"Ibu yakin bisa aku tinggal beberapa hari? Jauh lho, Bu," ucapku sedikit ragu.
Jujur, aku tak tega meninggalkan ibu dengan keterbatasan yang ia miliki. Meski Afifah berjanji akan merawatnya. Namun ini begitu berat."Ibu gak apa-apa, Nduk. Tenang saja to, ada Nak Afifah yang menjaga ibu selama kamu pergi." Ibu mengelus punggung tangan ini. Memberi keyakinan jika beliau akan baik-baik saja."Ibu aman sama aku, Fat. Jangan khawatir," ucap Afifah meyakinkan diriku.Aki menghela napas lalu mengangguk meski sebuah keraguan bersemayam dalam hati. Namun aku tepis kuat perasaan itu. Mencoba meyakinkan diri bahwa semua akan baik-baik saja."Aku pamit, Bu."Aku cium punggung tangannya dengan takzim. Lalu menaiki motor Mas Sapto, lelaki yang bekerja sebagai ojek itu akan mengantarkanku ke stasiun.Kendaraan roda dua melaju menuju stasiun. Sepanjang jalan aku diam, merasakan angin malam yang menusuk tulang. Sore tadi sempat hujan hingga malam ini terasa begitu dingin.Ponsel yang ada di dalam tas berdering. Aku buka perlahan tas itu. Kali ini aku berharap Mas Toni yang menghubungi. Namun ternyata aku salah. Nama Afifah tergambar jelas di layar ponsel. Kemudian nada dering itu berhenti sebelum aku sempat mengangkat panggilannya.Aku kembali memasukkan ponsel model lawas itu ke dalam tas. Ponsel yang hanya bisa digunakan untuk menelepon dan mengirim pesan saja.Sebelum berangkat aku sempat menghubungi Mas Toni. Namun lagi-lagi nomornya tidak aktif. Entah sudah beberapa hari dia tak dapat dihubungi. Apa benar, Mas Toni memiliki wanita idaman lain? Hingga ia tega memberi cincin palsu untuk hadiah ulang tahun pernikahan kami.Dadaku bergemuruh, rasa sesak memenuhi rongga dada. Aku tak sanggup membayangkan jika semua yang dikatakan Afifah menjadi sebuah kenyataan. Pahit dan perih."Sudah sampai, Mbak Fatimah," ucap Mas Sapto membuyarkan lamunanku. Bayang Mas Toni seketika hilang, diganti stasiun yang ramai dengan orang."Makasih, ya, Mas." Aku berikan uang padanya. Lelaki itu mengangguk lalu melajukan motor meninggalkan stasiun.Aku memegangi tiket lalu memasuki kereta. Kereta itu sudah dipenuhi orang-orang. Sama sepertiku, mereka hendak pergi ke ibu kota. Mungkin mengubah nasib sama seperti Mas Toni.Aku duduk tepat di dekat kaca, menatap luar untuk menghibur hati yang tengah bingung ini."Permisi, Mbak. Boleh duduk di sini."Aku menoleh,menatap lelaki berjaket hitam duduk di sampingku. Topi, kacamata dan masker yang serba hitam membuatku sedikit ketakutan. Namun terpaksa menganggukkan kepala karena tak ingin menimbulkan keributan. Toh kursi yang ia duduki bukan milikku."Mbak sendirian?"Aku hanya mengangguk lalu kembali menatap jendela. Takut berbicara dengan orang yang baru aku kenal, apa lagi berpenampilan seperti itu. Jangan-jangan dia sindikat penculikan yang ramai diberitakan di televisi. Ih... Mengerikan."Mbak mau ke mana?" tanyanya lagi.Aku diam, pura-pura tidur agar tidak ditodong dengan pertanyaan-pertanyaan tak penting itu.Sepanjang malam aku terjaga meski kantuk datang mendera. Itu karena rasa takut yang tak juga hilang.Setelah penantian panjang aku sampai di stasiun. Aku gegas keluar, menerobos lelaki berjaket hitam itu. Berlari sudah seperti dikejar penjahat.Aku menoleh ke belakang mengawasi keberadaan lelaki misterius itu. Merasa aman, aku kembali melangkah.Berbekal alamat yang Mas Toni berikan aku pun segera ke sana. Pernah tinggal di kota ini membuatku tak terlalu bingung harus melangkah ke mana.Setelah satu jam aku sampai di alamat yang Mas Toni berikan. Semoga ini benar-benar alamatnya. Bukan alamat palsu seperti sebuah lagi yang pernah viral di jamannya.Kontrakan ini begitu ramai, jalannya sempit tapi masih dipenuhi jemuran para penghuninya. Ini salah satu