Yuk, komen kira-kira siapa nih yang dilihat Nayra di ruang tamunya?
"Silaturahmi." Pria yang ada di hadapannya mengulum senyum miring lantas berdiri. Pria itu mengulurkan tangan ke arah Nayra sambil tetap mempertahankan senyumnya. Kedua mata bulatnya menatap lurus ke manik cokelat milik Nayra. Nayra mengatupkan rahang. Tiba-tiba kerongkongannya terasa panas. Nayra teringat dengan kejadian kemaren sore saat jari-jari itu mencengkeram lehernya. Nayra lalu membuang muka. Ia hendak menggiring kakinya menuju kamar ketika Ida tergopoh-gopoh keluar dengan membawa nampan berisi minuman untuk Guna. Nayra mendelik tak percaya. Sampai sekarang bisa-bisanya Ida masih memperlakukan Guna seperti menantunya sendiri. Guna masih menatap Nayra dengan senyum tipis lalu kembali duduk di tempatnya. Sementara Ida meletakkan secangkir kopi hangat di depan Guna. "Nah, minum dulu, Gun. Kamu pasti sudah merindukan kopi di sini kan," goda Ida. Nayra semakin melebarkan kedua matanya memandang Ida. "Ibu apa-apaan sih!" Mendengar respon Nayra yang ketus membuat Ida mendonga
Nayra gesit membolak-balikkan kertas diary yang sekarang berada di genggamannya. Sementara kedua mata cokelatnya lincah mencari halaman yang cocok dengan foto tersebut. Lalu Nayra menemukan sebuah cerita singkat di halaman awal diarynya. Bukan paling depan, namun kisah itu berbaur dengan kisah-kisah lama Nayra sewaktu masih SD. Nayra memang memiliki diary khusus untuk beberapa momen tertentu selama hidupnya. Ia bukan seseorang yang rajin menulis kesehariannya lewat diary. Melainkan peristiwa istimewa yang selalu terngiang di benaknya yang akan ia tulis di situ. Tetapi Nayra tidak terlalu ingat mengenai bocah laki-laki yang ada di dalam foto tersebut. Nayra membaca sekilas tulisan singkatnya di sana. Tulisan seorang bocah yang masih polos dan sederhana. Lalu berikutnya, bayangan tentang kenangan itu menyertainya. [ Dear diary, hari ini aku ikut Ibu ke salah satu mall besar di sini. Aku melihat berbagai macam gaun lucu untuk acara ulang tahunku yang keenam besok. Kedua mataku langsun
"Hah, maksud kamu apa?" Marsella mengernyit tidak paham.Guna menatap lurus ke arah wanita tersebut. Dilihatnya paras cantik Marsella secara lamat. Kedua mata bulat hitam bersinar, hidung mungil juga bibir semerah cherry. Guna gemas, ia langsung mencubit pipi tembem Marsella seperti biasanya."Kamu itu ya, kalau diajak bicara serius sedikit langsung lemot," gelak Guna terbahak-bahak."Aw, sakit tauk!" Marsella memberontak, lalu sekuat tenaga menjauhkan tangan Guna dari kedua pipinya.Guna masih tertawa keras melihat wajah Marsella memerah. Gadis tersebut menekuk wajah sambil mengusap pipinya yang kesakitan. Sedang kedua mata bulatnya mendelik ke arah Guna."Jangan nyubit pipi dong, sakit! Kamu sih nggak mau jelasin secara detail!" gerutu Marsella kemudian."Maaf, Sayang. Kamu terlalu gemoy sih." Guna terkekeh. "Kalau nggak nyubit pipi, nyubit apa coba?" lanjut Guna dengan menaik-turunkan kedua alis tebalnya."Ih, nggak lucu! Jelasin yang tadi!" sungut Marsella yang sudah kehilangan ke
Nayra menatap Ida tak percaya. Apa katanya? Tidak laku?Nyatanya membuka hati pasca trauma oleh karena pasangan yang selingkuh di belakang kita lebih sulit. Apalagi hal itu menyebabkan Nayra menjadi down dan kurang percaya diri."Bu, bukannya Nayra nggak laku. Tapi apa Ibu pernah berpikir bagaimana perasaan orang setelah diselingkuhi? Trauma, Bu. Nayra belum siap untuk memulai hubungan baru lagi. Mending Nayra sendiri.""Halah, kamu itu ada-ada aja alasannya. Yang belum siap, trauma. Nggak laku ya emang nggak laku. Lagian siapa yang mau sama barang bekas kayak kamu!" hina Ida sembari memandang Nayra dengan tatapan remeh.Nayra hanya menggeleng dan heran terhadap sikap ibunya. Ida, ibunya tak bisa memilih mana perkataan yang baik dan mana yang menyinggung hati."Astaga, Bu," gumam Nayra lirih.Tenggorokan Nayra kering, dadanya sesak tak kuasa menghadapi sikap Ida yang selalu seenaknya sendiri. Nayra kesal. Begitu ia menahan emosinya, titik bening dari matanya semakin mendesak untuk kel
