"Terus nanti kamu pulang jam berapa?"Marsella menautkan kedua alis. Ia tengah menajamkan pendengarannya untuk suara di seberang teleponnya."Kamu lagi sendirian, Mas? Kok hening begitu? Kerja apa sih?"[Sssttt, jangan banyak tanya. Nanti aja aku ceritakan pas di rumah. Sudah ya, aku tutup dulu.]Marsella menarik ponsel dari telinganya dengan dengusan kasar. Guna tidak memberitahunya tentang pekerjaan baru pria tersebut. Ditambah lagi, pria itu terkesan terburu-buru sewaktu menerima panggilannya barusan."Nyebelin!" gumam Marsella kesal.Ia lalu memutuskan untuk mengotak-atik ponselnya di sana. Meskipun sudah larut malam, Marsella tak ingin pulang. Toh kedua orangtuanya yang sedang pergi ke luar kota tidak akan peduli. Apalagi sampai mencarinya.Dua jam kemudian—tepat pukul satu dini hari, Guna kembali ke rumah kontrakan dengan berjalan sempoyongan.Guna berhenti di depan pintu kemudian merogoh kunci dari dalam saku celana. Ia bahkan tidak ingat jika Marsella sudah membuka pintu itu.
Nayra terkesiap. Rasanya seperti mimpi saat tubuhnya terjungkal ke depan. Nayra jelas tak menginginkan kejadian ini, apalagi kini tubuhnya justru mengarah ke Aldo.Nayra memejamkan kedua matanya rapat. Tetapi begitu merasakan tubuhnya ditopang oleh sepasang tangan, seketika ia membuka mata.Ia tercekat, jarak wajah Aldo dan dirinya begitu dekat. Ternyata pria itu yang telah menolongnya sehingga badannya tak sampai jatuh ke lantai.Nayra mengerjapkan mata. Ia menyadari paras Aldo yang sangat tampan. Apalagi ketika wajah tersebut diterpa oleh cahaya keemasan matahari yang menyilaukan.Hal yang sama menimpa Aldo. Ia tercengang saat sepasang tangannya bekerja begitu saja demi menopang tubuh mungil milik Nayra.Namun yang lebih mengejutkan bukan hanya itu. Kedua netra Nayra yang berwarna cokelat membuatnya termenung sesaat. Sepasang mata Nayra telah mengingatkannya kepada seorang gadis kecil yang pernah ia cari sejak tujuh belas tahun lalu.Dan harus Aldo akui, ini adalah pertama kalinya i
Kedua mata Nayra terbelalak lebar. Ternyata yang ia lihat tadi memang benar. Pria itu adalah Guna. Dan sekarang senyum Guna justru bertebaran di depan matanya.Lalu, dimana wanita yang ia sangka ibunya berada?Nayra kemudian memilih mengabaikan ucapan Guna. Ia justru memutar tubuh dan menghamburkan pandangan ke berbagai arah di sekitarnya.Guna yang merasa tak diacuhkan sontak memusnahkan senyum di bibir tebalnya. Pria itu mengenyit menyaksikan Nayra yang seakan masih mencari seseorang di sana."Kamu cari apa sih, Nay?"Nayra langsung menumbukkan kedua mata ke arah Guna dengan tajam."Ibu. Kamu ke sini sama Ibu kan?" tuduh Nayra seketika."Dimana Ibu?!" tekannya sembari mencari-cari lagi.Melihat kebingungan yang ada di raut wajah Nayra membuat Guna tertawa. Nayra pun mendengus kesal dibuatnya. Rasanya percuma bertanya kepada pria tersebut.Karena tak menemukan jawaban pada Guna, ia lalu lekas melangkahkan kaki hendak pergi. Namun sebuah sambaran pada lengannya berhasil mengurungkan n
Lalu tatapan Aldo semakin menajam. Pria itu memilih memutus kontak dari pandangan Nayra, kemudian berdiri tak acuh.Tangannya tiba-tiba melempar sebuah kartu ATM dari dompet kulit hitamnya, mengarah ke Arvin."Bayarkan, Vin," ucap singkat Aldo kemudian berderap pergi dari sana.Nayra hanya menatap punggung Aldo dengan ekspresi tercengang. Lalu pandangannya terseret ke arah kartu warna hitam yang langsung membuatnya terpukau.Sementara itu Arvin menelan ludah. Sepertinya ia sudah terlalu banyak bicara siang ini.Setelah selesai dan membayar bill di kasir, Arvin dan Nayra menggiring kaki menuju tempat parkir. Tampak Aldo sudah menunggu mereka di dalam. Pria dingin tersebut masih berkutat sibuk pada tabletnya.Mobil kemudian mulai dijalankan Arvin. Mobil mewah dengan warna hitam kilat itu meluncur mulus membelai jalanan ibu kota yang tampak menguap saking panasnya.Kini sudah satu jam setengah mereka terjebak oleh macet. Sesekali Aldo terlihat gelisah dan mulai memeriksa arloji yang bert
