“Jangan, aku gak mau!” pekik Elya menahan tubuhnya saat Bariqi menyeretnya masuk ke sebuah hotel.“Ayo, Elya!” ajak Bariqi menarik paksa tangan kekasihnya, tetapi Elya terus menahan tubuhnya.“Aku nggak mau, Mas. Nggak mau masuk,” kata Elya merengek.“Ini sudah malam, sudah saatnya kita istirahat,” ujar Bariqi.“Tapi nggak mau di hotel.” Elya merengek, bahkan gadis itu sudah hampir menangis.Sepasang suami istri itu sedang menjadi bahan tatapan orang-orang yang berada di lobi hotel. Tidak terkecuali front office yang menahan tawanya sampai terdengar suara ngik-ngik dari bibirnya. Front office laki-laki itu adalah teman sekolah Bariqi. Dia jadi punya bahan untuk menistakan Bariqi di grub alumni sekolah.“Kalau nggak istirahat di hotel, mau istirahat di mana, hah?” tanya Bariqi sedikit kesal.“Ya di mana saja asal nggak di hotel,” jawab Elya.“Aku bingung kenapa kamu seperti ini, Elya. Memangnya apa yang kamu takutkan, hah?” tanya Bariqi menyentak.Elya menundukkan kepalanya, gadis itu
Malam ini Bariqi dan Elya asik memakan makanan mereka. Baik Bariqi maupun Elya sudah mandi, mereka memang bucin akut, kini baju yang mereka pakai juga baju couple. Mungkin ini definisi kesabaran yang membuahkan hasil. Dulu sebelum Bariqi resmi menjadi pacar Elya, pria itu banyak membeli baju-baju couple, dan sekarang baju itu terpakai juga."Kamu mau nyoba ini?" tanya Bariqi menunjuk bebek penyet.Elya mengangguk, lantas Bariqi langsung menyuapinya. Pun dengan Elya yang balik menyuapi Bariqi. Soal makan, dari dulu sampai sekarang Elya tidak pernah canggung. Cewek itu menghabiskan banyak makanan yang tadi dia beli.Hari ini fokus Bariqi kepada Elya. Dia hanya membuka hp saat mengunggah foto-fotonya, selebihnya hp dia mode diam. Mau terjadi keributan di dapur, Bariqi juga tidak peduli.Tiba-tiba Bariqi tersenyum penuh kepuasan. Elya yang sedang mengemut tulang bebek pun menatap bingung ke arah kekasihnya."Kenapa kamu tersenyum begitu?" tanya Elya.Bariqi semakin lebar tersenyum. "Aku b
”Gak usah mampir ke rumahku. Lebih baik kamu langsung pulang!” pinta Elya merengek.“Ya, ya! Mas, jangan ke rumahku!” pinta Elya lagi. Elya memegang tangan Bariqi dengan erat. Saat ini mereka sedang menaiki bus perjalanan ke Tulungagung.Saat menaiki bus, Bariqi harus menggendong tubuh Elya karena enggak mau naik. Elya terus merengek lebih baik langsung ke Batu saja dari pada ke Tulungagung. Namun, Bariqi tetap kukuh ingin ke Tungagung. Bariqi tidak mau membuang-buang waktunya untuk berpacaran dengan Elya, Bariqi ingin cepat menikahi gadis itu. Meski Elya masih berusia dua puluh tahun. Toh mereka sama-sama tinggal di desa, sudah wajar kalau gadis seusia Elya menikah.“Mas!” rengek Elya menduselkan kepala ke dada Bariqi.Bariqi mendorong pelan kepala Elya, “Kamu kenapa sih kayak gini? Kamu gak sayang sama aku sampai aku gak boleh ke rumah kamu?” tanya Bariqi.“Bukan maksud begitu, Mas. Tapi … ah pokoknya sulit dijelaskan,” kata Elya.“Kalau sulit dijelaskan, ya gak usah dijelaskan. Bia
Saat di kandangnya sendiri, Bariqi bagai singa yang siap mengaung kapan saja. Di dapur tempatnya bekerja, siapapun yang salah, tidak akan luput dari amukan Bariqi. Namun, saat ini Bariqi harus menciut di hadapan ibu Elya. Sejak kedatangannya, ibu Elya menatap Bariqi dengan tajam.Bariqi menjadi serba salah di sini, tetapi dia bukanlah pria cupu yang mundur begitu saja. Ibu Elya menatapnya dalam diam, membuat Bariqi menerka-nerka apa yang sebenarnya dipikirkan perempuan yang terlihat masih muda itu.Bariqi membuka bibirnya ingin berbicara, tetapi terhenti saat seorang pria paruh baya memasuki rumah.“Loh ada tamu. Teman kamu, Raf?” tanya Rahman menatap Bariqi sembari mengusung senyum.Bariqi langsung berdiri, pria itu mengulurkan tangannya pada Rahman yang langsung disambut baik oleh pria itu.“Aku pacare Elya, Pak,” ujar Bariqi memperkenalkan diri.Bariqi yakin kalau pria itu adalah ayahnya Elya. Saat bersama ayah Elya, Bariqi akan lebih sat-set, tidak peduli bila nanti Elya marah.“P
