Dia coba membangun kembali gairah dalam diri Tias. Akan tetapi, bel lebih gencar mengalun, hingga dia mengalah dan keluar untuk membukakan pintu sambil ngedumel.
“Nggak punya otak! Ngak tahu apa, kalau aku sedang berusaha. Kurang ajar!” sambil jalan kedepan, lelaki itu terus saja ngedumel tak karuan. Mulutnya komat-kamit tak karuan. Lelaki itu membuka anak kunci, kemudian menarik pintu depan. Dia mengerutkan keningnya, melihat sesosok yang datang.
“Kamu? Mau ngapain kemari?” tanya Galih. Galih mendorong tubuh seorang wanita yang bertamu itu ke pojokan.
“Ngapain? Kamu itu yang apa-apan. Kamu menghilang setelah menikmati semuanya.” Wanita itu mengarahkan tangannya ke wajah Galih. Kilatan kemarahan membuncah di mata wanita itu. Wanita itu rasanya seperti ingin menerkam dirinya.
“Dengar ya, Milea! Aku sama kamu hanya kenikmatan sesaat. Tidak ada apa-apa. Lagian,
“Aku tidak bohong! Pulanglah! Dan jangan kemari lagi! Atau Tias tahu, berarti kita berakhir.” pinta Galih. Sambil memegang lengan samping Milea. Wanita itu tidak terima dengan perlakuan Galih. Dia menyunggingkan senyuman, karena melihat istrinya Galih.Terlambat Galih, Tias sudah mengetahuinya. Saat mereka bicara, Tias berada di balik dinding dan mendengarkan semuanya. Sekuat tenaga, Tias menahan untuk tidak menangis. Tias melihat wanita itu akan pergi. Ini kesempatannya untuk membuka semua, dan menanyakan apa yang terjadi.“Eh, ada tamu rupanya. Kenapa nggak masuk, Mbak. Masuk, yuk!” ajak Tias. Mereka berdua gagap. Akan tetapi, Galih dengan otak buayanya berkilah. Dia harus menghentikan Tias dan Milea, kalau tidak mau semua jadi berantakan.“Kami sudah selesai bicara dan Milea akan pulang. Dia buru-buru katanya, Sayang. Iya ‘kan Milea?” kode Galih. Tias tersenyum kecut. Dia sang
Tias dengan pelan-pelan membuka surat itu. Dengan seksama dia baca larikan demi larikan kalimat yang ada pada surat itu. Dadanya bergetar, setelah membaca kesimpulan terakhir. Akan tetapi, mungkin dia salah baca. Diulang lagi membaca dari atas. Ternyata dia tidak salah. Kaki Tias kelu. Walau belum mengatkannya, Tias tahu yang akan dikatakan wanita itu apa keperluannya berada di sini sekarang. Darahnya bagai berhenti mengalir. Rasanya membeku dan tak bisa melakukan apapun.Tartulis jelas di sana bahwa seorang bernama Milea Carmelia Ningrum usia dua puluh dua tahun dinyatakan positif hamil lima minggu. Tias terduduk lemas di kursi. Dia tunjukan pada Galih apa yang dibacanya. Dunia terasa sangat gelap dan hitam.“Milea, jangan mengada-ada! Ini jelas bukan anakku ‘kan?” tegas Galih.“Dasar pengecut! Setelah mendapatkan seluruh kenikmatan, sekarang kamu mau mengelak? Aku tuntut kamu sampai ke lubang ne
“Hargai keputusanku, Mas. Kau mencapai tujuanmu bersama orang lain. Tolong lepaskan aku!” Pinta Tias.“Tidak! Aku tidak akan melepaskanmu dan membiarkan pernikahan kita poranda. Kita mulai dari awal.” Galih masih saja bertahan dengan pelukkannya.“Jangan memaksaku berbuat kasar denganmu. Tolong!” Akan tetapi, Galih tidak peduli dengan ucapan Tias. Dia menarik tubuh Tias, dan membawa ke ranjang untuk berhubungan suami istri. Tias memberontak. Tubuhnya yang lemas digunakan untuk melawan keganasan Galih yang ingin mengajaknya berhubungan badan. Galih mulai menggila dengan membuka baju Tias.“Lepaskan aku! Kau memang bajingan, Mas!” Teriak Tias. Galih tidak peduli. Dia terus saja membuka pakian Tias.Tak berhasil membuka, dia merobek pakaian Tias dengan sangat kasar. Rupanya, emosinya sudah mulai memuncak.“Dia
