Share

#02

Sekarang, Mentari Chrysalis berpikir kalau dirinya sudah disumpahi oleh orang lain.

            Kalau Mentari sampai tahu siapa orang sialan yang sudah menyumpahinya itu, Mentari akan meminta uang kompensasi sebagai bentuk pertanggungjawaban karena sudah membuat mentalnya terguncang. Pasalnya, belum cukup Mentari harus berurusan dengan Senja Abimana lima hari dalam seminggu di kantor, kini Mentari harus bertemu dengan bosnya yang super galak dan menyebalkan serta keluaran neraka tersebut di hari Sabtu yang damai seperti ini.

            Senja Abimana nampak cool dengan kaus berwarna hitam lengan panjang dan celana panjang santai. Seperti celana olahraga, bukan celana jeans. Cowok itu mengenakan kacamata yang tidak pernah dilihat oleh Mentari sebelumnya. Setahunya, Senja Abimana tidak memakai kacamata saat bekerja, lantas kenapa sekarang bosnya itu memakai kacamata?

            “Ini cuma kacamata santai. Bukan kacamata kerja atau kacamata baca. Mata saya masih normal, meskipun saya sudah tua.”

            Yaiks, Mentari menelan ludah dan meringis. Dalam hati, dia mengutuk Senja habis-habisan. Apa Senja punya mata-mata gaib di kantor, sampai-sampai dirinya yang kemarin sudah pergi ke toilet dan menghilang dari pandangan semua orang masih mendengar ocehannya yang mengatainya sudah tua? “Bapak ngikutin saya, ya? Dan lagi, Bapak tau dari mana kalau saya lagi mikirin soal kacamata Bapak? Bapak bisa baca pikiran orang?”

            Senja mendengus dan menunjuk keranjang belanjaannya yang sudah hampir terisi penuh. “Saya belanja di sini. Ngapain juga saya sebegitu kurang kerjaannya mengikuti kamu? Selain ngatain saya bisa menstruasi dan udah tua, kamu juga sekarang menuduh saya seorang stalker? Dan, saya hanya orang normal biasa yang nggak bisa membaca pikiran orang lain, Mentari. Kamu saja yang kurang pintar menyembunyikan apa yang kamu pikirkan tentang orang lain, sehingga bisa terbaca di raut wajah kamu.”

            Memutuskan untuk tidak menggubris ucapan menyebalkan yang disuarakan dengan nada malas dari Senja Abimana, Mentari mengerutkan kening. Kalau Senja berbelanja kebutuhannya di supermarket ini, berarti...

            “Pak Senja rumahnya di dekat sini?” tanya Mentari dengan nada ragu dan panik.

            “Lumayan dekat.” Senja melirik keranjang belanja milik Mentari. “Yang kamu beli hanya camilan-camilan yang banyak mengandung bahan penyedap gurih. MSG. Pantas saja otak kamu sedikit sulit berkembang kalau sedang bekerja dengan saya di kantor.”

            Mentari mengerjap dan menganga. “Bapak ngatain saya bodoh, gitu?”

            Senja mengedikan bahu dan berjalan melewati Mentari. “Saya nggak pernah bilang kalau kamu bodoh.”

            Sadar bahwa Senja sudah meninggalkannya, tentu saja Mentari langsung mengejar. Enak saja bosnya itu. Sudah semena-mena dengannya di kantor, dan sekarang, saat berada di luar jam kantor, Senja juga masih bersikap semena-mena dan bahkan mengatainya? Oho, tidak bisa. Mungkin di kantor Senja adalah bosnya, atasannya, orang yang sudah membayar gajinya. Tapi, di luar kantor, Senja Abimana hanyalah cowok asing yang tidak ada hubungannya dengan Mentari!

            “Eits, Bapak mau ke mana?” tanya Mentari seraya berlari melewati Senja dan menghadang cowok itu. Mentari menaruh keranjang belanjaannya di lantai dan merentangkan kedua tangan. Di tempatnya, Senja menaikkan satu alis dan memberikan tatapan malas untuk sekretaris tengilnya itu. “Enak aja Bapak main kabur gitu aja setelah ngatain saya bodoh. Kalau saya bodoh, saya nggak akan bisa diterima kerja di perusahaan Bapak dan jadi sekretaris Bapak, tau!”

            “Kamu nggak terima kalau saya ngatain kamu bodoh?” Senja balas bertanya.

            “Jelas nggak lah, Pak!” gerutu Mentari. Dia melipat kedua tangannya di depan dada.

            “Jadi, kamu mau protes?”

            Mentari memutar bola matanya. “Menurut Bapak? Tarik lagi kata-kata Bapak yang bilang kalau saya itu orang yang bodoh.”