Nayra langsung tergagap lalu terpaksa mendongak demi menerima panggilan dari Aldo."Iya, Pak?""Kemari." Tanpa memandang Nayra, Aldo sibuk mencari dan menyusun sejumlah dokumen yang ada di depan mejanya.Nayra melangkah ragu menuju meja Aldo. Setengahnya ia berpikir tentang apa yang sedang dilakukan oleh pria itu.Aldo melempar setumpuk dokumen tadi tepat di hadapan Nayra. Saking kerasnya lemparan Aldo, hingga membuat rambut cokelat Nayra tersibak dengan kedua mata yang terpejam kaget."Antar ini ke ruang staf keuangan."Dua tangan Nayra meraih beberapa dokumen tersebut pelan. Setelah berhasil ia susun di depan dadanya, tumpukan dokumen itu menjadi tinggi sampai wajahnya tertutupi.Nayra memutar tubuhnya 90 derajat demi menjawab perintah Aldo sebelum dirinya memutuskan untuk melangkah pergi."Baik, Pak." Lalu kedua kaki itu pun menggiringnya keluar dari ruangan Aldo.Aldo menghela napas panjang. Ia lega dapat menyingkirkan Nayra untuk sementara waktu. Aldo segera menarik kursinya agar
Suara Nayra yang menyerbu telinga Aldo seketika menyadarkannya. Aldo mendongak kemudian mengerjap cepat."Maksudku, teh," dehamnya pelan dengan suara yang tetap dingin dan maskulin.Arvin yang berada agak jauh dari mereka mengerutkan hidung. Setengahnya, ia juga hampir tertawa karena baru kali ini dirinya melihat Aldo melakukan kesalahan yang konyol."Baik, Pak." Nayra mengangguk samar kemudian menyeret kedua kakinya keluar ruangan.Arvin yang melirik Aldo langsung menutup muka singkat seakan rasa malu yang dirasakan Aldo sampai kepada dirinya."Pak Aldo, jangan sampai salah menyebutkan kopi lagi. Penyakit Anda tidak main-main lho." Arvin menyarankan dengan sedikit menggoda.Aldo mendes*ah berat sebagai jawaban. Ia terlalu pening untuk menanggapi ocehan tak penting Arvin. Ia sendiri heran, kenapa hari ini ia sering salah sebut. Apa yang di pikiran dan mulutnya tak sinkron.Seperti tadi, Aldo sebenarnya memikirkan nama Rully. Namun yang nyata keluar dari bibirnya justru Budi. Lalu baru
Dengan samar Ida mendelik singkat. Lalu segera mengubah air mukanya."Pergi ketemu teman SMA sebentar," jawabnya singkat.Nayra tampak meneliti tampilan Ida di depannya secara menyeluruh. Blouse mewah, celana baru dan tas yang bahkan belum pernah Nayra lihat juga.Ida merasa tak nyaman dipandangi Nayra yang menurutnya terasa seperti sedang menyudutkan, serta menghakimi dirinya."Kenapa, Nay?" ketus Ida kemudian. Kedua matanya membalas tatapan Nayra dengan lebih menantang.Nayra buru-buru menggeleng. "Nggak, Bu. Emang Ibu sudah makan?""Makan di luar." Lalu Ida ingin segera menyudahi pembicaraannya. "Ya sudah aku berangkat dulu, sudah ditungguin."Ida melengos. Sambil mengeratkan pegangan tasnya, ia melangkahkan kaki cepat. Meninggalkan Nayra dengan tanda tanya besar di kepalanya.Nayra kemudian berderap demi meletakkan tasnya, lantas menuju ke belakang untuk mencuci tangan. Ketika kembali, ia sempat memeriksa makanan di meja dapur karena rasa lapar yang sudah mulai menyambutnya.Begit
"Apa yang kamu lakukan?!"Suara Aldo yang ketus menikam ulu hati Nayra. Hingga berhasil membunyikan alarm bahaya dari tubuh Nayra secara alami.Nayra berjingkat. Ia segera menjauh dari Aldo. Wajahnya tampak pucat pasi saking takutnya."Ma-maaf, Pak. Saya beneran tidak ada maksud apa-apa." Nayra langsung menunduk merasa bersalah. Dalam hatinya menggerutu karena kebodohan sekaligus kecerobohannya.Meski tanpa melihatnya, Nayra dapat mendengar hembusan napas kasar dari Aldo. Begitu juga gerakannya yang grusah-grusuh.Aldo tiba-tiba berdiri, lalu melempar selimut tadi ke arah Nayra. Beruntung Nayra cekatan menangkapnya dengan dua tangan.Bersamaan dengan itu, Nugroho masuk. Pria paruh baya tersebut sempat terdiam saat menyaksikan rona wajah keduanya. Tampak di matanya Aldo menghunjamkan tatapan serius ke arah Nayra yang memucat."Ada apa ini?" tanyanya.Aldo kemudian mengalihkan pandangannya ke arah Nugroho. Ekspresinya masih marah. Ia lalu merapikan jasnya singkat dan berderap menuju aya