Aku selalu merasa bahwa hidupku tenteram. Namun sekarang tidak lagi. Ketika kata 'pecat dia' menghantuiku hingga aku tidak tidur sama sekali sepanjang malam.
Jadi, dengan kantung mata tebal ini, aku menatap cupcake yang masih panas, baru saja mengeluarkan kue ini dari oven. Setelah dipanggang, aku dinginkan sebentar sebelum mulai menghiasnya dengan butter cream hijau dengan taburan coklat di atasnya.'Cupcake ‘penghapusan dosa’ ini terlihat menggiurkan, bahkan untuk diriku sendiri. Ternyata memiliki hobi membuat kue ini ada untungnya juga. Mungkin dengan ini, aku bisa menyogok Pak Archer agak tidak memecatku.Sekali lagi aku memeriksa cupcake. Semuanya sudah rapi di dalam box. Semoga Pak Archer mau menerima ini."Kalau tidak diterima, mungkin aku akan memikirkan lebih serius jadi pembuat kue di sosmed," gumamku sambil pura-pura menangis.Dalam hati aku berdoa agar dia mau memaafkanku dan tidak jadi memecatku. Kinerjaku selama ini bagus dan harusnya ini bisa menjadi bahan pertimbangannya.Jadi aku melangkah pasti dan percaya diri ke Swift Enterprise. Gedung tinggi ini mengintimidasi seperti pemiliknya.Tapi aku tidak gentar. Ini demi hidup dan kehidupanku, demi mimpi untuk membangun sebuah toko kue. Karena aku yakin tidak ada lagi tempat yang membayar tukang bersih-bersih dengan gaji sebesar itu.Aku menghela napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Kegugupan menjalar di sepanjang punggungku, keringat dingin membasahi pelipis. Dalam hati aku menguatkan hati.'Sekarang atau tidak sama sekali.'Aku memasuki ruangan, ruangan besar dengan nuansa hitam ini sejujurnya membuatku merasa kecil. Dan membuatku semakin gelisah karena ternyata tidak ada orang sama sekali.Bahkan sekertaris Pak Archer pun tidak ada di tempat. Biasanya tempat itu tidak pernah kosong.Tapi ini sudah hampir satu jam aku menunggu di dalam ruangan ini, aku bahkan sudah mengantuk berat.Inilah akibatnya jika tidak tidur sama sekali. Aku jamin, aku terlihat seperti ayam yang terkena penyakit."Ngapain kamu di sini?!"Ugh. Aku benci melihat tatapan jijik yang begitu menyebalkan dari Pak Archer. Dia melihatku seakan aku adalah serangga yang harus di basmi.'Aku takut.'Aku menipis pikiran itu, dan menatapnya mantap."Pak Archer, saya minta maaf dan izinkan saya tetap bekerja di sini."Aku menunduk dan menyerahkan kotak kue ke hadapannya.Tapi, dengan satu hantaman, dia menghancurkan harapanku.Cupcake yang ku buat sepenuh hati tergeletak di lantai tidak berbentuk."Keluar sekarang!" bentaknya.Tanpa sadar aku mengeluarkan air mata.'Oh Tuhan, kenapa hidupku begitu sulit.'Aku kesal setengah mati karena tidak dihargai. Aku ingin memukulnya hingga ia meminta maaf.PLAK!Dan tanpa sadar satu tamparan melayang, tepat mengenai pipi kanan Pak Archer.Aku tidak sadar sama sekali dengan apa yang aku lakukan. Aku tidak menyangka bahwa yang aku pikirkan di realisasikan oleh tubuhku secara nyata. Bahkan tanganku yang menghantam pipinya terasa panas.Kali ini aku sungguhan akan hancur. Pak Archer marah, ia terlihat menakutkan.Tatapannya tajam, menghunus hingga rasanya aku kehabisan napas. Aku tidak pernah setakut ini dalam hidup. Rasanya aku sedang berhadapan dengan malaikat maut."Berani-beraninya kamu!" Suara rendah yang begitu dingin, tapi jemarinya yang sudah meremas rahangku begitu hangat.Ia siap membumi hanguskanku."S-saya, saya minta maaf." Hanya