Sekarang, Mentari Chrysalis berpikir kalau dirinya sudah disumpahi oleh orang lain.
Kalau Mentari sampai tahu siapa orang sialan yang sudah menyumpahinya itu, Mentari akan meminta uang kompensasi sebagai bentuk pertanggungjawaban karena sudah membuat mentalnya terguncang. Pasalnya, belum cukup Mentari harus berurusan dengan Senja Abimana lima hari dalam seminggu di kantor, kini Mentari harus bertemu dengan bosnya yang super galak dan menyebalkan serta keluaran neraka tersebut di hari Sabtu yang damai seperti ini.
Senja Abimana nampak cool dengan kaus berwarna hitam lengan panjang dan celana panjang santai. Seperti celana olahraga, bukan celana jeans. Cowok itu mengenakan kacamata yang tidak pernah dilihat oleh Mentari sebelumnya. Setahunya, Senja Abimana tidak memakai kacamata saat bekerja, lantas kenapa sekarang bosnya itu memakai kacamata?
“Ini cuma kacamata santai. Bukan kacamata kerja atau kacamata baca. Mata saya masih normal, meskipun saya sudah tua.”
Yaiks, Mentari menelan ludah dan meringis. Dalam hati, dia mengutuk Senja habis-habisan. Apa Senja punya mata-mata gaib di kantor, sampai-sampai dirinya yang kemarin sudah pergi ke toilet dan menghilang dari pandangan semua orang masih mendengar ocehannya yang mengatainya sudah tua? “Bapak ngikutin saya, ya? Dan lagi, Bapak tau dari mana kalau saya lagi mikirin soal kacamata Bapak? Bapak bisa baca pikiran orang?”
Senja mendengus dan menunjuk keranjang belanjaannya yang sudah hampir terisi penuh. “Saya belanja di sini. Ngapain juga saya sebegitu kurang kerjaannya mengikuti kamu? Selain ngatain saya bisa menstruasi dan udah tua, kamu juga sekarang menuduh saya seorang stalker? Dan, saya hanya orang normal biasa yang nggak bisa membaca pikiran orang lain, Mentari. Kamu saja yang kurang pintar menyembunyikan apa yang kamu pikirkan tentang orang lain, sehingga bisa terbaca di raut wajah kamu.”
Memutuskan untuk tidak menggubris ucapan menyebalkan yang disuarakan dengan nada malas dari Senja Abimana, Mentari mengerutkan kening. Kalau Senja berbelanja kebutuhannya di supermarket ini, berarti...
“Pak Senja rumahnya di dekat sini?” tanya Mentari dengan nada ragu dan panik.
“Lumayan dekat.” Senja melirik keranjang belanja milik Mentari. “Yang kamu beli hanya camilan-camilan yang banyak mengandung bahan penyedap gurih. MSG. Pantas saja otak kamu sedikit sulit berkembang kalau sedang bekerja dengan saya di kantor.”
Mentari mengerjap dan menganga. “Bapak ngatain saya bodoh, gitu?”
Senja mengedikan bahu dan berjalan melewati Mentari. “Saya nggak pernah bilang kalau kamu bodoh.”
Sadar bahwa Senja sudah meninggalkannya, tentu saja Mentari langsung mengejar. Enak saja bosnya itu. Sudah semena-mena dengannya di kantor, dan sekarang, saat berada di luar jam kantor, Senja juga masih bersikap semena-mena dan bahkan mengatainya? Oho, tidak bisa. Mungkin di kantor Senja adalah bosnya, atasannya, orang yang sudah membayar gajinya. Tapi, di luar kantor, Senja Abimana hanyalah cowok asing yang tidak ada hubungannya dengan Mentari!
“Eits, Bapak mau ke mana?” tanya Mentari seraya berlari melewati Senja dan menghadang cowok itu. Mentari menaruh keranjang belanjaannya di lantai dan merentangkan kedua tangan. Di tempatnya, Senja menaikkan satu alis dan memberikan tatapan malas untuk sekretaris tengilnya itu. “Enak aja Bapak main kabur gitu aja setelah ngatain saya bodoh. Kalau saya bodoh, saya nggak akan bisa diterima kerja di perusahaan Bapak dan jadi sekretaris Bapak, tau!”
“Kamu nggak terima kalau saya ngatain kamu bodoh?” Senja balas bertanya.
“Jelas nggak lah, Pak!” gerutu Mentari. Dia melipat kedua tangannya di depan dada.
“Jadi, kamu mau protes?”
