu ia singgahi, hanya sebentar namun menghasilkan air mata. Seseorang tengah duduk di kursi teras rumah Anjani. Tertunduk memeluk lutut dengan rambut panjang yang menutupi seluruh wajahnya. David memperhatikan sekilas, ia mengangkat kaki dari pedal gas mobilnya. "Siapa dia? Apa mungkin Anjani?" batin David. Ia lalu menghentikan mobilnya di depan rumah tetangga sebelah Anjani. 'Kamu di teras rumah, Jani?' pesan terkirim. Sesekali David menoleh ke belakang memperhatikan perempuan tadi. Tidak ada pergerakan. Pesannya tadi pun belum dibaca. Ah,
Satu jam baru saja terlewati. Sejak Anjani keluar dari mobil David dan berusaha melawan hawa dingin di parkiran hotel atas bukit. Tak banyak kata terucap dari kedua mulut insan yang saling mencinta tapi tak bisa bersatu ini. Menikmati junk food dan memanjakan mata dengan pendar lampu-lampu kota sudah cukup membuat hati anjani jauh lebih baik. sejenak ia lupakan dua pertanyaan yang mengganggu pikirannya. David tak ada maksud apa pun selain memperbaiki suasana hati Anjani. Ia merasa bertanggung jawab atas yang terjadi pada gadis itu meski berisiko memberikan harapan semu. David berencana perlahan-lahan melepaskan diri dari Anjani sembari mempersiapkan pernikahannya dengan Adelia. Sungguh sebuah kenyataan yang berbanding terbalik dengan kondisinya beberapa hari lalu. Kini dua ada dua gadis yang menyerahkan hatinya untuk David. “Pulang yuk? Udah jam sembilan,” ajak David. Anjani menatap lekat-lekat lelaki di sampingnya. Lelaki itu bangkit dan merapikan s
“Lu kemana aja, Bro?”“Lah, ada Lu, Bro? Sejak kapan? Kok gue nggak liat Lu masuk?” David bangkit dari bean bag-nya.“Eee ... anak Pak Ahmad ngelawak. Lu yang dari tadi cengar-cengir depan hape. Sampe nggak nyadar gue masuk. Udah pipis segala gue di kamar mandi Lu. Kemana aja sih? Gue tiga kali kemari nggak ada orang melulu,” protes Andra.“Dih, hari gini ada teknologi namanya hape. Telpon lah! Kalo nggak ada pulsa bisa WA. Nggak ada kuota? Mampir aja bentar di warkop nebeng WIFI, susah amat idup Lu!” balas David.“Lah jomblo kaya Lu biasanya kalo nggak di kost-an ya di kerjaan kan?” seru Andra. Ia lalu mencari stop kontak tanpa penghuni untuk mengisi ulang baterai gawainya. David tak mempedulikan sahabatnya itu. Andra memang sudah biasa menganggap kostnya ini seperti kamar sendiri. Bahkan dulu saat belum dapat kost, ia tinggal bersama David selama beberapa minggu.
David menyisir rambutnya perlahan setelah mengaplikasikan gel rambut sebesar ibu jari. Sudah pukul enam empat puluh menit. Biasanya ia sudah dalam perjalanan menuju sekolah. Gara-gara Andra memaksa akhirnya hampir sepanjang malam David menceritakan dengan rinci mengapa ia bisa kembali pada Adelia dan segera akan menikah. Hal itu juga lah yang membuatnya sedikit terlambat bangun. Pemilik rambut ikal berkulit coklat itu masih terlelap karena baru tidur dini hari. Dia lulusan desain grafis yang memilih untuk menjadi pekerja lepas dari pada terikat seperti David. Di jaman serba digital ini kemampuannya banyak dibutuhkan. Ia terbiasa mengerjakan suatu projek sampai melupakan tidur namun ia akan tidur seharian bila projeknya telah selesai. Dari luar Andra tampak begitu tak teratur. Namun sesunguhnya ia adalah lelaki paling terjadwal yang dikenal David. “Bro ... bangun bentar!” David menyentuh ujung jari kaki Andra dengan kakinya yang sudah bersepatu. Andra menggeliat mereg
David mengemudikan mobilnya memasuki sebuah kompleks perkantoran berlantai empat. Seorang secutiry mengehentikan mobilnya dan menghampiri di sisi kanan mobil. Pria bertubuh tegap itu tampak membawa sebuah tongkat panjang dengan cermin cembung besar di bawahnya. David membuka kaca mobilnya. Pria itu memberikan hormat dan mengucapkan salam. David tak mendengar dengan jelas apa yang pria itu katakan. Tapi David paham bahwa ini adalah pemeriksaan sesuai prosedur komplek perkantoran ini.Security itu kemudian mengelilingi mobil David, memeriksa bagian bawah mobil menggunakan cermin cembung bertangkai itu. Setelah selesai, ia mempersilahkan David untuk masuk ke area parkir melalui lobi gedung. Adelia berkantor di lantai 3. Bekerja full time sebagai Customer Service Relationship di sebuah perusahaan asuransi membuat calon istrinya itu banyak beraktivitas di luar kantor. Bertemu dengan pihak-pihak terkait dari berbagai kalangan. Inilah yang sering dimanfaatkan sepas