alasan kebakaran di Jakarta sulit dipadamkan. Akses ke rumah yang tak bisa dilewati kendaraan roda empat.Aku tak tahu di mana rumah kontrakan Mas Toni. Dia lupa menyebutkan dengan detail. Aku pun tak bertanya karena dulu begitu percaya. Namun nyatanya dia mengkhianati kepercayaanku.Di saat kebingungan melanda, kulihat seorang ibu yang tengah sibuk menjemur pakaiannya. Akan kutanyakan alamat Mas Toni padanya."Permisi, Bu."Wanita itu menoleh, menyelisik penampilanku dari ujung kepala hingga kaki. Tatapan itu membuatku risih dan tak nyaman."Ada apa, ya? Di sini kontrakannya penuh. Cari tempat lain saja. Gak lihat noh! Penuh, kan?"Wanita itu menjawab tanpa mendengar pertanyaanku. Hingga ia salah menafsirkan kalimat yang hendak aku tanyakan."Maaf, saya bukan mau mencari kontrakan tapi mau menanyakan alamat.""O, ngomong dari tadi. Jangan diem kek patung gitu."Aku menghela napas, membiarkan rasa kesal pergi bersamaan dengan hembusan karbondioksida. Bagaimana aku mau bertanya jika ia berkata tanpa jeda. Ah, menyebalkan."Rumah Pak Toni sebelah mana, ya, Bu?""Toni pacarnya Yeni itu? Toni yang mandor bangunan itu, kan?"DEG!Jantungku seketika berhenti. Kalimat itu bagai halilintar yang menyambar hingga membuatku nyaris terkapar.Kakiku lemas seakan tak bertulang. Namun kupaksakan untuk tetap berdiri tegak."Kalau yang Toni kuli bangunan ada gak, Bu?" tanyaku memastikan.Nama Toni banyak, mungkin di sini lebih dari satu Toni."Nama Toni ya cuman itu, Mbak. Toni pacarnya Yeni. Rumahnya noh, yang paling ujung," ucapnya seraya menunjuk rumah paling ujung itu."O, makasih Bu.""Iye."Kaki kupaksakan untuk terus melangkah. Setiap langkah menimbulkan sesak yang begitu besar. Aku terus berdoa semoga lelaki itu bukan Toni suamiku. Namun jika itu benar, bagaimana? Apa aku kuat menerima kenyataan ini?Aku sudah berdiri di depan rumah bercat biru. Rumah paling ujung seperti yang ibu tadi katakan. Ragu, aku langkahkan kaki mendekat ke rumah itu.Pintu rumah itu masih tertutup rapat. Entah pemiliknya di rumah atau tidak. Namun tak ada salahnya mengetuk pintu.Tok! Tok! Tok!Aku ketuk pintu rumah itu tiga kali. Sengaja tak mengucapkan salam agar Mas Toni tak mengetahui keberadaanku di sini. Agar lelaki itu tidak bersembunyi atau kabur dari sini."Sebentar!" teriak seseorang dari dalam.Dadaku bergetar mendengar suara itu. Dia benar-benar Mas Toni, suamiku."Siapa, Mas?"Aku mengepalkan tangan mendengar suara wanita di balik pintu ini. Dadaku bergemuruh, amarah hampir meledak. Apa benar jika Mas Toni memiliki wanita lain? Apa dia orangnya?Tok! Tok!Aku kembali mengetuk pintu, kali ini jauh lebih keras dari tadi. Aku ingin tahu siapa wanita itu?"Buruan buka dulu, Mas. Nanti kita lanjutkan lagi.""Iya, aku pakai baju dulu."Lemas saat aku mendengar percakapan mereka. Mas Toni pasti sedang berbuat hal yang tidak-tidak hingga harus memakai baju segala.Astagfirullah... Kamu benar-benar gila, Mas.Tak lama pintu dibuka lebar. Mas Toni keluar hanya memakai celana pendek, dadanya mengkilat penuh dengan keringat."Fatimah," panggilnya dengan suara terbata."Siapa, Mas?"Wanita bertubuh semok itu berjalan mendekat lalu berdiri di samping suamiku."Ini kelakuan kamu di sini, Mas?""Bu... Bukan begitu, Fat. A... Aku....""Ini alasan kamu berbohong padaku, kan!"Suamiku diam, ia memilih menundukkan kepala. Merasa bersalah atau malu karena sudah tertangkap basah. "A-aku bisa jelaskan, Fat, ini gak seperti yang kamu pikirkan." Mas Toni mendekat, tapi aku mundur beberapa langkah. Jijik saat tangannya hendak menyentuhku. Tak bisa kubayangkan tangan itu yang ia gunakan untuk membelai wanita lain. Bahkan mungkin lebih dari itu. "Jangan sentuh aku, Mas! Aku muak sama kamu!" teriakku lantang. Teriakan yang sempat terlontar membuat beberapa pasang mata menatap ke arah kami. Bisik-bisik tak enak seketika menyeruak. Kami bak sebuah tontonan yang disaksikan banyak orang. Namun aku tak peduli. Biar saja seluruh dunia tahu bagaimana kelakuannya di belakangku. "Fatimah, dengarkan dulu ... Aku bisa jelaskan semuanya.""Ini, kan alasan kamu menelantarkan ibu dan memberi cincin palsu padaku. Kamu keterlaluan, Mas!""Bu-bukan begitu, Fat.""Aku benci sama kamu, Mas. Aku mau kita pisah!" Dadaku bergemuruh, tangan me
