Arga memeluk Ratih lembut. Mengusap air mata wanita itu dan berkata untuk tidak melakukan hal itu lagi. Agar Pov"Jangan rendahkan diri kamu seperti mereka, Tih. Jangan pernah lagi ya? Aku pasti bantu kamu." Ratih menganggukkan kepalanya. Kutatap mata Ratih, sendu. Kuyakini tak mudah bagi wanita itu untuk sampai dititik ini. "Aku minta maaf." Hatiku melunak mendengar ucapan Ratih. Wanita ini sama sekali tidak bersalah. Dirinya hanya mengikuti apa yang hatinya katakan. Sehingga membuat tindakan ceroboh. Rasa sakit memang tidak bisa dihindari. "Kenakan pakaian tertutup dulu. Mas tunggu di luar."Aku berjalan keluar dari kamar Ratih. Menunggu di ruang tamu. Aku mengusap wajahku kasar. Ah, sial. Ratih PovSeketika aku sadar apa yang aku lakukan salah. "Aku minta maaf."Kulihat Arga terkejut. Karena apa? Karena permintaan maafku? Atau karena aku menyadari kesalahan ku. Atau mungkin, karena hal lain?Terkadang mungkin ia merasa aku sulit ditebak. Tapi nyatanya, akulah yang terkadang
Arga memeluk Ratih lembut. Mengusap air mata wanita itu dan berkata untuk tidak melakukan hal itu lagi. Agar Pov"Jangan rendahkan diri kamu seperti mereka, Tih. Jangan pernah lagi ya? Aku pasti bantu kamu." Ratih menganggukkan kepalanya. Kutatap mata Ratih, sendu. Kuyakini tak mudah bagi wanita itu untuk sampai dititik ini. "Aku minta maaf." Hatiku melunak mendengar ucapan Ratih. Wanita ini sama sekali tidak bersalah. Dirinya hanya mengikuti apa yang hatinya katakan. Sehingga membuat tindakan ceroboh. Rasa sakit memang tidak bisa dihindari. "Kenakan pakaian tertutup dulu. Mas tunggu di luar."Aku berjalan keluar dari kamar Ratih. Menunggu di ruang tamu. Aku mengusap wajahku kasar. Ah, sial. Ratih PovSeketika aku sadar apa yang aku lakukan salah. "Aku minta maaf."Kulihat Arga terkejut. Karena apa? Karena permintaan maafku? Atau karena aku menyadari kesalahan ku. Atau mungkin, karena hal lain?Terkadang mungkin ia merasa aku sulit ditebak. Tapi nyatanya, akulah yang terkadang
Sudah lima bulan berlalu sejak Ratih berhasil merebut Raka dari mantan suaminya. Kini mereka memulai kehidupan baru. Dengan di bantu oleh Marlina yang kini menjadi sahabatnya. Mantan wanita malam itu memberanikan diri merubah pekerjaannya hanya ingin kehidupan lebih baik dari sebelumnya. Toko buku sederhana yang mereka bangun kini bukan hanya sekedar menjadi tempat menjual buku, tapi juga ruang bagi komunitas untuk berkumpul berbagi cerita. Tak lupa pula, Arga selalu meluangkan waktu untuk mengunjungi toko buku itu, atau lebih tepatnya kepada Ratih. Di dalam toko buku itu, udara dipenuhi dengan aroma kertas dan tinta, sementara anak-anak membaca dengan suara lantang di pojokan. Marlina membantu Ratih merapikan beberapa buku yang baru saja tiba. "Kalau capek istirahat aja, Mar." Marlina memutar matanya. Tanda bahwa dia merasa kesal setiap kali Ratih menyepelekan tenaganya. "Orang cuma nyusun buku aja kok, Tih. Di bandingin kerjaanku dulu yang goyang dulu, baru dapet duit. Itu ju
Apa salah janda? Pertanyaan itu selalu terlintas dibenakku. Saat menyaksikan bagaimana mbak Nadia harus menghadapi cemoohan orang-orang mengenai statusnya. Aku memang tidak tahu bagaimana rasanya menjadi janda. Namun apapun itu, aku tidak suka melihatnya memakai pakaian yang terlalu terbuka. Ketat dan terlihat dengan jelas lekuk tubuhnya. Aku tidak suka melihatnya memperlakukan pria yang baru dikenal, seperti suaminya sendiri. Terlalu berlebihan menurutku. Entahlah... Aku tidak tahu apa yang dia pikirkan. Namun yang pasti... Sikapnya itu semakin menambah cemoohan orang-orang disekitar. "Lama banget," gerutu mbak Nadia saat melihat kedatanganku. Membuatku sadar bahwa aku sudah sampai di rumah sakit. "Macet. Lagian mbak kan gak ada kerjaan. Ngapain buru-buru," ucapku sambil meletakkan tas diatas nakas. Kami melakukan pergantian sip untuk menjaga bapak yang sudah seminggu masuk rumah sakit. Aku tidak pandai dalam menjelaskan secara detail, sakit apa yang sedang bapak derita. Namun yan