Mentari memutar bola matanya. “Menurut Bapak? Tarik lagi kata-kata Bapak yang bilang kalau saya itu orang yang bodoh.”
Senja menaruh keranjang belanjanya di lantai dan bersedekap. Lalu, cowok berusia tiga puluh lima tahun itu mengusap dagunya. Dia menyeringai misterius, membuat Mentari mendadak panas-dingin di tempatnya dan merasa takut. Sial! Kenapa bosnya ini selalu bisa membuatnya ketar-ketir seperti ini bahkan di luar jam kerja, sih? Nggak adil banget dunia ini!
“Tapi, waktu kemarin kamu ngatain saya impoten, saya nggak protes dan minta kamu untuk tarik lagi kata-kata kamu, loh.”
Mati!
Mentari mematung di tempatnya. Jantungnya kini sudah heboh bermain gendang di dalam rongga dadanya sambil menertawakan kebodohannya. Mentari tidak menyangka kalau Senja juga akan mendengar hal itu. Setelah dia pikir-pikir lagi, saat Mentari mengatainya sebagai orang yang sudah tua saja Senja masih mendengar, padahal dia menggerutu dengan suara tidak kencang, apalagi saat dia mengatai Senja impoten dengan seruan keras. Masih bagus Senja tidak langsung memecatnya detik itu juga.
Melihat Mentari yang sudah mati kutu, Senja merasa sangat puas. Cowok itu mengangguk dan berkata, “Can I go now?” kemudian pergi begitu saja. Bahkan, Mentari bisa mendengar kekehan dari Senja, ketika cowok sialan itu sudah menjauh dari tempatnya. Tinggallah Mentari yang menunduk dan mengerang tanpa suara sambil mengacak rambut panjangnya.
Setelah membayar semua belanjaannya di kasir, Mentari keluar dari supermarket sambil menghela napas. Kesialannya semakin bertambah tatkala hujan mulai turun dengan derasnya. Memang saat datang ke sini tadi, cuaca sudah sangat mendung dan Mentari berpikir dia tidak akan kehujanan jika dirinya berbelanja dengan super cepat. Namun, karena kesialan pertamanya tadi yang bertemu dengan bos keluaran neraka tersebut, kini Mentari harus rela menunggu hingga hujan berhenti.
“Mungkin gue harus mandi kembang sesampainya di rumah,” gumam Mentari. Dia kembali menghela napas dan menoleh ketika mendengar suara klakson. Sebuah mobil sedan hitam berhenti tepat di hadapan Mentari, membuatnya mengerutkan kening dan mengintip ke dalam mobil ketika jendela di bagian kursi penumpang depan terbuka. “Pak galak—maksud saya, Pak Senja?”
Senja mendengus ketika mendengar julukan Mentari barusan. “Naik. Biar saya antar kamu pulang.”
“Nggak usah, Pak, saya—“
“Hujannya besar, Mentari. Dan sepertinya bakalan awet,” potong Senja. “Biar saya antar kamu pulang. Dan lagi, rumah kamu pasti di sekitar sini juga, kan? Mengantarkan kamu pulang nggak akan mungkin sampai harus mutar-mutar satu Jakarta, kan?”
Mentari diam. Dia malas jika harus berduaan dengan Senja Abimana di dalam ruangan sempit, seperti mobil. Nanti kalau ternyata dia akan diapa-apain sama Senja, gimana? Kalau Senja ternyata dendam dan mutusin buat memperkosa dia sebelum membunuh dia, gimana? Terus, tahu-tahu mayatnya dibuang ke sungai dan baru bisa ditemuin beberapa tahun kemudian. Hanya dengan memikirkannya saja sudah sanggup membuat Mentari merinding dan tanpa sadar memeluk dirinya sendiri.
“Mentari,” panggil Senja dengan nada dingin, membuat Mentari tersadar dari lamunan ngaconya. “Buruan naik. Mobil di belakang udah klaksonin dari tadi.”
“Err... Pak, saya bisa pulang—“
“Naik, Mentari. That’s an order from your boss! Kalau kamu nggak mematuhi saya, saya akan apa-apain kamu sekarang juga.”
“Hah?!”
“Itu kan yang kamu pikirkan dan takutkan sejak tadi?” tantang Senja. “Sudah saya bilang, kamu itu orang yang gampang ditebak. Cepat, naik!”
Terpaksa, sambil menggerutu entah apa, Mentari membuka pintu penumpang mobil sedan Senja, kemudian masuk dan menutupnya dengan bantingan. Membuat Senja melotot ke arah Mentari dan ditanggapi dengan ringisan tak berdosa dari Mentari.