"A-apa benar yang kamu katakan, Nduk?" tanya Ibu dengan mata berkaca-kaca. Tidak lama bulir demi bulir jatuh membasahi pipinya. Ibu terisak mendengar kenyataan pahit yang baru saja aku sampaikan. "Benar, Bu. Mas Toni sudah menjatuhkan talak satu pada Fatimah.""Apa, kamu ditalak, Fat?" Afifah sudah berdiri di dekat pintu. Sorot tanda tanya tergambar jelas di sana. Sahabatku itu mendekat, rantang yang ia bawa diletakkan di atas meja."Benar kamu ditalak, Fat?" tanyanya lagi. Wanita itu seolah tak percaya dengan kalimat yang baru saja aku ucapkan. Aku menghela napas, menghilangkan sesak yang memenuhi rongga dada. Setelah cukup tenang aku mulai menceritakan semuanya. Tak ada satu pun yang aku tutup-tutupi, termasuk wanita semok yang keluar bersama Mas Toni. Bayangan kejadian itu bak batu besar yang menghimpitku. Sesak, seakan tak ada pasokan oksigen yang memenuhi rongga dada."Ya Allah, Nduk. Tolong maafkan Toni, tolong jangan berpisah, Nduk."Aku terdiam, menoleh ke arah Alisa. Sa
"Ibu," panggilku lagi. Namun ibu hanya diam membisu, perlahan tubuhnya luruh dengan punggung menempel di dinding. Bulir demi bulir jatuh membasahi pipi yang mulai keriput itu. Sudut hatiku teriris melihat tangisnya. Ibu memang hanya mertua yang tinggal bersamaku dalam atap yang sama. Namun beliau sangat menyayangiku. Tak pernah sekali pun beliau membentakku. Ibu bukan mertua jahat seperti yang digambarkan dalam sinetron atau sebuah novel. Itu yang membuatku berat meninggalkannya seorang diri di rumah ini. "Maafkan Fatimah, Bu." Aku peluk tubuh rentanya. Wanita itu semakin terisak dalam dekapanku. "Pergilah, Nduk. Ibu akan baik-baik saja. Afifah benar, kamu pantas bahagia dan kebahagiaanmu bukan di sini," ucapnya dengan suara bergetar. Aku membisu, hanya air mata yang menggambarkan isi hatiku saat ini. "Ayo bangun,Bu," ucapku seraya membantunya berdiri. Perlahan aku tuntun ibu, kubantu ia duduk di kursi kayu ruang tamu. Aku pun menjatuhkan bobot di sampingnya. Diam, kami sama-s
"Masih belum jelas, Ton?" Afifah menatapnya tajam. "Fatimah tidak bisa merawat Bu Aminah karena itu bukan tanggung jawab dia, Toni. Kamu sudah menceraikan Fatimah, mengurus Bu Aminah menjadi tugasmu bukan Fatimah," ucap Afifah kesal. Perkataan Afifah memang benar. Namun aku takut kejujuran sahabatku itu akan menyinggung juga menyakiti hati ibu. "Kalau ibu di sini bagaimana aku kerjanya?"Aku membuang napas kasar. Sebenarnya Bu Aminah itu ibu siapa? Kenapa dia begitu berat merawat ibu kandungnya sendiri? "Kalau ibu kamu di sana bagaimana Fatimah cari suaminya?" jawan Afifah kesal. "Kamu mau nikah lagi, Fat?" tanyanya seraya menatapku. Ekspresi tak rela tergambar jelas di matanya? Ah, dia lupa bahwa kalimat talak sudah keluar dari mulutnya. Atau jangan-jangan dia sedang amnesia? "Aku akan mengurus perceraian kita ke pengadilan. Kali ini aku harap kamu jangan mempersulitnya. Ingat, kamu sudah menalakku di sini."Mas Toni diam, tapi matanya kembali berkaca-kaca. Entah sandiwara sepe