"Ratih. Bikinin Mas kopi," titahnya bahkan tanpa menoleh ke arahku. Dan lagi-lagi, aku menganggap dia tidak pernah menghargaiku. Memanggil namaku dan mendekati hanya saat butuh saja. Aku pergi kedapur untuk membuatkan segelas kopi untuknya. kadang-kadang... Aku merasa posisiku sama saja seperti pembantu. Bedanya para pembantu hanya fokus pada pekerjaan rumah. Kemudian diberi upah. Sementara aku mengerjakan semuanya tanpa dibayar. Mulai dari sumur, kasur dan dapur. Brakk"Aaa..... Bunda...!" Jantungku berdegup kencang. Raka menangis histeris. Aku langsung mendekatinya. Posisi Raka sudah tertelungkup di lantai. Anak itu pasti jatuh saat mencariku. "Raka!" Aku mencoba menikmatinya. Dan mencari mungkin ada luka atau lebam di tubuhnya. Dan aku menghela nafas lega saat menyadari tidak ada luka serius. Hanya sedikit di dengkulnya. "Astaga Raka kenapa?! Kamu ini gimana sih jadi orang tua. Anak selalu celaka terus gitu, kamu ngapain aja, hah!!" Seperti biasa, setiap kali terdengar Raka m
Nafasku masih naik turun. Hana langsung berlari ke kamarnya setelah Ayah mertuaku membentaknya agar berhenti memulai pertengkaran. Sedangkan ibu mertuaku... Entahlah. Aku tahu dia membenciku, jadi untuk apa lagi aku menjaga perasaannya. Mau sebaik apapun aku, jika seseorang itu membenci maka prasangkanya tetap saja buruk. Mereka semua pergi ke kamar, meninggalkan piring kotor yang tentu saja akulah bagian bersih-bersihnya. "Ayah tahu kamu sudah berusaha sabar, Nduk. Tapi bisakah ayah meminta agar sabarmu ditingkatkan lagi?" Aku menunduk lesu. Inilah yang membuatku lemah. Mungkin sebagian istri memilih untuk mempertahankan rumah tangganya karena anak. Mungkin ada juga yang memikirkan perasaan karena masih ada cinta atau apalah. Tapi aku? Aku rasa hanya aku yang memilih untuk mempertahankan rumah tangga karena ayah mertua yang sudah kuanggap seperti ayah kandungku sendiri. Dia baik, dia sabar dan dia tidak pernah marah. Sikapnya selalu bijak. Tidak pernah membela siapapun namun me
"Kamu dari mana aja, Mas?" Tanyaku dengan nada tak biasa. Menatapnya penuh curiga. Bercampur kesal karena tidak datang di pemakaman bapak. "Temanku sakit. Aku jadi pulang telat hari ini," jawabnya. Aku mendengus mendengarnya. "Teman? siapa teman kamu? Cewek apa cowok?" Mas Pras sepertinya tidak suka dengan rentetan pertanyaanku. "Cewek. Namanya Winda. Teman lamaku dulu, yang di jurusan akuntansi." Winda? Yah, memang benar. Aku sempat melihat bagaimana isi pesannya. Rupanya benar, mereka masih berhubungan baik sampai saat ini. Entah sejak kapan. "Jadi kamu besuk Winda sakit, sementara mertua kamu meninggal kamu gak dateng, Mas? Otak kamu dimana?" "Maaf... aku nggak tega liat Winda. Sebenarnya dia sudah lama mengidap penyakit mematikan. Dia sendirian, Tih. Kasian.... Mana anaknya masih kecil." Hah! Aku tercengang mendengarnya. Bagaimana bisa Mas Pras mengatakan hal seperti itu? Sejak kapan dia peduli? Bahkan anaknya sakit saja dia masih sibuk dengan ponselnya. "Jadi maksud kam
"ASTAGA... PRASS!! LIAT ANAK KAMU," pekik ibu mertuaku. Tentu saja aku kaget dan melepaskan cucian yang belum sempat aku jemur. Aku setengah berlari menuju ke sumber suara dan aku mendapati Raka sedang membanjiri lantai rumah dengan air yang cukup banyak. Aku ingin meraih putraku dulu. Mungkin dia kaget karena suara histeris neneknya. Tapi langkahku terhenti saat mendengarnya bicara. "Sejak awal ibu sudah bilang sama kamu, Pras. Cari istri itu yang bener. Kamu kerja diluar seharian. Yang rawat anak kamu di rumah itu istri kamu. Kalo istrimu gak bener didik anak, ya gini kejadiannya." Deg Lagi-lagi hantaman keras seakan menimpa pundakku. Aku terdiam di belakangnya dengan darah yang sudah mendidih. Aku lelah mengerjakan semua pekerjaan rumah. Bahkan belum selesai mencuci pakaian mereka, aku sudah mendapatkan lagi ucapan yang sangat menyakitkan. Memang seperti inilah setiap harinya, namun aku tetap saja manusia biasa. Kenapa aku harus dipaksa memaklumi setiap ucapannya? "Sini kamu Ra