"A-apa benar yang kamu katakan, Nduk?" tanya Ibu dengan mata berkaca-kaca.
Tidak lama bulir demi bulir jatuh membasahi pipinya. Ibu terisak mendengar kenyataan pahit yang baru saja aku sampaikan."Benar, Bu. Mas Toni sudah menjatuhkan talak satu pada Fatimah.""Apa, kamu ditalak, Fat?" Afifah sudah berdiri di dekat pintu. Sorot tanda tanya tergambar jelas di sana.Sahabatku itu mendekat, rantang yang ia bawa diletakkan di atas meja."Benar kamu ditalak, Fat?" tanyanya lagi. Wanita itu seolah tak percaya dengan kalimat yang baru saja aku ucapkan.Aku menghela napas, menghilangkan sesak yang memenuhi rongga dada. Setelah cukup tenang aku mulai menceritakan semuanya. Tak ada satu pun yang aku tutup-tutupi, termasuk wanita semok yang keluar bersama Mas Toni.Bayangan kejadian itu bak batu besar yang menghimpitku. Sesak, seakan tak ada pasokan oksigen yang memenuhi rongga dada."Ya Allah, Nduk. Tolong maafkan Toni, tolong jangan berpisah, Nduk."Aku terdiam, menoleh ke arah Alisa. Sahabatku menggelengkan kepala. Mengisyaratkan tidak padaku."Mas Toni sudah menceraikan Fatimah, Bu. Hubungan kami sudah berakhir," ucapku dengan suara bergetar.Ibu menunduk, air mata semakin deras membanjiri pipi bahkan daster yang ia kenakan.Hening, tak ada sepatah kata yang keluar dari mulut kami. Kami sibuk dengan pikiran masing-masing."Makan dulu, Bu, Fat, kalian pasti lapar, kan?" ucap Afifah memecah keheningan yang sempat tercipta.Afifah segera ke belakang, mengambil piring dan juga minuman. Sementara aku dan ibu tenggelam dalam keheningan yang entah sampai kapan.Kecewa pasti, luka pun kian menjadi. Namun apa aku harus meratapi setiap luka yang ia beri, atau bangkit dan menerima setiap garis yang Tuhan berikan.Aku masih tak bisa berpikir bagaimana nasibku selanjutnya. Semua masih gelap ditutup awan mendung yang menyelimuti hati."Ayo, makan dulu, Fat, Bu." Afifah memindahkan nasih dan lauk yang ia bawa ke dalam piring. Kemudian memberikannya padaku dan ibu.Nasi oseng dan telur dadar, menu yang enak untuk kami. Namun kali ini terasa hambar di lidah. Kalau tidak mengingat ini pemberian Afifah pasti sudah kuletakkan.Bukan hanya aku, ibu pun sama. Beliau memasukkan nasi itu dengan enggan. Kemudian ia letakkan piring itu di kursi sebelahnya."Bagaimana rencana kamu selanjutnya, Fat?" tanya Afifah.Lagi-lagi aku membisu, tak tahu harus menjawab apa. Sejujurnya aku ingin pergi, tapi melihat ibu membuat rasa tak tega menyelimuti hati dan logika.Ah, wanita selalu tenggelam dalam perasaan hingga tak sanggup membuat keputusan. Sering kali penyesalan muncul di akhir cerita karena tak mengedepankan logika."Aku lelah, Fah. Ingin segera istirahat. Piring kotornya kamu letakkan saja di belakang, biar nanti aku bersihkan."Aku pun beranjak, meninggalkan ibu dan Afifah yang mematung menatap kepergianku.Pintu kamar kubuka, untuk sesaat aku mematung, menatap setiap sudut ruangan ini. Dulu di tempat ini aku dan Mas Toni memadu kasih. Berbagi suka dan duka bersama. Namun kini semua tinggal kenangan. Hilang bersama luka yang tertancap di sanubari.Aku letakkan tas di lantai yang hanya dicor semen. Lalu merebahkan tubuh di atas ranjang, aku coba memejamkan mata tetapi tak bisa. Bayang Mas Toni dan wanita itu kembali hadir, lagi-lagi menyesakkan rongga dada. Perlahan bulir demi bulir jatuh membasahi pipi. Aku terisak, menangisi nasib yang Tuhan gariskan.