Tias berhenti, kemudian menoleh ke arah lelaki itu. Dia menajamkan matanya, kemudian berlalu pergi. Suaminya masih memunggunginya saat Tias menoleh. Sementara Tias melenggang, masih terdengar ditelinga Tias Galih frustasi. Dia memukul kaca depan yang menjadi hiasan jendelanya. Tias berusaha tidak peduli dengan keadaan Galih. Mungkin lelaki itu sedang terluka sekarang. Akan tetapi, dia terlanjur sakit. Kali ini, tidak akan dia menengok ke belakang. Secara tid langsung, Galih sudah mengusirnya dengan kata-kata sarkasnya.Dia berjalan tak tentu arah. Dia memeluk tubuhnya sendiri yang terasa meriang. Rasanya hari ini begitu membuatnya emosi. Gerimis yang tadinya hanya menelisik kecil, kini berubah menjadi semakin besar. Dia membiarkan tubuhnya tertimpa hujan deras. Senja mulai menyeruak, namun gelayut awan hitam membayangi, sehingga warnanya tiada menjingga. Tias duduk di halte bus untuk menunggu bus datang. Dia tidak perdulikan tubuhnya yang kuyup
Tias kembali menyeruput coklatnya ketika selesai bercerita. Ilham tertegun. Teriris hatinya. Wanita yang dia cintai menderita batin dan raga saat ini.“Yas, kau yakin masih ingin mempertahankan rumah tanggamu, setelah kejadian hari ini?” tanya Ilham.“Aku tidak tahu, Mas. Aku selalu lemah jika di depannya. Entahlah, aku juga tidak tahu.” sesal Tias sambil menunduk.Ilham memgeng dagu wanita itu, agar wajahnya lurus dengan wajah Ilham. Mata mereka saling bertemu. Ada getar-getar halus yang bernada rindu di dalam jiwa mereka. Keduanya larut dalam buaian rasa yang membuncah.“Yas, aku masih Ilham yang dulu. Aku masih sangat mencintaimu, dengan atau tanpa tubuhmu. Jangan pernah hancurkan hidupmu untuk bersamanya. Aku akan membahagiakanmu.” Ilham membujuk sang kekasih. Arah pembicaraannya tentu saja berharap Tias akan melepaskan Galih, kemudian dia memiliki diri Tias se
Mereka masih mempertahankan posisi ini sangat lama. Mereka tidak saling bicara, namun hati mereka saling terpaut. Ilham merasa bahagia menyertai tubuhnya yang tegap. Demikian juga Tias. Dia tidak ragu lagi akan melangkah maju. Aroma maskulin ini juga yang dia rindukan dari pria itu sejak enam belas tahun yang lalu. Kini cinta mereka bersemi kembali, setelah terkubur selama enam belas tahun yang lalu. Tias berbalik badan. Setelah puas dengan posisi itu. Ilham menyadari pergerakan sang wanita.Wajah Tias merona di bawah lampu kamar yang temaram. Bibir sexi wanita itu membuat Ilham menelan salivanya. Wajah mereka saling bertemu dengan intensitas yang demikian dekat. Bahkan nafas mereka saling memburu. Dengan seluruh hasrat kelelakiannya, Ilham memajukan bibirnya untuk melumat habis bibir wanita itu. Semakin lama semak
Dia mengguyur kepalanya dengan air dingin untuk mendinginkan tubuhnya yang super panas. Tas bermandikan busa dengan aroma therapy kemudian keluar dengan handuk milik Ilham. Jujur, dia lelaki normal. Seandainya sudah sah, mungkin saat ini langsung dipeluk dan dihabisi di atas ranjangnya.Ilham mencekal lengan Tias kemudian memajukan wajahnya Tias bagai pasrah, dia memejamkan matanya membiarkan bibir itu tersentuk sempurna. Ilham mengulumbibir atasnya,sedangkan Tias meraih bibir bawah Ilham. Keduanya saling beradu nafas. Menarik dan mengulum sampai nafas hampir habis. Mereka melepaskan tautannya ketika oksigen dalam dadanya terasa hampir pupus.Tias akan meninggalkan Ilham, ketika mulut mereka terlepas. Akan tetapi, Ilham mencekal tangan Tias. Wanita itu menyembunyikan wajahnya malu-malu.“Lepaskan, Mas. Jangan sampai terlalu jauh kita melakukan dosa. Aku masih wanita bersuami. Tunggulah!” pinta Tias.
“Halo, gue butuh bantuan lo.” Ilham menghubungi pengacaranya. “Ada apa,Ham?” tanya sang pengacara. “Lo bisa bantu mengurus perceraian?” tanya Ilham. “Apa sih yang enggak buat lo? Siapa yang mau bercerai? Perasaan belum kawin, Ham?” tukas sang pengacara. “Bawel amat sih, Ka. Cewek gue yang mau cerai!” uangkap Ilham. “Parah, Lo! Mau jadi pebinor? Cari yang perawan napa?” tanya sang pengacara, ternyata namanya Raka. “Mau apa nggak? Kalau nggak mau gue punya orang lain untuk mengurus kasus itu,” gertak Ilham. “Gitu aja ngambek. Iya, besok gue ke kantor lo.” Ilham mengakhiri sambungan teleponnya. Ilham duduk di ruangan tengah sambil menggenggam gawainya. Dia sudah menghubungi juga beberapa orang untuk menghancurkan Galih, karena sudah berani-beraninya menyakiti kekasihnya. Jangan ditanya. Sampe lubang semut kuga akan dibenamkan o