            Senja menaruh keranjang belanjanya di lantai dan bersedekap. Lalu, cowok berusia tiga puluh lima tahun itu mengusap dagunya. Dia menyeringai misterius, membuat Mentari mendadak panas-dingin di tempatnya dan merasa takut. Sial! Kenapa bosnya ini selalu bisa membuatnya ketar-ketir seperti ini bahkan di luar jam kerja, sih? Nggak adil banget dunia ini!

            “Tapi, waktu kemarin kamu ngatain saya impoten, saya nggak protes dan minta kamu untuk tarik lagi kata-kata kamu, loh.”

            Mati!

            Mentari mematung di tempatnya. Jantungnya kini sudah heboh bermain gendang di dalam rongga dadanya sambil menertawakan kebodohannya. Mentari tidak menyangka kalau Senja juga akan mendengar hal itu. Setelah dia pikir-pikir lagi, saat Mentari mengatainya sebagai orang yang sudah tua saja Senja masih mendengar, padahal dia menggerutu dengan suara tidak kencang, apalagi saat dia mengatai Senja impoten dengan seruan keras. Masih bagus Senja tidak langsung memecatnya detik itu juga.

            Melihat Mentari yang sudah mati kutu, Senja merasa sangat puas. Cowok itu mengangguk dan berkata, “Can I go now?” kemudian pergi begitu saja. Bahkan, Mentari bisa mendengar kekehan dari Senja, ketika cowok sialan itu sudah menjauh dari tempatnya. Tinggallah Mentari yang menunduk dan mengerang tanpa suara sambil mengacak rambut panjangnya.

            Setelah membayar semua belanjaannya di kasir, Mentari keluar dari supermarket sambil menghela napas. Kesialannya semakin bertambah tatkala hujan mulai turun dengan derasnya. Memang saat datang ke sini tadi, cuaca sudah sangat mendung dan Mentari berpikir dia tidak akan kehujanan jika dirinya berbelanja dengan super cepat. Namun, karena kesialan pertamanya tadi yang bertemu dengan bos keluaran neraka tersebut, kini Mentari harus rela menunggu hingga hujan berhenti.

            “Mungkin gue harus mandi kembang sesampainya di rumah,” gumam Mentari. Dia kembali menghela napas dan menoleh ketika mendengar suara klakson. Sebuah mobil sedan hitam berhenti tepat di hadapan Mentari, membuatnya mengerutkan kening dan mengintip ke dalam mobil ketika jendela di bagian kursi penumpang depan terbuka. “Pak galak—maksud saya, Pak Senja?”

            Senja mendengus ketika mendengar julukan Mentari barusan. “Naik. Biar saya antar kamu pulang.”

            “Nggak usah, Pak, saya—“

            “Hujannya besar, Mentari. Dan sepertinya bakalan awet,” potong Senja. “Biar saya antar kamu pulang. Dan lagi, rumah kamu pasti di sekitar sini juga, kan? Mengantarkan kamu pulang nggak akan mungkin sampai harus mutar-mutar satu Jakarta, kan?”

            Mentari diam. Dia malas jika harus berduaan dengan Senja Abimana di dalam ruangan sempit, seperti mobil. Nanti kalau ternyata dia akan diapa-apain sama Senja, gimana? Kalau Senja ternyata dendam dan mutusin buat memperkosa dia sebelum membunuh dia, gimana? Terus, tahu-tahu mayatnya dibuang ke sungai dan baru bisa ditemuin beberapa tahun kemudian. Hanya dengan memikirkannya saja sudah sanggup membuat Mentari merinding dan tanpa sadar memeluk dirinya sendiri.

            “Mentari,” panggil Senja dengan nada dingin, membuat Mentari tersadar dari lamunan ngaconya. “Buruan naik. Mobil di belakang udah klaksonin dari tadi.”

            “Err... Pak, saya bisa pulang—“

            “Naik, Mentari. That’s an order from your boss! Kalau kamu nggak mematuhi saya, saya akan apa-apain kamu sekarang juga.”

            “Hah?!”

            “Itu kan yang kamu pikirkan dan takutkan sejak tadi?” tantang Senja. “Sudah saya bilang, kamu itu orang yang gampang ditebak. Cepat, naik!”

            Terpaksa, sambil menggerutu entah apa, Mentari membuka pintu penumpang mobil sedan Senja, kemudian masuk dan menutupnya dengan bantingan. Membuat Senja melotot ke arah Mentari dan ditanggapi dengan ringisan tak berdosa dari Mentari.

            “Ups! Nggak sengaja, Pak. Hehe.”

Comments (1)
goodnovel comment avatar
M Fahrul
jangan benci nanti bisa jatuh cinta lo
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status