itu yang bisa aku keluarkan. Aku seperti tikus terjepit. Mencicit dan memohon pengampunan."Kau akan menanggung akibatnya karena sudah mengusikku." Itu ancaman paling pasti yang pernah aku dengar."T-tapi saya tidak bermaksud mengusik bapak."Entah kenapa pernyataan itu keluar begitu saja. Mulutku ini memang tidak bisa di ajak kerjasama. Tapi, hei, aku tidak akan mengusiknya jika ia tidak memecatku."Apa kamu bilang?" Suara Pak Archer masih terdengar begitu dingin.Seandainya tatapan bisa membunuh, aku yakin aku sudah tidak bernyawa dari tadi."Seandainya b-bapak mengijinkan saya b-bekerja di sini lagi, s-saya janji s-saya hanya akan bekerja dan tidak akan mengganggu bapak." Cengkeraman di rahangku semakin mengeras."Saya butuh pekerjaan, Pak." Aku menambahkan dan berusaha membujuk."Pak, rahang saya sakit." Aku berusaha melepas cengkeramannya, tapi tidak membuahkan hasil. Wajahnya semakin mendekat, tapi jemarinya masih terasa kuat di rahangku. Hembusan hangat menerpa wajahku."Berani-beraninya kamu menyalahkan saya." Dan akhirnya Pak Archer melepaskanku. Wajahku rasanya kebas. Aku menggerakkan mulutku, rasanya sakit.Argh, ini pasti akan memar.Pak Archer sudah duduk di singgasananya. Aku melangkah untuk bisa berhadapan dengannya.Masih ada harapan."Jadi, Pak. Saya bisa kerja di sini lagi, kan?" Aku tersenyum semanis mungkin.Tapi tidak ada tanggapan sama sekali. Yang dilakukannya adalah menekan tombol di telepon."Panggil Eve masuk." Pak Archer memberi perintah. Aku tidak yakin Eve itu siapa. Tapi apakah mungkin itu adalah sekertarisnya.Dan seorang wanita cantik masuk terburu-buru. Wajahnya pias, kaget karena ada kehadiran orang lain di ruangan ini selain pemiliknya."Jelaskan padaku bagaimana dia bisa masuk di dalam ruanganku dan bahkan bisa sampai tertidur?" Wajah Pak Archer mengeras. Tatapannya beralih pada Eve yang sudah pucat pasi.Oh ya Tuhan, apakah aku membawa masalah untuk orang lain?"Saya minta maaf, Pak. Saya tidak tahu." Pak Archer menghembuskan napasnya kasar."Hah. Saya menggaji Anda agar tidak ada seorang pun yang bisa masuk ke ruangan saya tanpa seizin saya. Bagaimana bisa kamu melalaikan tugasmu itu?"Argh, aku emosi. Amarahku sudah memuncak di ubun-ubun kepala dan siap meledak."Saya akan keluar. Saya janji tidak akan masuk sembarangan lagi, Pak. Ini bukan kesalahan sekertaris Bapak. Ini saya salah, sepenuhnya saya yang bersalah." Dan tatapan jijik itu kembali di perlihatkan."Siapa kamu berani menyela pembicaraan saya?" Aku menutup mata menahan singa di penuhi dengan amarah di dalam diri."Eve. Kamu saya pecat.""T-tapi Pak. S-saya....""Keluar sekarang atau saya panggil pihak keamanan." Eve berusaha tegar, tapi ia tidak bisa menyembunyikan airmatanya yang menetes seperti hujan.Dan aku merasa bersalah."Eh, Pak. Kok gitu, sih?""Kenapa? Kalau dia di pecat itu sepenuhnya salah kamu karena berani masuk ke ruangan saya."Oh, aku sungguh tidak bisa menahan lagi emosi ini. Jadi kali ini melangkah mendekatinya dengan cepat mengambil tangannya lalu menggigitnya dengan keras.Hah, biar tahu rasa dia.Aku mendengar teriakan putus asanya dan berusaha melepaskan tangannya, tapi aku pun melawannya dan berusaha menggigitnya dengan lebih keras.Bruk!Pak Archer berontak dan berusaha bangun dari tempat duduknya, namun karena gerakan itu begitu tiba-tiba aku tidak bisa menjaga keseimbangan tubuhku dan