Semua mimpi yang menjadi kenyataan kandas tanpa sisa asa. Pun keinginan yang sudah di tangan, hilang tanpa tersisa. Aku berdiri menatap jejak pesta, dengan kaki yang sudah tidak berasa.Keadaan sekarang memang sudah hening, tapi teriakan Eyang, “Bubarkan!” masih begitu lekat. Menjadikan rasa bingung ini semakin pekat.Pesta dipaksakan usai tanpa penjelasan. Kemarahan Eyang bersautan dengan teriakan Ibu yang menuntut jawab.“Bapak! Ada apa? Kenapa Bapak bersikap seperti ini tiba-tiba? Apa salah kami!” Suara Ibu seakan tenggelam dalam perintah-perintah Eyang Jaya untuk melenyapkan semuanya. Para anak buah dan undangan yang tahu benar watak kakekku ini, melakukan tanpa ada pertanyaan.Tuntutan Ibu benar-benar diabaikan, bahkan saat dia tidak sadarkan diri dan digotong ke kamar dalam diam. Eyang Jaya tetap bergeming pada pendiriannya. Dengan baju lurik yang sudah disingsingkan, tangannya mengacung ke arah pintu keluar.Tidak ada yang dikatakan selain pengusiran Alexander dan rombongan se
Paklik Adi memang meninggal saat aku kecil. Yang aku ingat hanya saat lebaran kami pulang kampung, dialah yang selalu memanjakan aku dengan mengendari sepeda gayung yang ada di foto itu.“Naik sepeda seperti ini, kita akan lebih menikmati udara segar dan mengamati apa yang kita lalui. Tidak seperti naik sepeda motor yang akan melewati semua yang berharga.” Itu yang selalu dikatakan saat memboncengku.Aku diajak berkeliling kampung dan dikenalkan dengan alam yang selama ini dilarang oleh bapak. Mungkin karena aku anak tunggal, apa yang menurutnya membahayakan harus dihindarkan. Yang takut kepleset lah, tenggelam, bahkan kawatir ketabrak motor.“Bapakmu itu apa-apa tidak boleh. Wong main di sungai saja katanya dilarang. Bagaimana bisa mengenal alam kalau tidak pernah menyentuh. Jadi anak itu harus banyak tahu dan kuat. Ok?” ucapnya, menjadikan dia temanku untuk melakukan hal yang dirahasiakan.Main air di sungai dengan berburu ikan dan mencari bunga liar yang indah. Dari Paklik Adi aku
"Maafkan Ibu, Nduk. Maaf." Ucapan Ibu sebelum dia tergugu kembali. Guratan penyesalan terlihat lekat di wajah. Mata nya pun membengkak karena air mata yang mengalir tiada henti. Dari kamar mendiang Paklik Adi, tadi aku langsung ke kamar Ibu. Niatnya ingin membicarakan apa yang dikatakan Eyang Jaya dan buku harian yang aku sembunyikan di balik baju. Bau balsem, minyak kayu putih, dan semacamnya pun menyeruak. Saat aku masuk tadi, ada orangnya Eyang yang memijit ibu yang berbaring di ranjang. Setelah aku masuk, mereka pun tahu diri dan pamit keluar kamar.“Ibu salah,” ucap Ibu sambil berusaha untuk duduk. Aku membantunya bersandar di sandaran ranjang kayu berukir.Tangan ibu menangkap tanganku yang berniat melepas dari bahunya. Tatapan resah bercampur dengan mata yang tergenang basah. “Ibu menyesal. Kenapa harus memberitahukan foto itu kepada eyangmu. Harusnya tidak ibu lakukan.”Berganti aku menepuk punggung tangannya, menggenggam telapak tangan yang berkeringat dingin.“Tidak, Bu. I
Kalimat-kalimat menghibur diri dari mulut lelaki yang aku rindukan ini, bukannya membuatku tersenyum, tapi justru air mata mengalir tak tertahankan.Kenapa apa yang diucapkan seperti kata penghiburan untuk dia sendiri? Kata tenanglah, aku usahakan, dan sabar, bukankah seharusnya itu aku yang mengusahakan? Permasalahannya ada di pihakku, bukan pada Alex.“Memang kamu bisa?”Laki-laki ini justru melebarkan senyuman. “Rayaku, Sayang. Aku Alexander yang yakin dengan segalanya. Kamu tenang saja di rumah menemani Ibu. Jangan lupa makan dan jangan biarkan kamu sakit atau kepikiran hal ini. Tenang saja, biarkan aku yang berusaha.”“Kamu tahu apa yang terjadi?” tanyaku sambil menyusut air mata yang tersisa.Lagi-lagi dia menunjukkan senyuman, bahkan sorot matanya pun terlihat berbinar.“Tidak ada di dunia ini yang tidak bisi diupayakan selagi kita mau,” jawabnya sebelum menceritakan apa yang sudah dia lakukan.Dengan bantuan Tomo dan team yang dia percayai, dia menceritakan kalau penyelidikan
