"Kau yakin sudah menyuntikkan Rohypnol lagi kepada mereka?"Antonio terlihat gelisah, sesekali ia melirik tiga orang yang bersandar di kursi belakang mobil—dengan kondisi tak sadarkan diri. George tersenyum, dan memasang sabuk pengaman. Hari ini, biar Toni yang menyetir."George!" seru pemuda dengan iris mata berwarna biru, ia sudah cukup panik sekarang, ditambah kehadirannya diabaikan oleh sang sahabat.George tersenyum, "Tenanglah, aku sudah menyuntikkan Rohypnol kepada mereka. Dengan dosis cukup tinggi, kupastikan ketika bangun nanti, mereka akan kehilangan memori selama 8 sampai 12 jam." Pada akhirnya rasa gelisah Antonio berkurang sedikit setelah melihat senyum menjanjikan George. "Baiklah, awas saja jika mereka tiba-tiba ingat pertemuan kami di bar."George menghela napas, memandang kaca depan mobil yang merefleksikan tiga orang lelaki di belakang tempat duduknya, lalu bertanya, "Bukankah kau dan Tom sedang menyamar saat itu? Lagipula, hanya di hari itu saja kalian berdua berku
Tiga bulan kemudian."Terima kasih telah mengikuti ujian, selamat menikmati libur musim panas kalian."Anak-anak kelas di mana George berada, langsung bersorak gembira ketika Mrs. Jenneth melangkah keluar dari ruang 1A. Mata ujian terakhir di minggu pertama di awal bulan Juli baru saja selesai, dan mereka mendapat kabar libur panjang hingga awal September."Huaah! Leganya bisa bebas dari ujian!" Tom meregangkan jari jemarinya selama seperkian detik. Duduk lama membuat pinggangnya terasa sakit dan pegal. Ia butuh refreshing!Antonio memajukan bibirnya, mengeluarkan tiruan suara suling hingga menimbulkan bunyi siulan yang terdengar sedikit sumbang. Tampaknya dia benar-benar merasa bahagia.Meski keduanya berprestasi di bidang non-akademik, mereka bisa dikatakan cukup lemah dengan teori-teori yang ada di setiap pelajaran, hingga rumus perhitungan yang menyusahkan seperti Matematika dan Fisika.Teman-teman sekelas George sudah lebih dahulu pulang ke rumah masing-masing, dan hanya menyisak
Niels tersenyum melihat sebuah rumah minimalis kecil yang berdiri kokoh di depannya. Ingatan masa kecilnya kembali muncul ke permukaan secara perlahan. Betapa lucunya ingatan-ingatan itu saling berebut untuk tampil dan menyenangkan sang pemilik.Meski telah tiba di kampung halamannya sejak beberapa bulan yang lalu, Niels tetap merasakan suasana yang berbeda di rumahnya dari apa yang bisa ia ingat.Semenjak kepergian sang ayah; sosok panutan dari anak-anaknya dan pelindung keluarga sejati, kini yang tertinggal di rumah itu hanyalah sisa-sisa kenangan tentang dirinya. Niels melangkah pelan memasuki rumah tanpa halaman tersebut.Tinggal di pinggir jalan kadang terasa sekali beratnya, tetapi Niels sudah terbiasa dengan hal itu. Suara-suara berisik dari lalu lalangnya kendaraan, hingga sulitnya mencari tempat parkir.Dulu Niels pikir, kota besar adalah impian semua orang. Faktanya, sulit sekali tinggal di tempat di mana keadilan begitu sulit ditegakkan."Baru pulang ya, Kak?" sapaan lembut
Selepas pulang sekolah, George langsung menuju kamarnya. Ia merebahkan dirinya di atas kasur yang empuk, tanpa sempat melepaskan atribut sekolah ataupun sepatu. Suasana hatinya sudah buruk sejak dari sekolah tadi.Kegiatan dan tugas dari sekolahnya yang banyak telah menghancurkan kesempatan George untuk meneliti sampel-sampel terbarunya. Tak terlalu penting sebenarnya, kecuali untuk menambah daftar panjang catatan harian yang selama ini diteliti olehnya. Ia kini perlu hiburan.Dua orang sahabatnya yang sudah lama berbaikan sejak insiden sepele beberapa waktu lalu, kini kembali mengungkit orientasi seksual dirinya. Jelas-jelas George Owens adalah lelaki normal, dia hanya tidak memiliki perasaan kepada Gracia meski telah cukup lama berpacaran dengannya.Bagi George, gadis itu tak bisa menggeser posisi impiannya dari daftar prioritas. Cita-citanya lebih penting daripada cinta yang bisa kapan saja ia dapatkan dari siapa pun yang menginginkannya. Sekarang, dia bersama Gracia hanyalah untuk