Sontak Ida membulatkan kedua mata. Sementara lawan bicaranya di seberang telepon terdengar menjelaskan kondisinya. "Satu juta setengah ya tadi? Aduh, banyak banget—" "Iya, iya. Kamu tenang aja. Nanti bisa aku usahakan. Aku bujuk Nayra dulu," ralatnya kemudian. Ida mengerjap cepat setelah menutup teleponnya. Ia sendiri juga bingung. Bagaimana merengek ke Nayra agar anaknya memberikan uang satu juta setengah lagi. Mengabaikan bayangannya di depan cermin, Ida menggigit jarinya. Ia sedang memikirkan apa alasan yang harus ia keluarkan agar Nayra percaya. Bagaimanapun Ida harus bisa mendapat uang tersebut. ♡♡♡ Nayra meletakkan cangkir di depan meja Aldo dengan takut-takut. Bahkan tangannya ikut bergetar hebat. Aldo yang sedang menatap layar monitor sedikit melirik ke arah tangan Nayra yang sedang gugup. "Kamu coba dulu." Nayra yang tengah mengelap kedua telapak tangannya yang basah oleh keringat di roknya terpegun. "Apa?" "Kamu coba dulu. Biar tahu sudah pas atau belum," ujar Aldo
"Apa yang Ibu lakukan?!" Kedua mata Nayra melotot tak percaya menangkap kelakuan Ida di hadapannya.Sambil merapikan pakaiannya, Ida berdiri. Lalu menatap Nayra dengan amarah yang belum reda."Ini bapakmu disuapin malah nggak mau makan! Kurang sabar gimana aku ngurus dia!"Nayra menyambar kantong plastiknya kembali lantas berderap cepat menuju posisi keduanya. Ia mengamati Budi yang menangis sambil menggeleng. Nayra lalu menyeret pandangannya ke arah Ida dengan tatapan menuntut."Ibu nyuapin Ayah atau nyiksa? Kalau Ayah sudah nggak mau makan, biarin saja lah, Bu," ujar Nayra nelangsa."Lo, kamu ya nggak tahu diri! Kita sudah miskin, makanan ya harus dihabiskan! Anak sama bapak kok sama aja ngelesnya!"Sekilas Nayra terdiam dan menggelengkan kepala. Bibirnya terkatup rapat menahan emosi."Ibu kan bisa mengambilkan nasinya sedikit dulu. Nanti kalau Ayah kurang, bisa nambah."Ida langsung menekuk wajahnya kesal. Tanpa banyak bicara, Ida mendekati Nayra dan mendorong piring yang semula ia
Arvin terperanjat, begitu juga Nayra. Kini dahi wanita tersebut berkerut samar.Apa yang sedang dimaksud Arvin dan Pak Nugroho? Kenapa harus menyangkut dirinya? Batin Nayra bertanya-tanya.Arvin enggan melihat Nayra di belakangnya. Ia berdeham pelan kemudian memberanikan diri untuk bertanya agar Nugroho lebih jelas mengatakannya."Maksud Pak Nugroho apa ya?" tanyanya bingung.Tawa Nugroho pecah lagi. Pria itu terbahak-bahak seakan tak memedulikan bagaimana kebingungan Arvin maupun Nayra yang sudah membuncah."Vin, Arvin. Kamu masih muda tapi sudah pelupa. Kalah sama Bapak. Umur kamu berapa memang, ha?" Nugroho sedikit mengangkat kepala, menunggu lawan bicaranya menjawab pertanyaannya.Sambil memperbaiki kacamata yang bertengger di hidung, Arvin menyahutnya dengan ragu."Saya sudah dua puluh tiga tahun, Pak."Oh iya, Pak Arvin kan memang seumuran denganku. Nayra masih memperhatikan pembicaraan keduanya."Lha iya, itu masih muda sekali, Vin. Begitu saja lupa," gelak Nugroho lagi.Dengan
Arvin tersentak. Begitu ia hendak menyuapkan mie ke dalam mulutnya, ia menyaksikan Aldo berdiri dan segera berlari keluar."Pak, mau kemana?" Sontak pandangan Arvin mengikuti arah kemana Aldo pergi.Jujur Arvin tak pernah melihat ekspresi itu sebelumnya. Apalagi di wajah Aldo yang dingin.Arvin berdecak lidah, ia sangat khawatir terhadap pria tersebut. Meskipun sempat ragu karena menggagalkan suapan mienya, namun Arvin akhirnya tetap beranjak pergi demi menyusul Aldo.Tiba-tiba dada Aldo merasa sesak. Bertemu dengan seseorang dari masa lalu itu, sejujurnya ia belum siap. Tetapi ada satu hal yang ingin ia luruskan dengan wanita tersebut. Maka, hal itu yang membuat Aldo terus mengejar sosok di depannya.Aldo melangkah cepat. Kedua matanya lurus menatap bahu wanita berambut pendek itu dengan napas yang berpacu.Wanita tersebut juga terlihat berderap cepat. Hingga Aldo harus mengeluarkan suara demi menghentikan langkah kaki perempuan itu."Fanny!""Stefanny!"Aldo tak putus asa meskipun y