POV Alex Ini misteri.Memang apa hubunganku dengan masa lalu? Aku saja belum lahir, kenapa harus bertanggung jawab dengan kelakuan mereka? Sudah, lah. Mungkin ini jalan-Nya untuk membukakan mata ini tentang sejarah keluargaku.Selama ini aku abai dengan tentang keluargaku, terpaksa kembali ke rumah. Semua orang kepercayaan Kakek Sebastian aku kumpulkan untuk menelisik apa yang sebenarnya terjadi. Tidak hanya itu, team yang dikelola oleh Tomo juga bergerak dengan segala cara. Aku tidak mau niatku tertunda gara-gara hal yang tidak aku ketahui.Mayoritas orang-orang yang aku panggil hanya pernah tahu tentang Eyang Jaya. Itu pun tidak mengerti benar.“Saya pernah melihat, Bos Alex. Itu teman Bos Besar yang kumisnya tebal. Setelah beberapa waktu kemudian tidak pernah melihat lagi.”“Betul. Apalagi semenjak kepindahan pabrik dari kota sebelumnya,” tambah rekannya. Mereka tidak tahu benar, karena saat itu masih karyawan baru. Sedangkan orang kepercayaan kakek sudah banyak yang menutup usia
“Apa ini?” Dahiku berkerut saat membaca berderet perjanjian yang tidak masuk di akal. Satu persatu mulai menjadi titik terang. Kejadian saat itu ternyata begini di atas kertas. Korban di hari itu bukan hanya Adi, tetapi anak si Naga Satria mengalami cacat permanen yang menyebabkan dia hanya memiliki satu kaki. Tidak hanya itu, pertikaian menyebabkan syaraf kepalanya tidak bisa pulih seperti semula. Dari perjanjian ini, Kakek Sebastian mengambil alih tanggung jawab kejadian itu yang dibayar dengan semua aset di kota itu. Termasuk rumah dan pabrik gula. Poin lainnya, si Naga Satria itu berjanji tidak akan mengusik ibuku lagi. Tidak hanya itu, tertulis juga nama Eyang Jaya sekeluarga yang akan terlindungi dengan perjanjian ini. Ini seperti penebusan dosa Kakek Sebastian karena sudah menyebabkan Adi kehilangan nyawa. Bos Naga berencana membalas dendam kepada Eyang Jaya dengan berencana memotong kaki anak Eyang Jaya yang itu dimaksudkan ibunya Raya. Hutang kaki dibayar kaki. Ngeri, kan
“Kamu tidak merekayasa ini, kan?” tanyanya sambil menunjukkan yang di tangannya. Aku yang dibatasi dengan meja kecil, berusaha menunjukkan senyuman.Mata yang dinaungi alis yang sudah memutih itu menukik ke arahku. Memaksa mata ini membalas untuk menyakinkan. Dengan disertai gelengan kepala, aku pun menjawab, “Tidak. Berkas itu saya temukan di ruang kerja kakek.”Satu sudut bibir tertarik ke atas. Sesaat pandangannya teralih ke arah lain, kemudian kembali mengintimidasi meskipun tidak tertangkap api kemarahan seperti saat di halaman tadi.“Anak muda. Yang di depanmu ini memang orang tua yang tidak mengikuti teknologi. Apa yang tidak bisa dipalsukan di zaman sekarang ini?” ucapnya diakhiri tertawa kecil.Ucapan tidak dipercaya, bukti di atas kertas pun masih diragukan. Aku harus mencari cara. Bukan Alexander Dominic kalau tidak berjuang sampai akhir. “Bagaimana saya bisa melakukan hal memalukan itu? Sedangkan hidup dan kebahagiaan menjadi taruhanya? Tolong Eyang Jaya melihat semua i
“Kedip, Nduk. Malu,” bisik Ibu sambil menyenggol lenganku.Aku buru-buru menundukkan kepala dan mengikuti arahan mbak perias untuk duduk di kursi yang dibalut kain satin putih. Namun, sebesar usahaku untuk mengikuti ucapan Ibu, tapi mata sialan ini tetap kurang ajar melirik lelaki di sampingku.Bagaimana tidak, mendapati lelakiku mengenakan peci hitam dan berkalung rangkaian bunga melati. Rambut kecoklatan yang sedikit panjang menyebul kontras dengan warna peci. Siluet wajah yang sempurna, sungguh memaksa mata ini enggan berkedip.“Nduk.” Sekali lagi tepukan terasa di lenganku.‘Ck! Ibu ini, lo,’ gerutuku dalam hati, dan menghadapkan diri ke depan. Penghulu dan team mulai mengambil posisi. Begitu juga Eyang Jaya yang duduk di seberang meja, tepat di depanku.“Baik kita mulai, ya,” ucap Pak Penghulu sembari mengulurkan tangan dan disambut oleh Alexander. Ruangan hening seakan menunggu suara yang akan dikumandangkan.Seketika tubuh ini seperti tidak menapak di bumi. Ini seperti mimpi.