***Sudah dua hari aku diam, tenggelam dalam luka yang mereka ciptakan. Semua rutinitas selalu aku kerjakan tetapi dalam kebisuan. Entah kenapa mulut ini kelu, enggan mengeluarkan sebuah kata sekali pun."Kamu masak apa, Nduk?" tanya Ibu. Dibantu tongkat kayu ibu berjalan mendekat ke arahku."Fatimah masak semur tahu, Bu," jawabku kemudian kembali diam.Sayur yang sudah matang kuletakkan di atas meja makan. Aku biarkan terbuka hingga panas itu menghilang disapu angin. Masakan yang panas akan mudah basi jika langsung ditutup. Itu yang ibu katakan dulu, sebelum aku menikah dengan Mas Toni.Setelah selesai masak aku kembali berjalan ke kamar, meninggalkan Ibu yang masih duduk di kursi dekat meja."Fatimah," panggilnya pelan.Aku hentikan langkah kaki, dengan gontai aku berjalan kembali ke tempat ibu duduk. Wanita itu menoleh ke kanan dan kiri, seolah mencari keberadaanku."Ada apa, Bu?" tanyaku datar.Wanita itu menghela napas, tangannya meraba, mencari keberadaanku. Lalu berhenti saat jemarinya menggenggam tanganku."Apa kamu akan meninggalkan ibu, Nduk?" tanyanya pelan. Namun aku tahu ia tengah menahan air mata.Aku membisu, mulut ini terasa kelu. Kata iya seolah berat terlepas dari lidah.Bagaimana nasib ibu jika aku pergi?Lagi-lagi pertanyaan itu yang memenuhi kepalaku. Aku tak sanggup membiarkan ibu tinggal seorang diri dengan keterbatasan yang ia miliki."Kenapa diam, Nduk? Benar, to, kamu akan meninggalkan ibu," ucapnya dengan air mata jatuh membasahi pipi.Bukan perpisahan dengan Mas Toni yang berat. Namun meninggalkan ibu seorang diri jauh lebih menyiksa hati."Fatimah belum memikirkan itu, Bu. Fatimah belum bisa menjawab pertanyaan ibu," jawabku pelan.Wanita itu terdiam, kemudian mempererat genggaman tangannya."Bawa ibu bersamamu, Nduk. Ibu tidak ingin tinggal bersama Toni. Ibu sudah tidak mengakuinya sebagai anak. Dia bukan anak ibu lagi.""Akan Fatimah pikirkan nanti, Bu."Perlahan ibu lepas genggaman tangannya. Wanita itu meraba kanan kiri lalu melangkah pergi.Terlalu lama diam termenung membuat waktu berjalan begitu lambat. Bosan, aku pun pergi keluar. Berdiri di teras sambil menatap sekitar. Rumput di halaman sudah tumbuh di sana sini, meski baru setinggi mata kaki. Namun kehadirannya cukup menganggu pemandangan.Aku jongkok sambil mencabuti rumput liar yang memenuhi halaman. Merawat ibu memang menguras waktu dan tenaga. Hingga lupa untuk mencabut rumput yang terlanjur tumbuh subur.Rumput ini bagai cintaku, yang tumbuh subur tetapi tidak dihargai. Lalu akhirnya mati. Ah, nasib memang tidak ada yang tahu."Eh,Mbak Fatimah, masih di sini saja. Bukannya sudah diceraikan sama Mas Toni, ya? Gak cantik sih, makannya suami lari. Denger-denger sekarang jadi mandor, ya?"Rumput yang ada di tangan kuremas, kesal. Heran, siapa yang memberitahu Tanti masalah ini. Tak mungkin kabar itu datang seiring hembusan angin. Hal mustahil yang tak mungkin terjadi."Sudah ngomongnya, Tan? Pengen mulutnya seperti rumput ini?" Aku remas rumput itu hingga jatuh dari tangan.Wanita itu bergidik, berlari meninggalkan rumahku. Ada-ada saja tingkahnya. Andai dia menjadi aku, pasti sudah bunuh diri karena depresi.Aku lanjutkan kembali mencabut rumput. Sesekali kuhapus keringat yang menempel di dahi."Ngapain, Fat?"Aku menoleh, Afifah sudah berdiri di belakangku."Nyabut rumput, Fah. Ada apa?""Ada yang ingin aku tanyakan," ucapnya.Aku berdiri lalu mencuci tangan yang kotor penuh dengan tanah."Ada apa?" tanyaku setelah kami duduk di teras."Kamu mau tetap tinggal di sini, Fat? Toni sudah menceraikan kamu, lho. Apa tidak sebaiknya kamu pergi dari sini?""Tapi bagaimana dengan ibu?""Dia bukan tanggung jawab kamu, Fat.""Tapi aku gak tega, Fah.""Aku tidak mau kamu terus memikirkan lelaki brengs*k itu. Aku gak mau kamu terluka, Fat.""Tapi ....""Pergilah, Nduk. Jangan pikirkan ibu.""Ibu." Seketika kami menoleh ke arah pintu, ibu sudah berdiri dengan tatapan sendu."Ibu," panggilku lagi. Namun ibu hanya diam membisu, perlahan tubuhnya luruh dengan punggung menempel di dinding. Bulir demi bulir jatuh membasahi pipi yang mulai keriput itu. Sudut hatiku teriris melihat tangisnya. Ibu memang hanya mertua yang tinggal bersamaku dalam atap yang sama. Namun beliau sangat menyayangiku. Tak pernah sekali pun beliau membentakku. Ibu bukan mertua jahat seperti yang