Cinta bersemi tak pernah seharum ini, itulah kalimat yang terlontar dari seorang pecinta yang tengah dimabuk asmara. George pernah membaca kalimat yang diciptakan oleh seorang penulis novel yang menulis sebuah kisah cinta antara dua insan yang tidak ditakdirkan bersama.Ceritanya disuguhkan dengan gaya bahasa sederhana yang membuat George sanggup menghabiskan bacaannya itu hanya dalam dua hari saja. Bagi seorang kutu buku, membaca novel selama dua hari itu termasuk lamban. Namun bagi George yang belum pernah membaca novel romansa sebelumnya itu termasuk cepat.Mungkin karena alur cerita itu yang begitu mirip dengan kisah cintanya.George tak tahu mengapa dia membeli sebuah novel cinta yang sebenarnya bukan merupakan genre kesukaannya. George bahkan tak tahu sudah sejak kapan dia sering kedapatan curi-curi pandang ke arah Myra, gadis yang menjauh darinya semenjak berpacaran dengan salah seorang dosen di kampus mereka.Jawaban dari semua kebingungan itu tak ada di buku manapun, meski d
George tahu jika idenya mengungkapkan perasaan kepada Myra itu terdengar gila, tapi dia tak pernah merasa begitu gugup sampai seperti ini, bahkan saat petugas kepolisian berusaha menggeledah rumahnya saja dia masih bisa tenang dengan jantung berdegup kencang.Ada sensasi aneh yang seolah ingin membuatnya berterus-terang kepada gadis yang menjadi teman pertamanya di Universitas Johns Hopkins itu.Oleh karena itu, George akan mengajak Myra bertemu untuk membahas hal ini. Akan jauh lebih baik baginya jujur kepada gadis itu daripada memendam perasaannya terlalu lama, apalagi gadis itu telah bersama laki-laki lain yang parahnya lagi adalah seorang dosen di kampus mereka."Myra, kau ada waktu siang ini sebelum pendaftaran klub sastra?" George menghampiri Myra tepat setelah kelas bahasa berakhir.Gadis itu terlihat kaget saat George datang menyapanya, apalagi mereka sudah lama tidak saling berbicara satu sama lain sejak dirinya berpacaran dua bulan yang lalu dengan Lee yang merupakan salah sa
Jantung Myra berdegup kencang, ditatapnya George yang tengah memandanginya dengan serius. George tak pernah seserius ini ketika berbicara dengannya, kecuali saat pemuda itu tengah menjelaskan pelajaran yang tidak bisa dia pahami. Myra menarik napas panjang, berusaha menetralkan irama detak jantungnya yang mulai menggila."Apa yang ingin kau sampaikan, George?" tanya Myra dengan tenang, padahal gadis itu berteriak histeris dalam hati. Dia benar-benar penasaran sekaligus gugup, gelisah menantikan kalimat yang hendak George sampaikan padanya.George memandangi Myra lekat-lekat. "Myra, aku menyukaimu." Kalimat singkat George berupa pengakuan cintanya kepada Emily, dia lalu melanjutkan, "Hanya itu yang ingin kukatakan padamu."Myra terbelalak karena kaget mendengar pengakuan George. "Sejak kapan?" tanyanya hati-hati, jantungnya terus berdetak kencang, rasanya Myra hampir gila karena mendapat pernyataan cinta dari seseorang yang sudah mencuri hatinya sejak lama."Sejak semester 2, waktu
Satu minggu yang lalu...."George Owens, pelaku pembunuhan keji dari 23 warga sipil tak berdosa, dengan ini dinyatakan bersalah. Atas kejahatan yang telah dilakukannya, pengadilan menjatuhkannya hukuman pancung sebagai eksekusi kematiannya."~~~~~ George Owens, mantan detektif yang masuk penjara ketika berusia 63 tahun. Didakwa atas tuduhan pembunuhan karena telah meledakkan sebuah bangunan dan menewaskan banyak orang tak bersalah. "Ho ... jadi itu kau? Ck, ck, ck. Hei, Pak Tua. Hiduplah dengan benar." Seorang sipir yang berdiri di depan sel sambil membaca sebuah koran mengawasi pria tua di balik sel yang ia jaga. George mendesis. Masih terngiang jelas dalam benak pria itu, suara berat hakim saat membacakan surat keputusan dari pengadilan atas kejahatan yang telah dilakukannya. Semua masih terngiang jelas, seolah hakim bernama Simmons sengaja memutar kenangan buruk dalam hidupnya.