kami terjatuh dengan aku yang berada tepat di atas tubuh Pak Archer.Lebih tepatnya tepat di bagian tubuh bagian bawah.BAGIAN BAWAH!Bahwa yang ku masksudkan dengan bawah adalah 'bawah yang itu.'Tepat di tengah paha Pak Archer. Wajahku tepat di gundukan celana yang mulai mengeras perlahan.Hening sesaat sebelum aku mendengar umpatan frustasi dari Pak Archer."Oh, shit."Semesta tolong telan aku. Rasanya aku ingin mati saja. Aku merasa ternoda. Aku meringis. Merutuki nasib sendiri dalam hati. Bagaimana bisa aku sesial ini. Mau tau yang lebih parah? Ternyata kejadian ini di perhatikan oleh seorang kakek. Suara deheman membuatku terduduk. Aku masih harus mengumpulkan kesadaran. "Kakek, ini tidak seperti yang terlihat. Ini semua adalah ketidaksengajaan." Suara Pak Archer terdengar frustasi. Tapi kakek itu bahkan tidak melirik bahkan sedikitpun padanya. Aku masih setia di lantai yang beralaskan karpet. Hei, karpet ini lembut. Aku terduduk dengan kepala menunduk. Sebisa mungkin berusaha menyembunyikan wajahku. Aku bisa merasakan kecemasan dari Pak Archer yang mondar-mandir tidak jelas di ruangan ini. Ia ingin menjelaskan namun sang kakek memaksanya untuk diam. Sang kakek menunduk dan mengulurkan tangannya, ia hendak membantuku berdiri. Tatapannya tulus, jadi tanpa sadar aku menyambut jemarinya. Dan kakek itu cukup kuat untuk membantuku berdiri dan me
But you never know unless you walked on my shoes. Setiap keputusan tentunya memiliki resiko. Aku sudah berpikir terlalu panjang dan terlalu jauh hingga akhirnya lelah dan tersadar bahwa aku tertidur di sofa. Pantas saja badanku terasa sakit. Pagi ini, bahkan aku bangun terlalu awal. Matahari bahkan belum bersinar. Ruangan ini juga gelap. Sudah seminggu sejak aku bertemu dengan Kakek Damian. Aku sama sekali tidak mengontak mereka. Dan mereka juga tidak berusaha untuk menghampiriku. Aku melihat dapur yang berantakan. Kemarin aku memanggang kue, pesanan temanku untuk acara ulang tahun anaknya. Aku melihat jam di layar gawai. Pukul 05:00 AM. Aku meregangkan badan,mengambil udara sebanyak-banyaknya dan segera menuju dapur. Aku mencuci bersih semua tempat yang di gunakan untuk membuat kue semalam. Bekerja sambil mendengarkan musik adalah hal yang biasa aku lakukan. Suara air mendidih dari ketel listrik membuatku bergegas mengambil kopi instan dari dalam laci. Aroma kopi yang mengu
Aku menarik napas dalam. Sekarang aku mengerti kenapa tubuhku tidak bisa bohay seperti Delima yang bertugas sebagai Customer Service. Perusahaan tempatku bekerja ini memiliki lantai gedung yang terlalu banyak. 48 lantai. Maksudku, untuk apa lantai sebanyak ini? Yah, yang pastinya juga untuk menghasilkan banyak uang. "Alina, jangan lupa toilet di lantai bawah." Itu suara Adam. Bukan, bukan Adam Levine tapi Adam Sutisno. Supervisor yang baik hati walaupun terkadang tega karena membiarkan wanita cantik dan lemah lembut sepertiku ini bekerja sendirian. "Iya, Pak. Tahu. Bawel amat sih." Meskipun menggerutu mendengar titahnya, aku tetap membawa peralatan pembersih ke toilet. Pak Adam masih setia berdiri di pintu masuk. Sepertinya aku akan kembali mendengarkan ceramahnya. “Alina, sebagai seorang yang bertanggungjawab dalam menjaga perusahaan tetap bersih. Ini sudah tugasku untuk mengingatkan kamu.” “Iya, iya Pak Adam yang paling baik sedunia. Udah ah, Pak. Mau lanjutin kerja. Bapak