Matahari menyisiri kulit Lusie yang tengah berjemur di tepi kolam renang. Siang ini ia dibebastugaskan oleh Hero dari tugasnya mengasuh Anea. Bisa dikatakan, kehadiran Lusie di rumah Hero sebagai kepala tinggi dari pengasuhan anaknya.
Lusie tidak peduli. Meskipun saat ini ia belum bisa menemui Eric, tetapi tetap saja ia harus membuat Eric tetap bertahan hidup dan membuatnya bahagia dengan menuruti apa yang dia inginkan.
Jika dipikir ulang, apakah Lusie tidak terlalu baik? Dia memenuhi keinginan orang lain dan menomorduakan dirinya. Bahkan untuk saat ini Lusie tidak lagi menyentuh cat dan kanvas. Dia tidak mengetahui bagaimana dirinya bisa membuat sesuatu yang dulunya amat ia sukai tergantikan dengan suguhan kesibukannya hari ini.
“Kau akan membuat kulitmu terbakar jika berbaring di sana seharian.”
Byur. Selalu saja seperti itu. Mengapa kehadiran Hero bisa memacu jantungnya berdegup lebih kencang? Hero muncul di permukaan setelah tadi menceburk
Suara deritan kereta saat itu terdengar begitu jelas ketika langit jingga membentang menutupi cakrawala. Di tepi kereta Swiss seorang gadis dengan gaun putih dan keranjang bunga berjalan anggun memecah keramaian. Topinya yang lebar menutupi senyum tipis yang terpajang.Gadis bergaun putih itu tidak bergerak ketika tangannya tiba-tiba dicengkram oleh seorang pria. Dia menodongkan pisau diam-diam dari samping tubuhnya. Gadis itu tidak lagi tersenyum. Dia hanya melangkah mengikuti perintah pria itu yang menatapnya tajam. Suasananya memang sangat ramai. Namun gadis itu tidak meminta tolong sedikit pun. Bahkan ia nampak tidak mencobanya.Pria dengan kaos hitam dan rambut gimbal itu membawanya ke dalam gang sempit. Dia tersenyum lebar ketika mendapati mangsanya yang masuk dalam jebakan.“Kau menginginkan sesuatu, tuan?” Suara gadis itu mengayun merdu.“Aku ingin sekali menghabisimu sampai kau teringat semua perbuatanmu!”“Pe
Lampu merah menyala di tepi jalan. Beberapa pejalan kaki melintas sebelum lampu berganti menjadi hijau. Hero mengetukkan jemarinya di stir sembari melihat keramaian kegiatan pagi itu. Ia melirik arloji, masih ada waktu sebelum ia memberikan kejutan untuk Lusie.Sebenarnya, Hero tidak tahu bagaimana harus menyebutnya. Apakah ini suatu kejuatan? Hadiah? Atau sekadar ucapan untuk mendorong semangat Lusie? Perempuan itu memang nampak diasingkan dari kehidupan sekolahnya, tetapi tidak semuanya tampak seperti itu.Hero tahu jika anak dari saingan bisnis ayahnya menjadi sahabat Lusie. Jika bukan karena informasinya yang memberitahukan keberadaan Lusie di rumah sakit, mungkin sampai saat itu ia akan menunggu di depan rumah Lusie hingga malam.Seperti pagi ini juga. Hero melihat Farel berdiri di depan rumah Lusie yang kosong. Isabella sudah kembali ke negara Irlandia untuk melanjutkan konser. Sedangkan Eric masih dirawat di rumah sakit sebagai tahap pemulihan. Akhirnya H
Lampu merah menyala di tepi jalan. Beberapa pejalan kaki melintas sebelum lampu berganti menjadi hijau. Hero mengetukkan jemarinya di stir sembari melihat keramaian kegiatan pagi itu. Ia melirik arloji, masih ada waktu sebelum ia memberikan kejutan untuk Lusie.Sebenarnya, Hero tidak tahu bagaimana harus menyebutnya. Apakah ini suatu kejuatan? Hadiah? Atau sekadar ucapan untuk mendorong semangat Lusie? Perempuan itu memang nampak diasingkan dari kehidupan sekolahnya, tetapi tidak semuanya tampak seperti itu.Hero tahu jika anak dari saingan bisnis ayahnya menjadi sahabat Lusie. Jika bukan karena informasinya yang memberitahukan keberadaan Lusie di rumah sakit, mungkin sampai saat itu ia akan menunggu di depan rumah Lusie hingga malam.Seperti pagi ini juga. Hero melihat Farel berdiri di depan rumah Lusie yang kosong. Isabella sudah kembali ke negara Irlandia untuk melanjutkan konser. Sedangkan Eric masih dirawat di rumah sakit sebagai tahap pemulihan. Akhirnya H