“Ups! Nggak sengaja, Pak. Hehe.”
“Ini rumah kamu?” Pertanyaan itu membuat Mentari menaikkan satu alisnya dan mengangguk. Dia melepaskan sabuk pengamannya dan menghembuskan napas lega secara samar. Akhirnya, perjalanan yang harus ditempuh selama kurang lebih sepuluh menit dan terasa seperti di kuburan itu berakhir juga. Bagaimana tidak seperti di kuburan, kalau suasananya sangat mencekam? Tidak ada satu pun di antara Senja dan Mentari yang saling berbicara dan aura Senja terasa menyesakkan dada bagi Mentari. Terlebih, hujan juga masih turun dengan derasnya. “Kenapa gitu, Pak?” Mentari balas bertanya. Hujan saat ini sudah berkurang intensitasnya, sehingga Mentari merasa tidak masalah jika harus menerobos dari tempatnya saat ini menuju ke dalam rumah. Sesampainya di rumah nanti, dia akan berendam air panas untuk merilekskan otot-otot tubuhnya dan menjernihkan pikirannya. “Ya, mungkin dibandingin sama rumah Bapak, rumah saya emang nggak ada apa-apanya.” “Saya nggak bilang kalau rumah k
Ketika pintu rumahnya dibuka dari dalam, Mentari sempat terlonjak, kemudian bersikap normal kembali. Cewek itu bahkan tidak menyadari bahwa mobil bosnya masih berada di tempatnya, di depan pagar rumahnya. Dia menurunkan jaket milik bosnya itu dari atas kepala, kemudian mengeringkan tubuh dan pakaiannya dengan menggunakan tangannya. “Kenapa nggak minta dijemput sih, Tar?” tanya Samudra Pratama dengan nada heran. Dia mengambil alih kantung belanjaan yang dipegang oleh sahabatnya sejak SD itu, kemudian menatap jaket yang sedang dipegang oleh Mentari. “Terus, itu jaket siapa? Itu jaket cowok, kan? Gue juga tadi ngeliat dari jendela lo turun dari mobil sedan.” “Gue kan nggak tau kalau lo lagi main ke rumah. Masa iya gue nelepon dan nyuruh lo untuk jemput gue di supermarket, di saat lo mungkin lagi santai-santai di rumah atau lagi nge-date sama cewek?” Mentari kemudian memperlihatkan jaket di tangannya. “Ini jaketnya bos gue di kantor. Tadi gue nggak seng
Suara kasak-kusuk di sekitarnya membuat Mentari mati kutu. Cewek itu memasukkan ponselnya ke saku celana olahraga dan buru-buru menyeka air mata yang berjatuhan di kedua pipi gembil si anak. Dia meringis dan menggeleng ke arah orang-orang di sekitarnya, yang seolah menuduhnya sudah membuat si anak menangis. Mentari memberitahu mereka secara tersirat kalau dirinya tidak tahu apa-apa mengenai anak yang menangis ini. “Hei, sst,” bujuk Mentari. Dia tersenyum dan menangkup wajah si anak. “Ada apa, hm? Kenapa kamu nangis? Kamu kepisah sama mama kamu? Ingat nggak terakhir kali kamu sama orang tua kamu ada di mana?” tanya Mentari bertubi-tubi. Setelahnya dia sadar, dia sudah menanyakan berbagai macam pertanyaan kepada anak berusia sekitar empat sampai lima tahun yang sedang menangis, yang pastinya tidak bisa anak itu mengerti. “Mama... hiks....” “Iya, Sayang. Aku tau. Tapi, mama kamu di—“ Belum selesai Mentari berbicara, suara benda
Reaksi dan raut wajah Mentari Chrysalis saat ini membuat Senja Abimana mengulum senyum. Memangnya ada yang salah dengan dirinya yang seorang duda dan sudah memiliki satu anak? Atau, Mentari menganggap dirinya belum menikah karena wajahnya ini? Lantas, semua orang yang memiliki wajah tampan seperti dirinya itu sudah pasti belum menikah, begitu? Lucu sekali pemikiran Mentari ini. “Duda?!” teriak Mentari kemudian dengan mata terbelalak. Senja berdecak dan mendekati Mentari. Dia menarik tangan Mentari, membawa tubuh Mentari mendekat ke arahnya hingga Senja bisa menghirup aroma parfum Mentari yang begitu manis dan memabukkan. Untuk sesaat, pikirannya mendadak konslet karena tahu-tahu saja, dia berpikir seperti apa rasanya jika dia mendaratkan hidungnya pada leher jenjang dan putih yang mengeluarkan aroma manis itu.&n
