Bab 18*Aku pulang bersama orangtuaku dan Farah. Setelah kejadian itu, di sungai sepi, karena semua orang langsung pulang karena takut. Para orangtua juga mencari anaknya dan menyuruh pulang, khawatir jika mereka ikut tenggelam seperti yang baru saja kualami.“Mandi, Nak!” ucap ibu begitu kami sampai di rumah. Raut wajah ibu saat itu sulit sekali kutebak, hingga kalimat tadi terdengar seperti perintah mutlak yang harus segera kulakukan.Ibu mengambilkan handuk untukku, karena kaki dan seluruh tubuhku kotor, aku tak mungkin masuk ke dalam kamar dalam keadaan seperti itu.Aku mengambil handuk dari tangan ibu, yang bahkan menoleh ke arah lain saat aku menatapnya. Sempat kulihat mata ibu berkaca-kaca, mungkin ia menangis lagi, karena merasa telah gagal menjagaku.Aku tak bertanya, hanya segera pergi ke kamar mandi di belakang rumah dan mengguyur air ke seluruh badan agar bersih. Aku melihat pada kotak yang terbuat dari kayu yang dipaku di batang pohon. Tempat itu biasanya ditaruh sabun,
Bab 19*Lonceng tanda pelajaran usai telah berbunyi. Anak-anak di kelas berhamburan keluar dan melangkah pulang. Aku sedikit tak bersemangat hari ini, karena Farah tidak datang ke sekolah. Tadi pagi saat aku ke rumahnya, ibunya bilang ia sedang sakit. Aku sempat masuk dan memeriksa keadaannya. Badannya terasa panas.“Kamu udah minum obat belum?” tanyaku pada Farah.Gadis itu mengangguk. Suaranya parau karena batuk dan juga pilek secara bersamaan.Aku menarik selimut usangnya hingga ke dada, terlihat bulunya merinding tanda ia kedinginan. Aku jadi khawatir melihat kondisi Farah. Keinginan untuk menjadi dokter kembali hadir di dalam hati. Jika aku bisa menjadi dokter, mungkin saat Farah sakit aku bisa merawatnya dengan baik. Rasanya senang sekali jika bisa merawat sahabat terbaik yang menemaniku selama ini.Aku menghela napas, mencoba untuk lebih semangat ke sekolah. Jujur saja, selain Farah, tak ada yang benar-benar dekat denganku.“Aku sekolah dulu ya.” Aku pamit pada Farah yang terl
Bab 20*Setelah mengangguk dalam kebingungan, Udin menunggu aku naik di belakangnya dan mengayuh dengan pelan. Mungkin ia lelah jika harus mendayung sekuat tenaga, karena matahari terlihat sangat gagah di atas sana, panas sekali.Kami mulai berjalan dalam diam. Wajahku mungkin kini terlihat cemas atau takut, sebab itu Udin hanya terus mendayung tanpa bertanya. Sebenarnya jarak rumah Kalila lumayan jauh jika ditempuh dengan sepeda, maklum saja kampung kami lumayan luas untuk seukuran biasanya.“Sekar!” Tiba-tiba Udin memanggil.“Apa?” tanyaku masih dengan suasana hati yang panik.“Kamu dengan Kalila ada apa sebenarnya? Aku lihat kalian tidak terlalu akur sebagai saudara.” Udin terlihat seperti sedang mengemukakan hasil pengamatannya selama ini.“Begitu kelihatan ya?” Aku bertanya balik. Aku hanya berpikir berarti selama ini orang-orang juga bisa melihat hubungan aku dan Kalila juga Karina sebagai saudara. Jelas beda sekali dengan orang lain, jelas terlalu jauh. Tidak akrab dan bahkan
Bab 21*Aku pulang bersama ibu dengan menaiki ojek. Kami sedikit berjalan kaki hingga sampai di pasar untuk menemukan ojek yang akan mengantar kami ke rumah. Sengatan matahari terlalu menambah rasa lelahku. Aku masih mengenakan seragam sekolah dan sandal jepit, sementara rambut terasa sudah bau matahari.Kira-kira lima menit perjalanan kami sampai di rumah. Dalam perjalanan aku dan ibu sama sekali tidak berbicara. Aku penuh dengan pikiranku sendiri, sementara ibu kurasa juga sama. Entah apa yang ia pikirkan lagi. Ibu hanya berbicara saat tukang ojek menanyakan akan diantar ke mana. Masuk ke mana lagi untuk sampai rumah, itu saja.“Lurus, ada kedai kopi, terus masuk lorong, Pak.” Ibu memberikan jawaban untuk tukang ojek yang umurnya terlihat lebih tua dari ayah.Sampai. Aku dan ibu sudah sampai di rumah. Dari bagian pinggang kain jarik yang ia kenakan, kulihat ia mengambil uang untuk membayar.“Makasih, Bu,” ucap bapak tukang ojek sebelum berbelok kembali ke pasar.Ibu hanya menganggu