Di sudut ruangan yang gemerlap seorang lelaki menurunkan kaki kananya dari atas paha. Seorang perempuan dengan gaun hitam menghampiri lelaki dengan kemeja biru itu. Langkahnya bergerak anggun berirama. Seperti sebuah tarian yang sengaja disuguhkan untuk lelaki yang duduk sambil menggoyangkan gelas yang diisi wine di dalamnya.“Keributan apa yang sudah kau buat?” tanya perempuan itu. Ia menarik tangan lelaki tersebut. Suara musik klasik mengalun di dalam ruangan yang didominasi warna coklat dengan paduan hitam pekat.“Marina, mungkinkah aku…”“Kau lupa dengan janjimu, Hero?”Lelaki dengan mata biru safir itu terdiam. Dia mengelus pipi Marina yang berwarna kemerahan karena baru saja tampil di konsep out dor untuk memamerkan rancangan gaun terbaru musim panas.“Aku akan menjaga Anea bersamamu, meski aku harus tinggal seumur hidup dengan perempuan itu.”Marina mengangguk. &
Jantung Lusie berpacu dengan cepat. Ia juga bisa mendengar debaran jantung Farel yang begitu dekat dengannya. Tangan Farel benar-benar memeluknya dengan erat. Lelaki oriental itu masih menatap Hero dengan mata hitamnya yang pekat.“Dengar anak muda, serahkan Lusie sekarang.”“Saya tau Anda memang tetangga Lusie. Namun sikap seorang tetangga tak ada yang sejauh ini. Lusie memiliki rumah dan ini adalah tempatnya untuk pulang.”Ingin sekali rasanya Lusie menjelaskan kepada Farel bahwa rumah ini tak lagi menjadi tempatnya kembali. Namun Farel sudah sangat begitu baik melindungi Lusie. Lelaki itu tidak tahu bahwa sebenarnya Hero memang menginginkan Lusie pulang kepadanya. Karena memang sudah sepantasnya seperti itu.“Saya akan mengatakannya sekarang. Jadi, siapkan dirimu dengan baik!”Hero terdengar mengancam. Apakah sekarang ia akan memberitahu kebenarannya pada Farel? Tidak! Lusie bergegas mendorong Farel. Namun, se
Farel mendorong Lusie masuk ke dalam unit kesehatan sekolah. Ia adalah ketua dari pengelola ruang itu. Dengan segera Farel menutup pintu dan menguncinya dari dalam. Farel menghampiri Lusie yang duduk di atas banker.Gadis itu terlihat sangat tenang. Bahkan lebih tenang dari Lusie yang biasanya menampilkan ekspresi itu ketika melukis. Farel membuka tangan Lusie dan melihat beberapa helai rambut yang digenggamnya.‘Itu pasti milik gadis-gadis tadi.’ Farel membatin.“Kalau kau terus bersikap seperti ini, kau bisa-bisa dikeluarkan sebelum wisuda,” kata Farel, sambil membersihkan tangan Lusie dengan tisu basah.“Jadi, kau masih perhatian kepada gadis ini?”Farel menatap Lusie. Seakan-akan Lusie mengomentari dirinya sendiri.“Anggap saja seperti itu.”“Jangan terlalu menggantungkan harapan terlalu tinggi kepada manusia. Kau akan merasa hidup tapi mati ketika harapanmu tak sesuai dengan t
Matahari menembus celah-celah tirai. Lusie membuka mata perlahan ketika menyadari jika cahaya itu sudah menggantikan malam sepinya. Ia terbangun dan bersiap untuk ujian terakhir hari ini. Di lihat berapa kali pun, tetap saja kosong. Tak ada manusia tinggi yang biasanya muncul dari balik kamar mandi dan membuatnya malu.Sepertinya hari libur Hero sudah usai. Ia mungkin akan muncul setelah Lusie selesai ujian. Hari itu Anea akan datang dan membuat suasana kembali ramai. Ya, tentu saja. Bukankah Anea adalah alasan Hero mau menikahinya?Lusie memakai seragam dan menyiapkan segala halnya seorang diri. Ia tidak terlalu terburu-buru karena hari ini beruntung bangun lebih awal. Dia tidak akan berpikir terlalu panjang mengenai hilangnya Hero.Lusie mengambil tas dan bersiap turun ke bawah. Marta muncul di meja makan dan menunduk sekilas, memberi salam. Lusie mengangguk sambil mengambil tempat duduk. Hidangan pagi itu sup kacang dengan irisan telur.“Marta, a
Di depan gerbang sebuah mobil putih terparkir. Seorang lelaki dengan kulit cerahnya berdiri di samping mobil. Pemandangan itu cukup menarik perhatian penghuni kompleks yang hendak pergi beraktivitas.Dia Farel. Lelaki itu tidak datang sendiri. Bersama Falery ia terpaksa menunggu Lusie keluar. Falery satu-satunya orang yang tidak akan mundur meskipun Farel sering menggertaknya. Hanya saja saat ini situasi cukup sulit untuk mengiyakan ajakan gadis cerewet itu.“Lusie!!!” Falery melambai ketika melihat Lusie yang baru muncul.Lusie nampak terkejut ketika melihat Farel yang ikut bersamanya. Untungnya Falery memberi kabar saat akan tiba. Meskipun cukup melelahkan harus berbolak-balik tempat, tetapi Lusie menikmati proses itu. Farel juga tak banyak berbicara.“Lama sekali! Kau ngapain sih?”“Aku tadi sakit perut, maaf.”Falery membuang napas kesal, “Baiklah, ayo berangkat. Hei Farel, kau tidak menyapa Lusi