Terkenal sudah genius sejak kecil, George Owens memandangi piagam serta piala penghargaan yang sudah ia peroleh sejak berumur tujuh tahun. Kebanyakan dari penghargaan yang telah ia dapatkan itu berasal dari keikutsertaannya dalam lomba-lomba ilmu pengetahuan dan juga berbagai acara debat seminar yang dilakukan di berbagai tempat di kota tempat tinggalnya berada. "Oh, minggu depan ada pertandingan baseball." George bergumam seraya melihat jadwal kegiatannya di kalender. Jadwalnya memang padat, tapi George selalu meluangkan waktu untuk mengikuti kegiatan di sekolahnya. Belum lagi dengan banyaknya kemenangan yang ia peroleh dalam turnamen olahraga yang sering dilaksanakan di sekolah. George juga aktif dalam organisasi penting yang ada di sekolah. Dan hampir semua kegiatan yang ia lakukan, George selalu terdepan karena mendapat amanat langsung dari guru-gurunya. Me
Jika anak-anak Elementary School senang dengan karakter pahlawan seperti Superman, Spiderman atau tokoh-tokoh berkekuatan super dari Marvel, maka George berbeda. Dia tak seperti anak-anak lain yang senang menjadi sosok yang tak mempunyai kelemahan. "Apa bagusnya pahlawan yang menggunakan pakaian ketat? Memangnya mereka bintang film dewasa?" Salah satu komentar George yang mempertanyakan kesukaan teman-temannya. Saat itu anak-anak sedang berkumpul membahas perilisan film Legacy Man : Super Spider. Sebuah film yang menunjukkan aktor berkostum Spiderman dan Superman yang bersatu melawan anti-hero berkekuatan luar biasa. "Kau belum menontonnya, George? Aksi dua pahlawan super abad ini benar-benar luar biasa!" sahut Nick, anak berkawat gigi yang selalu tertarik dengan hal baru. George merotasikan mata dan melewati perkumpulan anak-anak lelaki di kelasnya tanpa minat. Dia bukan golongan a
Takkan ada yang menyangka jika anak laki-laki yang begitu terkenal kegeniusannya selama berstatus bersekolah di Geraldine 2 Elementary School kelak akan menjadi seorang pembunuh berantai yang kejam. Dia hanya anak laki-laki biasa, tidak memiliki kekuatan super dan bisa terbang. Dia hanya berwajah tampan, berasal dari keluarga yang kaya dan diberkahi otak yang cepat menerima pelajaran. Meski tak pandai berkomunikasi dengan orang lain, George adalah anak yang pandai mengeluarkan pendapat yang bisa mengubah pandangan seseorang. Dia adalah anak yang seperti itu. Sosok yang pendiam, namun begitu mengeluarkan kata-kata, maka semua mata akan tertuju padanya. "Oh, George! Selamat pagi! Tidak diantar lagi hari ini?" Eddy, seorang penjaga gerbang menyapa George begitu putra pasangan Owens memasuki halaman sekolah. Anak itu menyunggingkan senyum tipis yang sudah menjadi c
Betapa pentingnya pengawasan terhadap seorang anak, orang tua yang tak bisa melihat langsung pertumbuhan anaknya kelak akan merasakan sebuah penyesalan yang tertinggal di hati. Mereka tak lagi bisa mengulang saat-saat terindah bersama anak mereka. Salah satu dari sekian banyak orang tua yang akan menyesali hal itu adalah Joly dan Erick Owens. Mereka yang terlalu sibuk bekerja pun memberikan seluruh pengawasan anaknya kepada para pengasuh. Mereka sibuk mengejar duniawi, berpikir itu untuk masa depan sang anak, tapi mereka membuat seorang anak merasa kesepian karena kerap ditinggal orang tuanya pergi bekerja. Anak itu George Owens. Akibat tidak mendapat perhatian dan kasih sayang yang cukup dari orang tua, di masa remaja ia berubah menjadi pembunuh berantai, bergabung ke kepolisian dengan tujuan tak baik, dan berakhir hukuman mati setelah meledakkan sebuah laboratorium dan menewaskan banyak orang.