Bab 22*Hari berlalu begitu cepat. Aku semakin tumbuh seiring usia yang bertambah. Sejak banyak kejadian yang membahayakan bagiku, aku tak lagi berteman dengan Kalila dan Karina. Aku ingat saat itu sudah masuk SMP, sekolah yang ada di sebelah Sekolah Dasar kami dulu. Kami masuk di sekolah yang sama, pun saat itu sekolah masih gratis atas dasar wajib belajar sembilan tahun.Aku benar-benar menghindari Kalila juga Karina. Begitu pun dengan mereka, syukurnya aku tak lagi sekelas dengan dua sepupuku itu. Di Sekolah Menengah sudah jauh lebih banyak kelasnya. Kelas tujuh saja ada sekitar empat kelas dengan maksimal dua puluh lima siswa.Kami benar-benar seperti orang asing yang tak pernah saling mengenal. Seperti orang lain, dan bukan saudara. Aku tidak marah, aku hanya menjaga diri seperti yang ibu katakan.Hingga kami beranjak SMA, aku sudah benar-benar jarang bertemu dengan dua sepupuku itu. Mereka sekolah di SMA yang berbeda denganku. Sekolah yang tentu lebih unggul dengan biaya yang l
Bab 23*“Bu, kenapa tanah Bu Halimah, kenapa bukan punya nenek?”Aku terus mengejar ibu dengan pertanyaan. Perasaanku begitu rumit dan kalut, susah kujelaskan saat itu. Seumur hidupku aku mengira tanah yang dibajak oleh ibu dan ayah adalah tanah nenek, karena ia punya banyak tanah dan kebun.“Memang dari awal punya Bu Halimah, Sekar.” Ibu menjawab lesu. Aku tahu perasaannya kini sedang tak baik-baik saja. Terlalu banyak yang ia pikirkan ke depannya.“Tapi, kenapa? Sekar pengen tahu alasannya, Bu.”Aku menangis saat itu, karena rasa kecewa yang mendalam yang dibuat oleh entah siapa. Nenek, atau malah diriku sendiri yang terlalu berharap tinggi.Tanah yang selama ini dibajak oleh ayah dan ibu adalah milik Bu Halimah, yang saat panen akan dibagikan separuh hasilnya. Aku bahkan tak pernah tahu ayah membagi hasilnya, karena aku hanya melihat hasilnya setelah dibawa pulang ke rumah.“Duduk!” ucap ibu yang kini telah duduk di dipan. Aku mengikuti perintahnya, duduk di sebelah ibu dan menat
Bab 24*Aku sudah tahu semua rahasia masa lalu ibu, awalnya aku masih saja menangis ketika mengingat semua itu. Atas dasar apa seseorang melarang untuk saling jatuh cinta dan menikah? Aku rasa itu hak mereka yang memiliki cinta.Tentang nasab ibu, ia juga tak pernah meminta untuk dilahirkan dari rahim siapa, dengan latar belakang apa. Ibu tak salah, sama sekali tak salah, tapi perbuatan ibunya yang salah. Namun, manusia kerap kali menyamaratakan kesalahan. Kesalahan yang akan diungkit sampai anak cucu.Lama-kelamaan aku tak menangis lagi tentang itu. Hanya rasa ikhlas dan penerimaan yang kuusahakan hadir dalam hati. Aku masih terus sekolah, letaknya juga tak jauh dari kampungku. Jika dulu hanya berjalan kaki sejauh beberapa meter dari rumah. Maka sekarang jaraknya sedikit lebih jauh lagi. Sekolah SMA berada di ujung desa tetangga. Satu-satunya sekolah SMA yang ada di kecamatan kami. Sedangkan Kalila dan Karina, mereka sekolah di kecamatan yang berbeda, yang lebih maju dari sekolah k
Bab 25*Siang itu aku pulang ke rumah. Kulihat dari pintu kamar yang terbuka, ibu sedang salat dhuhur begitu aku masuk dan membuka sepatu. Aku masuk ke dalam kamar dan mengganti baju sekolah dengan baju rumahan. Setelah keluar dari kamar, ibu juga keluar dari kamar sudah selesai salat.“Makan, Nak.” Ibu berjalan ke rak piring untuk makan siang.“Iya,” jawabku.“Ayah pulang siang tadi?” tanyaku.“Iya, tapi udah pergi lagi.” Ibu memberitahu.“Bu, Sekar ada sesuatu nih.” Aku berkata dengan riangnya.“Apa?” tanya ibu sambil mengerutkan keningnya.Aku kembali masuk ke kamar, dan mengambil sesuatu dari dalam tas sekolah. Lalu, keluar kembali menemui di mana ibu duduk dengan piring di tangannya. Ia tak jadi menyendok nasi karena ucapanku seakan menahan aktivitasnya.“Sekar tadi menang lomba nulis puisi,” ucapku dengan mata yang berbinar. Tanganku mengulurkan sertifikat ke arah ibu agar ia melihatnya.Ibu mengambil sertifikat dari tanganku, ia membaca berulang kali nama yang tertera di sana