"Benar itu, Fat?" Ibu menatapku tajam. Aku menghela napas, mengangguk pelan. Aku tahu ini akan terjadi, dicecar dengan pertanyaan yang tidak ada habisnya. Apa lagi perceraian ini terjadi seketika, tanpa isu. Pada kenyataannya semua yang terlihat baik belum tentu tak memiliki masalah. Mungkin masalah itu tersimpan rapat hingga tak ada seorang pun yang mengetahuinya. Seperti yang terjadi denganku. Ibu menjatuhkan bobot, dia tatap lekat netra ini. Mencari sebuah jawaban lewat sebuah tatapan. "Kenapa Toni menceraikanmu? Kamu selingkuh?" Ada yang berdenyut mendengar kata terakhir itu. "Apa aku terlihat memiliki kekasih lain, Bu?" Ibu diam. "Lihat saja penampilanku, tubuh kurus, muka kucel, dekil, dan kulit hitam. Mana ada lelaki yang mau dengan wanita sepertiku? Jika aku memiliki kekasih, mungkin penampilanku jauh lebih baik dari ini. Bahkan memiliki barang-barang mewah, tidak ponsel butut seperti ini." Aku letakkan ponsel jadul di atas meja. Ponsel keluaran lama. Sekali lempar, anji
"Fat, kamu denger aku, kan?""Denger, mau kamu apa lagi, Mas?" tanyaku kesal. "Bisa, kan kamu rawat ibu lagi? Kalau bisa aku antar ibu ke rumah."Aku membuang napas kasar, kesal. Tak habis pikir dengan ucapan yang barus saja keluar dari mulut lelaki itu. Ibu merupakan wanita yang berjuang mempertaruhkan nyawa untuk dia tapi Mas Toni justru mengabaikannya. Anak macam apa dia? "Fat... Fatimah! Kami denger aku, kan?""Maaf, Mas. Aku gak bisa, ibu bukan lagi tanggung jawabku. Aku punya kehidupan sendiri.""Tapi, Fat...."Ponsel kumatikan, lalu kuletakkan di atas kasur. Kesal menanggapi lelaki tak tahu diri seperti dia. Aku kembali ke belakang, membantu ibu menyiapkan sarapan. Lauk dan nasi sudah ditata di atas meja. Hanya sebuah meja yang menempel di tembok. Tak ada kursi seperti rumah orang-orang. Maklum saja, kami keluarga sederhana. "Makan duku, Fat.""Gak nafsu makan, Bu.""Kenapa?" Ibu menatapku penuh selidik. "Kepikiran Toni? Lelaki seperti itu gak pantas kamu pikirkan. Buang
Aku menghela napas, menahan amarah yang hampir saja meledak. Segera aku berdiri sambil membawa tas hitam model lama. Menepis rasa kesal, kuberikan seulas senyum padanya. Aku sadar apa posisiku saat ini, karyawan baru. Sejatinya mengalah bukan berarti kalah. Namun hanya tak ingin memperpanjang masalah. Aku ingin memberi kesan baik di hari pertamaku kerja. "Iya, itu hp saya," ucapku seraya menengadahkan tangan, meminta benda yang menjadi milikku. "Harusnya benda ini dibuang, bukan dipertahankan. Ketinggalan jaman," ucapnya sambil memberikan ponsel jadul milikku. Wanita yang baru saja aku lihat itu membalikkan badan, melangkah penuh keangkuhan menuju lift. Satu persatu orang yang sempat menjadi penonton pun pergi. Meninggalkan aku dengan tatapan ini. Seburuk itukah orang tak mampu di mata mereka? Tidak ambil pusing, aku kembali melanjutkan langkah menuju lantai dua. "Ara." Aku menoleh ke belakang hingga tak sengaja mata kami saling beradu. Lekas aku alihkan pandangan. "Pak Aziz."
"Mandi dulu, Fat," ucap ibu seraya menarik tanganku masuk ke dalam. "Kenapa mereka ada di sini, Bu?" tanyaku saat berada di depan pintu kamar mandi. "Mereka baru sampai lima belas menit yang lalu. Ibu belum tanya apa mau mereka."Aku menghela napas, sepertinya masalahku dengan lelaki itu belum benar-benar selesai. Entah sampai kapan ini akan berakhir. Tuhan, aku sudah lelah. "Buruan mandinya, Ibu sudah enek melihat wajah Toni. Kenapa juga dia datang ke sini. Dasar lelaki gak punya urat malu!" maki ibu seraya mengepalkan tangan. Tak lama wanitaku kembali melangkah ke ruang tamu. Dinginnya air mampu menusuk tulang. Cepat-cepat aku selesaikan ritual mandi. Karena aku sudah kedinginan. Semua orang sudah menunggu kedatanganku. Apa lagi ibu dan Mas Toni. Laki itu tak henti-hentinya menatap diri ini,hingga membuatku risih. "Fatimah sudah datang, apa yang ingin kamu katakan, Ton?" tanya bapak sambil menatap tajam ke mantan suamiku. Mas Toni diam, kegugupan tergambar jelas dari wajahnya