setelah menyelesaikan konferensi pers. Aku langsung mengantarkan David ke rumahnya. Ia tak bisa meninggalkan Tamara terlalu lama di rumah.
"Mampir dulu, Bro." David tersenyum padaku sebelum turun dari mobil.
Sepertinya telah lama aku tak mengunjungi Om Pramudya, apa lagi berbicara dengan Tamara. Melirik jam emas di pergelangan tangan, "Ok, masih ada cukup waktu."
Aku mengikuti sekretaris pribadiku itu turun, "Om Pram ada di rumah?"
David ganti melirik jam di pergelangan tangannya, "Sepertinya belum. Banyak yang harus diselesaikannya di kantor. Loe, sih, jadi atasan kerjaannya absen terus."
"I'm the boss! Nah, 'kan gue yang punya perusahaan bebas dong," jawa
"Bro, bukankah Aseptian Waluyo juga akan hadir di persidangan nanti?"Berpikir sejenak, "Iya, dia juga jadi salah satu tersangka yang mungkin membantu Jhonny," kataku kemudian."Sample rambut si Jhonny masih ada sama loe, bukan?" David tersenyum. Wajahnya terlihat ceria dan bersemangat saat berkata tentang sample rambut Jhonny."Ada, masih," jawabku kemudian.Senyuman di wajah David semakin melebar. Aku mengernyit menatapnya, "Maksud loe?""Kalian ngomongin apa'an sih, kasih tahu dong?" Tamara menyela perbincangan seriusku dan David."Kamu 'kan lagi hamil. Jaga buah hati kita aja, Sayang." David me
Aku menepikan mobil. Menggebrak pada kemudi. Menjatuhkan kepala pada klakson hingga timbul bunyi panjang."Arrrghhh … kurang a*ar! Dasar bede*ah.""Ba*ingan itu sudah sejauh ini masuk dan merusak keluargaku. Apa sebenarnya mau Jhonny dan Paula Stephanie? Apa mereka baru akan puas jika keluarga Ibrahim kehilangan nyawa semua?"Memijit pelipis yang terasa berdenyut nyeri.Kenapa semua terjadi pada keluargaku?The One Property adalah hasil kerja Papa dan Om Pramudya sejak dulu. Dengan dana dari Mama semua berkembang menjadi semakin besar hingga sekarang. Apa hak Jhonny dan Paula Stephanie ingin merampas semua itu?
"Bangun!""Heh, bangun!"Seseorang menepuk keras pipiku. Aku berusaha membuka mata yang terasa sangat berat. Kepalaku terasa pusing."Obat biusnya masih belum hilang bos!""Siram dia dengan air es!"Byuuur!"Arrghh …," pekikku. Berusaha menggerakkan tangan. Namun, kedua tangan terikat ke belakang dengan kursi kayu.Segera membuka mata. Rasa dingin menggigit hingga tulang. Nyeri di sekujur tubuh bagai diolesi garam. Perih."Di mana aku?" Aku mengedarkan tatapan ke sekeliling
"Berhenti di sana. Apa yang akan kalian lakukan, hah?!" Aku berusaha melepas ikatan tangan."Apa yang akan kami lakukan? Tentu saja membunuhmu perlahan-lahan."Ketiga lelaki dengan wajah menyeramkan itu tertawa dengan tatapan mengejek padaku.Tidak bisa. Aku bukan orang lemah yang bisa mereka perlakukan seenaknya. Mereka penjahat bodoh, tak boleh memukuliku lagi. Wajah tampan ini akan tercipta sia-sia.Saat jarak mereka semakin dekat. Aku berdiri bersama kursi yang terikat di tangan, menabrak ketiganya sekuat mungkin.Penjahat bodoh itu hanya mengikat tangan. Mereka lupa aku punya kaki yang bisa tetap berdiri walau tubuhku terikat dengan kursi ini. BO*OH!
"Siapa itu? Berhenti di sana!"Sesosok bayangan keluar dari lorong di samping tempat ketiga para lelaki tadi menyekapku. Sial!"Heh, CEO bau kencur. Jangan coba melarikan diri," ancam suara itu lagi.Langkah kaki panjangnya mendekat dengan cepat, "Jangan coba bersembunyi dariku. Kau akan mati di tanganku."Aku segera menyelinap di balik rerumputan. Keadaan dan luka-luka di tubuhku tak memungkinkan untuk melarikan diri sekarang. Kemungkinan lolos sangat tipis."Alex, keluarlah!" Suara berat itu kembali mengancam.Mengedarkan pandangan ke sekitar tempatku bersembunyi. Tak seng
"Alex .… " "Alex, bangun." Aku mengerjapkan mata. Menatap mama yang berwajah pucat dan netra berkaca-kaca. "Pa, Alex bangun, Pa." "Dokter, suster … cepat panggilkan dokter. Anak saya siuman." Aku masih dapat mendengar teriakan suara papa dengan kencang, suaranya bergetar. Seorang lelaki mendekat ke arahku. Mengarahkan stetoskop di dada. Terdiam beberapa saat, sepertinya ia sedang berkonsentrasi kemudian mengarahkan senter kecil ke kedua mata. "Bagaimana, Dok?" "Detak jantungnya berangsur normal. Tidak selamb
"Kamu masih harus dirawat dua sampai empat hari lagi di rumah sakit ini, Alex." Mama membuka suara."Keluarga Ibrahim sedang tidak beruntung kali ini. Tanah di kuburan nenek masih merah. Ditambah kamu masuk ke rumah sakit sekarang, nyaris kehilangan nyawa juga. Siapa sebenarnya yang mengincar keluarga kita?" geram papa."Aseptian Waluyo Pa," jawabku cepat.Papa dan mama saling pandang.Mama mengernyit, "Maksudmu suami Bik Asih itu? Tidak mungkin, Alex.""Apa motif dia melakukan ini semua pada keluarga kita? Padahal, Bik Asih kita pekerjakan dengan baik. Pengobatan Lilis Suryani juga kita cover semua."
"Aku membawa bukti-bukti baru tentang kehidupan Aseptian Waluyo dan Agustian Waluyo. Mereka kembar identik yang lahir hanya berbeda beberapa detik di akhir bulan Agustus."David mengambil sesuatu dari amplop cokelat. Menarik dua lembar kertas putih, lalu memberikannya padaku. Masing-masing kertas berisi data pribadi Aseptian Waluyo dan adiknya.Oh, God!"Ini .…" Mataku membelalak lebar. Tak percaya pada bukti temuan dari David."Ya, ini bukti nyata, Bro.""Permisi, tolong minggir dari sisi ranjang dulu." Seorang perawat datang. Berdiri di samping ranjang dan mengganti cairan infus yang tinggal sedikit.&nbs