Waktu berlalu dengan cepat bagi George Owens. Semenjak dikurung dalam penjara atas tuduhan pembunuhan berencana di laboratorium tempatnya bekerja, dia menghabiskan sisa waktunya dengan bersantai ditemani sebuah buku kecil. George menjadikan buku tersebut layaknya diari yang bertugas menceritakan kegiatan sehari-harinya di penjara."Hei, George, makan malam." Seorang sipir penjara tiba di depan sel George, dia memasukkan senampan makanan ke dalam sel penjara dengan cara sedikit melemparnya. Dia tak melakukannya dengan benar.George melirik wadah makanannya yang menjadi sedikit berhamburan. "Terima kasih,' sahutnya dari balik pintu penjara. Dia merangkak mendekati pintu dan mulai memakan makanan penjara yang sudah bosan dimakannya.Beberapa minggu yang lalu setelah dipindahkan ke sel umum layaknya narapidana lain, George melakukan kesalahan yang pada akhirnya justru membuatnya kembali dimasukkan ke penjara khusus. Padahal dia sudah senang bisa meninggalkan ruangan sempit yang hanya dite
"Hei, George. Makan malammu datang." Jessie memasukkan tangannya ke dalam sel penjara tempat George dikurung. Dia meletakkan roti dan minuman kemasan di lantai, lantas duduk bersandar di sebelah pintu sel tersebut.Sebenarnya ada larangan bagi para sipir penjara untuk tidak lengah saat menjaga narapidana, tetapi bagi sipir yang bertugas menjaga penjahat-penjahat khusus, mereka mendapat keringanan aturan tersebut.Jadilah Jessie bisa duduk bersandar di dekat pintu tanpa takut mendapat sanksi dari kepala sipir penjara tempatnya bekerja.George yang sedang membaca diari kecilnya menoleh ke arah pintu, sedikit penasaran dengan nada suara Jessie yang terdengar tidak bersemangat. Didekatinya pintu sel, lantas memunguti roti yang gadis itu berikan."Apa hari ini ada sesuatu yang terjadi padamu?" George bertanya dengan pelan sebelum mulai menggigit roti keras pemberian penjara dengan hati-hati. Dia mulai kesulitan mengunyah roti-roti yang penjara berikan, karena giginya tak lagi muda seperti
"Jadi kau menyukai kekasih dosenmu sendiri?" Jessie terperangah begitu mendengar pembuka cerita George, sehingga tanpa sadar telah memotong cerita orang lain di tengah-tengah alur. Jessie hanya kaget saja, sekaligus merasa sedih, sebab cerita cinta George rupanya hampir sama dengannya.George berdeham, tidak suka saat ada seseorang yang menyela ucapannya, terlebih lagi di kala bercerita. Jessie yang merasa dehaman itu sebagai peringatan karena sudah menyela pembicaraan seseorang segera meminta maaf padanya."Salah satu etika dasar di kehidupan ini adalah mendengarkan cerita seseorang tanpa menyela ucapannya." George menasehati sang gadis, karena mungkin di matanya Jessie sama sekali tak mengetahui etika dasar itu.Jessie merotasikan mata, bosan mendengar nasehat orang tua seperti George. Meski begitu, dia tak ada niatan untuk menyela cerita orang tua itu, dia hanya refleks saat melakukannya. Dia tak akan menyela lagi kali ini."Ya, baik. Sekarang teruskan ceritamu." Jessie mempersilak
Cerita Jessie berhenti di tengah-tengah, sang gadis terdiam. Cukup lama sampai membuat George menguap sebanyak tiga kali. Dia masih setia menunggu sang gadis kembali bicara."Nathan menolakku," ucap Jessie tiba-tiba, memecah keheningan yang sempat berlangsung selama beberapa saat. George melirik pintu, seolah melihat ke arah gadis malang yang mengalami cinta bertepuk sebelah tangan.Jessie mengeratkan pelukannya di lutut. "Dia menolakku, katanya dia tak mau pacaran dulu. Fokusnya adalah lulus dan menjadi sarjana, jadi cinta bukanlah bagian dari rencananya itu," sambungnya lagi.Kegetiran begitu terasa di nada bicara gadis yang berusia 24 tahun dan akan berusia 25 di ulang tahunnya pada Desember nanti. Sekarang masih Agustus, tersisa beberapa bulan lagi sebelum bertambahnya usia."Aku tak bisa menyerah begitu saja terhadap Nathan, sehingga aku menunggunya sambil terus mendukungnya sebisaku." Jessie rupanya masih melanjutkan ceritanya. Sang gadis mengangkat wajah, menatap plafon penjara