Semburat senja di kejauhan mulai terlihat mewarnai langit Jakarta dengan sinarnya yang berwarna jingga. Itu artinya waktu kebersamaanku dengan Reyhan sebentar lagi akan berakhir, karena Anggia sudah mengatakan bahwa dirinya pulang dari rumah kawannya sekitar pukul lima sore dan ini sudah pukul empat sore.
Aku harus kembali pulang bersama Anggia supaya Bunda tidak curiga.
Hari ini aku puas berkeliling daerah Blok M bersama Reyhan.
Kami masuk ke Blok M Plaza dan melihat-lihat isinya.
Bermain bersama di salah satu wahana permainan di dalam mall itu. meski hanya membeli beberapa koin karena aku tahu, Reyhan tidak memiliki cukup uang untuk membelikanku koin lebih banyak.
"Maaf ya, kalau di mall tadi nggak beli apa-apa, cuma li
Semoga suka...
Sepertinya akhir-akhir ini waktu berputar lebih cepat. Mungkin lebih tepatnya setelah aku mengenal Kak Reyhan dari sebuah game online yang sering aku mainkan. Padahal sebelumnya waktu empat sampai lima jam yang aku lalui sedari pulang sekolah sampai Bunda pulang bekerja sore harinya benar-benar terasa sangat panjang dan membosankan. Tak ada aktifitas berarti yang bisa aku lakukan kecuali berdiam diri di kamar sambil menonton film romantis ala-ala korea favoritku, menyelesaikan tugas sekolah, bermalas-malasan di atas ranjang empuk sambil memainkan game online atau merecoki asisten rumah tanggaku di dapur. Tapi terkadang jika rasa bosan sudah hampir membunuhku, aku memilih untuk keluar dari istana penjara milik Bunda yang terlihat begitu megah dan kokoh. Meski hanya sekedar mampir ke tempat Anggia. Ya begitulah kese
"Oh... Emangnya Kakak punya mantan berapa? Pasti banyak?" suara Anggia kembali terdengar menusuk di telingaku. Anggia yang sejak tadi terus-menerus mengintrogasi Kak Reyhan dengan pertanyaan-pertanyaan yang sama sekali tidak penting. Dan hal itu membuat aku benar-benar kesal karena kehilangan kesempatan untuk mengobrol dengan Kak Reyhan. Huft! Harusnyakan aku yang sekarang mengobrol dengan Kak Reyhan, bukannya malah jadi kambing congek yang terpaksa mendengarkan pembicaraan mereka! Gerutuku kesal dalam hati. "Nggak, kok. Mantan aku sedikit. Kayaknya sih nggak sampe sepuluh orang." jawab Kak Reyhan, yang aku tahu dia lagi ngibulin Anggia. Soalnya Kak Reyhan pernah bilang padaku kalau dia itu belum pernah pacaran. Eits, tapi tunggu dulu, jadi sebenernya yang lagi dikibu
Ini pertama kalinya aku naik motor dengan seorang cowok. Motor hasil pinjaman dari salah satu teman di tempat Kak Reyhan bekerja part time sebagai pelayan restoran. Hari itu, Kak Reyhan menjemputku di sekolah, setelah berhasil membohongi Bunda, aku dan Kak Reyhan menghabiskan waktu bersama dengan berkeliling kota Jakarta. Malamnya Kak Reyhan mengantarku pulang. Untungnya aku baru saja menerima pesan dari Anggia yang mengatakan bahwa Bundaku sedang pergi berbelanja kebutuhan bulanan bersama Tante Hanum, Mamahnya Anggia. Jadi aku tak perlu takut ketahuan jika Kak Reyhan mengantarku pulang sampai depan rumah. "Makasih ya udah anter pulang," ucapku begitu turun dari motor. Kak Reyhan berdiri menghampiriku. Dia merogoh saku celananya lalu mengeluarkan sesuatu. Ternyata sesuatu itu adalah sebuah gelang perak dengan gantungan bulan sabit di ujungnya.