Teriakan Mentari itu membuat Senja mematung. Posisinya masih sangat dekat dengan Mentari. Mereka bisa dibilang berbagi hela napas bersama. Jarak bibir keduanya mungkin hanya satu hingga dua senti saja. Kekesalan Senja seketika terbit. Sebagai cowok dewasa yang sangat percaya diri pada penampilan dan wajahnya, Senja tidak terima karena kalimat Mentari barusan. Jika Senja mau, dia bisa menjentikkan jari dan semua cewek pasti akan berkumpul untuk mencium bibirnya. Tapi, Mentari? Cewek tengil itu seolah-olah memiliki alergi terhadapnya. Karena kekesalannya itulah, Senja langsung mencium pipi Mentari. Mengenai sudut bibirnya. Memang niat awalnya hanyalah mencium pipi Mentari, bukan bibir. Tapi, Mentari sudah salah mengambil kesimpulan dan seenaknya saja berteriak. Ciuma
“Nggak bisa, Sen! Lo harus tau kalau Pak Surya itu orang yang peka. Dia juga benci sama pembohong. Hanya dalam satu kali lirikan, dia bakalan langsung tau kalau lo sama sekretaris mungil lo ini bukanlah sepasang suami-istri.” Awan Bagaskara, sahabat dekat Senja sejak keduanya masih duduk di bangku SMA sekaligus pemilik perusahaan keluarga besarnya yang sudah lama menjalin kerjasama dengan perusahaan Senja, berkomentar. Dia sedang berkunjung ke kantor Senja untuk mengajaknya makan siang, kemudian tidak sengaja mendengar percakapan di antara Senja dan Mentari sang sekretaris. Dari situ, Awan tahu bahwa Surya Sanjaya, pria berusia enam puluh lima tahun, seorang pengusaha sukses yang selalu muncul di majalah bisnis, televisi dan sebagainya, mendapatkan banyak penghargaan dari pencapaian-pencapaiannya, ingin bertemu dengan Senja untuk membicarakan pekerjaan. Ada kemungkinan, Surya Sanjaya juga ingin melakukan kerjasama dengan Senja. Sialnya, pria itu tahu bahwa Senja sudah memi
Suasana canggung dan tegang itu tercipta, membuat Mentari panas-dingin di tempatnya. Dia menyesal karena sudah menyuarakan isi pikirannya, walaupun Mentari sendiri tidak sadar sudah melakukannya. Cewek itu berdiri dari duduknya, lantas menunduk. Tidak berani menatap Senja yang terlihat sangat marah kepadanya. Awan yang juga menyadari kemarahan Senja, langsung ikut berdiri dan buru-buru mengambil alih situasi. Dia mendekati sahabatnya, kemudian menepuk pundaknya beberapa kali. Senyumnya muncul ke permukaan. “Sen, udah. Dia pasti nggak sengaja ngomong kayak tadi dan gue yakin, dia nggak punya maksud buruk.” Senja menepis tangan Awan dari pundaknya dan tidak menggubris ucapan sahabatnya itu. Dia masih saja memberikan tatapan tajam dan dinginnya untuk Mentari yang semakin menciut di tempatnya. Mentari yang sadar bahwa dia belum meminta maaf, buru-buru melakukan hal tersebut. “Mm, maaf Pak Senja. Saya benar-benar nggak bermaksud ngomong kayak
Mentari terkesiap, ketika dia menyadari apa yang baru saja dia ucapkan di hadapan bos galaknya itu. Cewek itu meringis dan berdeham. Dia jadi salah tingkah. Mentari bingung harus bersikap bagaimana, hingga yang dilakukannya hanyalah mengajak Angelica mengobrol dan sesekali melirik ke arah Senja yang sejak tadi hanya diam saja. Menatapnya bak hewan buruan. Bak seorang kelinci. Di tempatnya, Senja mendesah berat dan berkacak pinggang. Cowok itu menunduk dan nampak berpikir. Mungkin benar kata Awan, dia sudah bersikap sangat keterlaluan kepada Mentari, hingga sekretarisnya itu sangat terkejut akan permintaan maafnya barusan. Senja juga menyadari kedua mata Mentari yang memerah, yang menandakan bahwasannya, mungkin saja, Mentari sempat menangis akibat ucapannya sebelum ini.&