George menghabiskan waktu bersama Sean selama berhari-hari sambil bercerita di depan rumah. Kedekatan mereka membuat George menjadi lebih terbuka dengan kedua orang tuanya, dan George tak tertarik lagi bermain dengan rubiknya.
Joly dan Erick begitu bahagia melihat perubahan anak laki-laki mereka. Sean membawa pengaruh yang bagus untuk George.
Sampai suatu hari, George mengatakan sesuatu yang membuat pandangan kedua orang tuanya berubah kepada Sean.
"Mom, biarkan Sean tinggal di sini!" ucap George, anak laki-laki berusia empat tahun kepada ibunya yang sedang melihat grafik saham di tablet mahalnya.
"Tidak bisa, George. Sean bukan siapa-siapa kita." Joly mengetik sesuatu di laptop kemudian kembali meraih tablet berlogo apel.
"Tapi aku menyukainya! Bukankah kalau saling suka, bisa tinggal bersama? Seperti Mom dan Dad!"
Saat itu pulalah, Joly
"George, ada apa di sekolahmu, Nak?" Joly bertanya keesokan harinya setelah mendapat kabar dari orang tua murid lain di sekolah anaknya. Kabarnya, ada kasus pembunuhan di sekolah anaknya. Hal itu membuat Joly khawatir. "Tak ada apa-apa, Mom. Hanya kasus orang mati di sekolah," jawab George dengan santai. "George! Jangan bersikap tidak peduli kepada kematian seseorang!" Joly memelototi anak laki-lakinya. Sedangkan George langsung berpura-pura tidak melihat kemarahan sang ibu. Bagi Joly, kenyamanan dan keamanan di sekolah itu adalah yang terpenting dan nomor satu di segala hal. Dari sekolah terbaiklah, George bisa mengukir prestasi yang lebih bersinar lagi. Lantas, bagaimana jika sekolah terbaik itu tutup hanya karena dua orang yang tidak lebih penting dari masa depan anaknya mati di lingkungan sekolah? Joly tak habis pikir dengan keputusan polisi dan pihak sekolah yang menutup sekolah selama penyelidikan
Semenjak berakhirnya penyelidikan, George tak lagi bisa bertemu dengan para petugas kepolisian yang datang ke sekolahnya. Dia tak bisa bertemu lagi dengan Jonathan, pria yang selama ini baik padanya atau bertemu Kapten Smith, pria bermata hijau yang menarik perhatian George, bahkan membuat anak itu rela pergi ke sekolah meski sudah dilarang kedua orang tuanya. "George, tadi Mom dapat telepon. Katanya, mulai besok kalian sudah harus masuk sekolah," ucap Joly di pagi Minggu. George baru saja tiba di meja makan, hendak menikmati sarapan bersama orang tuanya. Begitu mendengar kabar itu, George hanya tersenyum seraya mengangguk dengan patuh. "Oh, ya, Mom juga mendapat laporan bahwa kau pergi ke sekolah sendirian dan berlindung di belakang seorang petugas kepolisian saat gurumu muncul untuk memperingatkanmu." Joly membuka topik pembicaraan yang cukup berat di meja makan. Wanita itu kembali berkata, "Guru-gurum
"George, kau mau ikut ke rumah Aggis?" Max bertanya pada putra tunggal pasangan Joly dan Erick Owens. George yang sedang membaca buku membalas tanpa memandang sang penanya. "Untuk apa?" tanyanya balik. Dengan santainya, George membalik halaman buku. "Sebentar lagi Halloween, dan kita harus menyiapkan kejutan yang besar, George!" Oakey menyahuti, gadis kecil yang merupakan adik kembar Max pun mengganggu George yang sedang membaca buku William Shakespeare. "Oh, kenapa buku yang kau baca tebal sekali?" George menutup bukunya dan memandang ke arah Oakey. George tak perlu menyelipkan pembatas halaman, sebab dia masih mengingat jelas halaman yang ia baca sebelum kedatangan dua kakak-beradik kembar ini. "Tentu saja, Romeo dan Juliet adalah favoritku," ucap George. "Wah, sungguh? Coba katakan pada kami, sesuatu yang dikatakan orang itu dalam salah satu bukunya," tantang Max kepada George. A
"Kita sudah sampai!" Mobil berwarna kuning milik George sekeluarga berhenti tepat di depan sebuah lumbung sekaligus peternakan tua milik keluarga mereka yang telah ada sejak beberapa generasi. Warna kuning mobil keluarga Owens itu begitu menyilaukan setiap mata yang memandang ke arahnya. Setelah perjalanan jauh yang cukup melelahkan, akhirnya mereka bertiga sukses melewati medan terjal yang sempat menyambut mereka sewaktu di awal tanjakan tadi, dan sampai dengan selamat di rumah nenek George yang berada di dataran yang cukup tinggi. George membanting pintu mobil keluaran terakhir dari Dodge, Challenger SRT Demon yang dibeli oleh ayahnya dua tahun yang lalu dengan keras. Selain diberi mesin yang hebat, mobil itu juga disertai dengan otot bodi yang khas, Challenger SRT Demon terlihat sangat cocok apabila dibawa off-road di jalanan yang sulit. Namun sangat tidak cocok untuk dibawa pulang ke kampung halaman! Itulah yang membuat George kesal setengah mati.
