Kamis, 17 Juni 2021, lt.17 gedung kantor bersama, ruangan Consultant Engineering, Airin Wijaya.
Airin hanya diam menatap pemandangan gedung-gedung tinggi dari jendela kantornya pada pagi hari menjelang siang ini. Sejak keluar dari rumah Raihan tadi pagi, yang harus melalui 2 jam perjalanan naik turun bukit menuju apartemennya, hingga perjalanan menuju kantor tempat ia bekerja, pikirannya hanya mengarah pada satu hal,
“Seberapa rendah posisinya saat ini?”
Pagi ini, sebenarnya bisa saja dia tidak pergi ke kantor karena tidak ada hal mendesak yang harus diurus secara langsung. Tapi juga sangat tidak menyenangkan jika Raihan kesanan nantinya. Kantor di lantai 17 ini adalah satu-satunya tempat dimana
Jum’at, 18 Juni 2021Meja makan rumah Raihan yang terletak di dataran tinggi dan bersebelahan dengan kebun teh keluarga itu terlihat penuh dengan perintilan soto. Raihan yang baru datang dan melihat makanan itu tiba-tiba teringat pada Airin. Entah dimana wanita itu berada sekarang.“Kamu mu ngurus berkas nikah kapan? Nggak baik ditunda terus meskipun sah agama.” Bu Dewi bertanya pada Raihan.“Hari ini, ma.” Spontan saja ia menjawab, karena ia membatalkan cuti dan akan mulai masuk kerja esok hari. Tidak ada perbincangan lagi, Raihan mengetik pesan singkat pada Airin.Hari ini ke kantor sipil&m
“Percuma saja menikah, jika mereka sama-sama tidak bahagia.”Kesalahpahaman sudah tidak lagi dapat dicegah diantara Raihan dan Airin. Saat sampai di rumah, Raihan melanjutkan untuk tidak terlalu memperdulikan Airin sehingga membuat wanita itu makin salah paham.Pintu kamar ditutup begitu saja dengan keras di depan Airin tanpa mempersilahkannya masuk terlebih dahulu. Hl itu sukses membuat Airin berpikir keras mengulang kejadian sehari ini, apakah dia ada kesalahan?Suasana rumah sepi dan hari sudah gelap. Badan Airin benar-benar meminta untuk diistirahatkan tapi masih banyak masalah yang harus dia hadapi sekarang.Dia mengurungkan diri masuk ke kamar dan melangkahkan kakinya ke dapur. Sejenak meluruskan punggung dan meneguk beberapa tegukan air yang melegakan te
“Rasa yang ia miliki dengan Airin berbeda. Rasa aman, lega, dan tenang melangkah ke depan, sebagai sahabat yang selalu ada, belum dimiliki pada diri Zahra.”Pasangan muda yang baru saja ‘berbaikan’ kemarin itu sibuk menata perabot yang baru datang dari mobil pick up di depan rumah mereka. Candaan dan saling melempar godaan tak henti keluar dari mulut mereka.Sungguh begitu beruntung jika diberi kesempatan untuk hidup bersama dengan orang yang sudah lama kita kenal. Ada banyak yang sudah kita ketahui tentang orang tersebut, dan pula banyak alasan untuk memahami sifatnya yang membuat kita cepat luluh.Situasi yang sama terjadi pada Raihan dan Airin.
Rumah baru Airin dan Raihan, atau lebih tepatnya adalah rumah yang sebelumnya disiapkan Raihan untuknya dan Zahra, terletak agak jauh dari rumah orang tua Raihan, tapi lebih dekat ke tempat kerja mereka.Hanya perlu berjalan kaki melewati 2 lampu merah untuk sampai ke tempat kerja Raihan, dan satu kali naik metromini ke tempat kerja Airin. Memang, rumah ini terletak di perumahan elit yang rimbun di tengah kota metropolitan.Mobil bisa langsung masuk ke depan lobi dan menurunkan penumpang tepat di depan teras yang bernuansa warm white itu. Setelah insiden sofa tadi siang, Raihan malas membangkitkan dirinya untuk beraktivitas. Dia lebih suka seperti saat ini, berbaring, melihat Airin mondar-mandiri di depannya. Apalagi ia sedang dicampakkan, maka makin semangat ia mencari
Sinar matahari pagi mencoba masuk di sela-sela kelambu yang masih tertutup rapat. Mencoba mengingatkan dua insan yang saling berangkulan di atas ranjang bertutup selimut warna soft blue itu agar segera bangun dan memulai hari mereka.Tapi apalah daya, tidak ada satupun dari mereka yang berkutik atas peringatan mentari pagi. Wajar saja, mungkin mereka kelelahan oleh aktivitas yang seharian tanpa henti di kemarin hari. Pagi hingga petang, Raihan dan Airin disibukkan dengan urusan perpindahan rumah, perabot, hingga mengunjungi orang-orang penting di komplek perumahan mereka untuk sekedar bertegur sapa.Bukan dengan maksud tertentu, hanya saja agar mereka bisa full seharian tidur dan berbaring
Benar saja.Saat ini, mereka berakhir di atas Sofa dengan Raihan yang bertelanjang dada, dan Airin yang memakai oblong longgar milir Raihan.Flashback Dua Jam yang LaluRaihan mengeratkan pelukan Airin, lalu membawa gadis itu ke atas pangkuannya. Dia semakin membenamkan kepalanya di ceruk leher bawah Airin dan mencari kehangatan di sana. Setiap kepalanya bergelut dengan keadaan yang memaksanya harus menerima semuanya, pelukan dan sentuhan fisik Airin selalu menjadi obat yang paling manjur untuk mengembalikan kesadaran dan tekanan darahnya.Tangan pria itu mencari celah di bawah kaos yang Airin kenakan, mencoba menerobos masuk menyentuh kulit yang sudah memanas mengikuti keadaan di antara mereka sekarang. Sang empunya hanya bisa mengeratkan dek
Airin bangkit, wajahnya memanas melihat ekspresi Raihan yang mencoba mengalihkan pandangan dari tubuhnya yang nyaris telanjang jika kain yang menutup itu bergeser lagi. “Kayak lo belom lihat semua, aja!” Ucap Airin mencoba santai.Raihan menyetujui pernyataan Airin barusan. Dia toh sudah melihat setiap lekuk tubuh sahabatnya itu. Setelahnya, badan Raihan masuk di sela-sela kaki Airin yang membuat wanita itu memelukkan kakinya di pinggang Raihan. Airin yang awalnya kaget, mencoba menetralisir rasa malu dan salah tingkahnya, seperti yang ia katakan, Raihan sudah lihat semuanya.
“Can we continue to the next discussion topic?” Ucap Airin di tengan-tengan saat Raihan ‘belajar’ memeluknya. “Hmm..” Raihan melepaskan rengkuhannya lalu mengeratkan dress yang asal dililitkan untuk membantu menutupi pinggang Airin.Mereka berdua duduk di sofa. Raihan memandangi netra teduh yang tak pernah ia bosan menatap selama 20 tahun terakhir. Ia tidak tahu ini bagian dari bab pembelajaran untuk menerima takdirnya yang baru bersama Airin, atau hanya nafsu yang sekedar lewat lalu tak pernah permisi untuk pergi.Netra itu, tempa