Bariqi mengetuk-ketuk ujung jari di pahanya. Suasana sangat canggung saat antara dirinya dan Elya tidak ada yang membuka suara. Bagaimana mau membuka suara, sejak tadi mood Elya tidak baik. Setelah menyiram kopi di wajah adiknya, ibu Elya mengusir Elya untuk pergi. Bahkan semua baju Elya juga dikeluarkan oleh ibunya.Ayah Elya mencegah Elya pergi, tetapi Elya pun kukuh pergi. Elya bilang akan kembali bekerja di tempat semula. Bariqi senang Elya akan berada di dekatnya lagi, tetapi di sisi lain, Bariqi sangat iba Elya harus mendapatkan perlakuan tidak baik dari ibunya.Meski Bariqi tidak merasakannya secara langsung, tetapi Bariqi tahu betul betapa sakit hatinya Elya saat diusir oleh ibunya sendiri. Kalau bisa, Bariqi menghajar ibu dan adik Elya, tetapi dia tidak bisa melakukannya karena bagaimana pun ibu Elya tetaplah orang tua.“Maafkan aku,” cicit Elya setelah lama diam.Saat ini Elya dan Bariqi tengah berada di kereta api untuk perjalanan ke Kota Batu. Sebentar lagi sampai di stasi
Sudah satu minggu Elya kembali ke tempat kerja yang semula. Namun, Elya tidak berada di bagian dapur lagi. Melainkan di bagian bar. Elya meracik minuman alkohol di bar mewah yang ada di hotel. Tugas Elya dipindah ke sana bersama Vino. Awalnya Bariqi sangat tidak setuju Elya dipindah ke sana, tetapi itu keputusan papanya yang tidak bisa diganggu gugat. Umumnya, Bar dibuka saat malam hari. Namun, berbeda kalau di hotel Sunflowers di mana Bar buka dua puluh empat jam. Siang hari juga sangat ramai pengunjung. Elya sudah mulai terbiasa dengan pekerjaan barunya. Namun, berada di bar membuat Bariqi sering ngambek. Pasalnya banyak cowok di sana yang membuat Bariqi cemburu. Apalagi teman kerja Elya adalah Vino. Di dapur, Bariqi tampak bekerja dengan semangat meski pikirannya terkadang fokus pada Elya. “Sera, semua bahan yang dibutuhkan sudah siap?” tanya Bariqi kepada Sera. “Sudah, Chef,” jawab perempuan itu dengan cekatan mendekatkan bahan-bahan makanan yang diperlukan. Bariqi langsung
Elya menatap sinis ke arah Bariqi, saat ini Bariqi dan Elya tengah kencan di sebuah cafe yang ada di tengah kota. Cafe dengan penuh lampion yang sangat indah dan estetik untuk digunakan berfoto. Namun, Elya masih saja sinis perkara tadi saat Bariqi bersama Sera.“Situ boleh cemburu sama aku, tapi aku nggak boleh cemburu sama situ,” cibir Elya sambil mencebik-cebikan bibirnya.“Huh, dasar laki-laki semaunya sendiri. Kalau cemburu saja aku kayak mau dibanting di tempat, tapi aku sendiri yang cemburu malah gak boleh. Curang banget jadi cowok,” cibir Elya lagi.Sudah setengah jam mereka nongkrong di cafe, tetapi Elya tidak kunjung berhenti nyinyir. Kejadian tadi sore, tetapi masih diungkit sampai sekarang.“Rasanya mau ganti cowok saja. Cowok yang lebih … hmppp-”Ucapan Elya terhenti saat Bariqi menjejalkan kentang ke bibir Elya. Mata Elya melotot, perempuan itu menggebrak meja dengan kencang.“Hishh … apa-apaan kamu ini!” pekik Elya setelah menelan kentangnya.“Dari pada kamu terus ribut
Bariqi menggelengkan kepalanya, dia merasa bahwa dirinya sudah gila. Hanya gadis kecil yang bahkan dilihat sekilas biasa saja, tetapi Bariqi bisa jatuh cinta sedalam ini. “Kenapa tersenyum sendiri?” tanya Putri berdiri di depan pintu kamar anaknya. Bariqi terkesiap, pria itu langsung bangun dan menatap ibunya, “Ibu, kenapa ibu masuk nggak ketuk pintu? Kalau aku sedang ganti baju bagaimana?” tanya Bariqi bertubi-tubi. “Tapi kenyataannya kamu nggak sedang ganti baju, tapi kamu sedang senyum-senyum sendirian,” jawab Putri terkekeh. Bariqi malu bukan main, pria itu menarik selimut dan menyelimuti separuh tubuhnya. Putri melangkahkan kakinya mendekati Bariqi. Perempuan paruh baya itu duduk di ranjang anaknya. Tangan lembutnya mengelus puncak kepala Bariqi. Entah kenapa tiba-tiba Putri merasa sedih. Bukan maksud apa-apa, tetapi anaknya yang dulu kecil kini sudah menjadi pria dewasa. Putri selalu ingin anaknya menikah, tetapi saat tadi Bariqi pulang mengatakan sudah melamar Elya dan ing