Ternyata kesialanku belum berhenti sampai di situ. Gara-gara aku ngambek dan nekat berangkat sendiri ke sekolah naik angkutan umum, jadilah aku terlambat. Aku datang ketika upacara bendera sudah di mulai. Aku berteriak pada Pak Ilham, satpam sekolah supaya dia membukakan pintu untukku. Tapi bukan Pak Ilham yang menoleh justru malah Pak Guntur yang menghampiriku. Aduh bisa panjang nih urusannya! Pak Guntur itu guru Matematika. Dan dia satu-satunya guru di sekolah yang paling galak bin nyebelin. Nggak ada satupun siswa di sekolah yang berani berurusan dengan Pak Guntur kecuali dia sinting. "Kenapa terlambat?" Suara Pak Guntur terdengar persis seperti namanya. "Macet pak," jawabku lemah. Mataku sudah berlinang air mata. Hari
Sepanjang hari hatiku terus gelisah. Aku baru tahu bahwa ternyata Kak Reyhan itu bukan tipikal cowok pencemburu. Sepertinya dia lebih dewasa dalam menyikapi segala hal. Entah itu imbas dari kehidupannya yang sulit atau memang sudah sejak awal dia seperti itu. Tapi yang pasti aku tidak akan bisa tenang sebelum aku bisa bicara langsung hanya berdua saja dengannya. Sepertinya terlalu banyak hal yang ingin aku sampaikan padanya. Terutama tentang ketakutanku jika pada akhirnya aku dan dia memang harus berpisah. Anggia baru saja pulang. Cukup lama aku dan Anggia mengobrol di kamar tadi. Membicarakan masalah aku dan Kak Reyhan. Anggia bilang, "Alesan kenapa Kak Reyhan bilang lo itu temennya sama Kak Emir tadi, karena dia nggak mau masalah lo sama Bunda lo semakin rumit kalau ternyata Bunda lo tahu kalian pacaran. Kak Rey
Hari ini Kak Reyhan mengajakku ngamen keliling Ibu Kota. Meski harus melawan teriknya sinar matahari yang membakar kota Jakarta siang itu dan harus terpaksa kejar-kejaran dengan anak punk yang marah karena lapak ngamennya sudah diambil alih oleh Kak Reyhan. Bersama Kak Reyhan, aku seolah tak merasakan kesusahan apapun. Dan itulah ajaibnya cinta. Tadi sewaktu ngamen, aku dan Kak Reyhan sempat melewati sebuah Masjid dimana di dalam Masjid itu sedang berlangsung sebuah acara ijab kabul pernikahan umat muslim. Karena merasa penasaran, aku pun menarik lengan Kak Reyhan untuk ikut menyaksikan hal tersebut. "Kamu mau ngapain sih? Aku kan udah shalat tadi, ngapain kita ke masjid lagi?" protes Kak Reyhan saat genggaman tanganku di lengannya semakin menguat. Aku terus menarik Kak Reyhan menuju Masjid yang terdapat janur kuning melengkung itu. "Itu cuma orang nik
Tak sampai lima belas menit kami pun sampai di sebuah bangunan dua lantai yang terdiri dari kamar-kamar sederhana yang berjajar keliling membentuk kotak. Dan tanpa atap di bagian tengah. Kak Reyhan naik ke tangga yang letaknya berada di luar ruangan diikuti aku di belakang. Kost ini terlihat sangat sepi. Hampir semua pintunya tertutup kecuali satu kamar di seberang bagian ujung yang terbuka lebar dengan lampu di bagian dalam yang menyala. Aku melihat seorang wanita tengah asik tertidur di kasur lantai sambil menonton televisi. Seketika kerut di keningku pun menjelas. "Ini kost-kostan cowok atau cewek?" tanyaku bingung pada Kak Reyhan yang saat itu sedang membuka kunci pintu kamar kostnya yang terletak di lantai dua deretan ke tiga dari arah tangga.
Setelah hujan sedikit lebih reda, seperti janji Kak Reyhan sebelumnya, dia akan mengantarku pulang menggunakan motor milik Bang Nindra. Jadilah, malam itu aku dan Kak Reyhan kembali menikmati kedekatan yang terasa semakin intens di antara kami. Saking dingin aku benar-benar tak mampu menahan diri untuk tidak memeluk Kak Reyhan. Meski awalnya Kak Reyhan melarang tapi aku tidak perduli, aku tetap memeluk tubuh kurus itu dari belakang. Walau kurus, tapi bahu Kak Reyhan lebar dan punggungnya yang kini benar-benar menempel di dadaku terasa hangat. Aku benar-benar menikmati kebersamaan kami malam itu. Aku membenamkan wajahku di balik bahunya sambil memejamkan mata. Rasanya, sangat nyaman. Dan saking nyaman, aku sampai tidak sadar bahwa sepanjang perjalanan pulang itu aku ma