George terlihat menunggu di depan gerbang sekolah, ia hanya sendirian di sana. Dengan alasan ada yang dipikirkannya sehingga perlu waktu lebih banyak. Jonathan sibuk dengan pekerjaannya sehingga George tak bisa terus-menerus bersama pemuda itu. Harus George akui, dia merasa tak enak badan sebab tak bisa melihat Kapten Smith, idola yang sudah ditunggu-tunggunya. Padahal George sudah menanti-nantikan hari itu tiba, mendadak rencana yang sudah dia buat pun dengan begitu matang menjadi hancur berantakan. Di tengah lamunan George, tiba-tiba terdengar sirine mobil polisi yang menuju ke arahnya. George refleks menoleh, dan melihat mobil yang ia tunggu berhenti tepat di depan gerbang sekolah. George berharap Kapten Smith keluar dari sana. Mobil itu terlihat mengkilap dan beberapa mobil lain mengikuti di belakangnya. Kemudian, seperti adegan dalam sebuah film action picisan, Smith keluar dari mobil dengan gagah. Pri
"Niels, kau tak apa?" Smith bertanya, ia terlihat khawatir melihat rekannya tiba-tiba menjadi murung begitu mendengar penjelasan soal korban. "Apa kau mengenal korban secara khusus?" Niels menggeleng dan menjawab lirih, "Tidak, Kapten. Aku hanya teringat saja dengan adik-adikku di rumah. Mereka mungkin seukuran dengan korban." Meski baru mengenal sehari, Smith tahu bahwa Niels adalah pemuda yang baik. "Tak apa, tenangkan dirimu," ucapnya menasehati seraya menepuk pundak sang partner. Niels tersenyum dan mengangguk pelan. Sedangkan George di kejauhan menatap keduanya dengan geram. "Apa yang mereka lakukan di sana!? Bukannya kerja tapi malah membahas yang tidak penting!" protesnya kesal. Jujur saja, George begitu iri dengan pemuda yang baru dilihatnya itu, meski baru pertama kali muncul di depannya, pria itu sudah bisa mendampingi Kapten Smith sebagai rekan kerja. Dengan kesal, George ber
Jonathan menoleh pada George. "Mereka tak menyadari kita di sini," ucapnya. "Lebih baik kau lewat di depan mereka dan pura-pura tak menyadari yang di sana itu adalah Kapten Smith! Siapa tahu, mereka akan memanggilmu!" George merasa ucapan Jonathan ada benarnya. Jika berjalan baik, maka George akan sangat berterima kasih kepada pria itu. "Baiklah, aku pergi dulu." George mengangguk kepada Jonathan yang tersenyum lebar seraya mengacungkan jempol kepadanya. Sekilas, senyum Jonathan terlihat seperti Sean, teman pertama George. Entah mengapa, rasanya George begitu merindukan pemuda itu. Ketika Kapten Smith dan Niels sedang kebingungan mencari bukti dan keterangan dari para saksi, sebab mereka masih belum menemukan bukti-bukti yang kuat untuk kasus yang diduga merupakan sebuah pembunuhan berencana yang terjadi dalam sebuah kelas, seseorang bertubuh tegap di usianya yang masih belia pun berjal
Smith memandang ke arah lantai. Dia lupa memperkenalkan Niels kepada George, tapi dia akan melakukannya setelah mereka selesai mendapatkan keterangan dari teman sekolah korban. Sesaat kemudian, Smith kembali mengalihkan pandangannya. Kali ini, ia melihat ke arah George. "Tunjukkan pada kami ruang laboratorium sekolah yang sempat kau singgung tadi, George." Smith akan mencari tahu, apakah ini murni sebuah kecelakaan ataukah sebuah rencana pembunuhan yang telah menewaskan korban. Smith juga akan menghubungi unit lain, dan meminta mereka untuk menghubungi kepala sekolah serta menanyai siapa guru yang bertugas menjaga laboratorium sekolah. Bukankah laboratorium sekolah harus diawasi dengan baik agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan? Seperti peranan laboratorium sekolah yang George ketahui dari beberapa buku yang pernah dia baca. Pertama,