digambarkan dalam sinetron atau sebuah novel. Itu yang membuatku berat meninggalkannya seorang diri di rumah ini. "Maafkan Fatimah, Bu." Aku peluk tubuh rentanya. Wanita itu semakin terisak dalam dekapanku. "Pergilah, Nduk. Ibu akan baik-baik saja. Afifah benar, kamu pantas bahagia dan kebahagiaanmu bukan di sini," ucapnya dengan suara bergetar. Aku membisu, hanya air mata yang menggambarkan isi hatiku saat ini. "Ayo bangun,Bu," ucapku seraya membantunya berdiri. Perlahan aku tuntun ibu, kubantu ia duduk di kursi kayu ruang tamu. Aku pun menjatuhkan bobot di sampingnya. Diam, kami sama-s
"Masih belum jelas, Ton?" Afifah menatapnya tajam. "Fatimah tidak bisa merawat Bu Aminah karena itu bukan tanggung jawab dia, Toni. Kamu sudah menceraikan Fatimah, mengurus Bu Aminah menjadi tugasmu bukan Fatimah," ucap Afifah kesal. Perkataan Afifah memang benar. Namun aku takut kejujuran sahabatku itu akan menyinggung juga menyakiti hati ibu. "Kalau ibu di sini bagaimana aku kerjanya?"Aku membuang napas kasar. Sebenarnya Bu Aminah itu ibu siapa? Kenapa dia begitu berat merawat ibu kandungnya sendiri? "Kalau ibu kamu di sana bagaimana Fatimah cari suaminya?" jawan Afifah kesal. "Kamu mau nikah lagi, Fat?" tanyanya seraya menatapku. Ekspresi tak rela tergambar jelas di matanya? Ah, dia lupa bahwa kalimat talak sudah keluar dari mulutnya. Atau jangan-jangan dia sedang amnesia? "Aku akan mengurus perceraian kita ke pengadilan. Kali ini aku harap kamu jangan mempersulitnya. Ingat, kamu sudah menalakku di sini."Mas Toni diam, tapi matanya kembali berkaca-kaca. Entah sandiwara sepe
"Benar itu, Fat?" Ibu menatapku tajam. Aku menghela napas, mengangguk pelan. Aku tahu ini akan terjadi, dicecar dengan pertanyaan yang tidak ada habisnya. Apa lagi perceraian ini terjadi seketika, tanpa isu. Pada kenyataannya semua yang terlihat baik belum tentu tak memiliki masalah. Mungkin masalah itu tersimpan rapat hingga tak ada seorang pun yang mengetahuinya. Seperti yang terjadi denganku. Ibu menjatuhkan bobot, dia tatap lekat netra ini. Mencari sebuah jawaban lewat sebuah tatapan. "Kenapa Toni menceraikanmu? Kamu selingkuh?" Ada yang berdenyut mendengar kata terakhir itu. "Apa aku terlihat memiliki kekasih lain, Bu?" Ibu diam. "Lihat saja penampilanku, tubuh kurus, muka kucel, dekil, dan kulit hitam. Mana ada lelaki yang mau dengan wanita sepertiku? Jika aku memiliki kekasih, mungkin penampilanku jauh lebih baik dari ini. Bahkan memiliki barang-barang mewah, tidak ponsel butut seperti ini." Aku letakkan ponsel jadul di atas meja. Ponsel keluaran lama. Sekali lempar, anji
"Fat, kamu denger aku, kan?""Denger, mau kamu apa lagi, Mas?" tanyaku kesal. "Bisa, kan kamu rawat ibu lagi? Kalau bisa aku antar ibu ke rumah."Aku membuang napas kasar, kesal. Tak habis pikir dengan ucapan yang barus saja keluar dari mulut lelaki itu. Ibu merupakan wanita yang berjuang mempertaruhkan nyawa untuk dia tapi Mas Toni justru mengabaikannya. Anak macam apa dia? "Fat... Fatimah! Kami denger aku, kan?""Maaf, Mas. Aku gak bisa, ibu bukan lagi tanggung jawabku. Aku punya kehidupan sendiri.""Tapi, Fat...."Ponsel kumatikan, lalu kuletakkan di atas kasur. Kesal menanggapi lelaki tak tahu diri seperti dia. Aku kembali ke belakang, membantu ibu menyiapkan sarapan. Lauk dan nasi sudah ditata di atas meja. Hanya sebuah meja yang menempel di tembok. Tak ada kursi seperti rumah orang-orang. Maklum saja, kami keluarga sederhana. "Makan duku, Fat.""Gak nafsu makan, Bu.""Kenapa?" Ibu menatapku penuh selidik. "Kepikiran Toni? Lelaki seperti itu gak pantas kamu pikirkan. Buang
Aku menghela napas, menahan amarah yang hampir saja meledak. Segera aku berdiri sambil membawa tas hitam model lama. Menepis rasa kesal, kuberikan seulas senyum padanya. Aku sadar apa posisiku saat ini, karyawan baru. Sejatinya mengalah bukan berarti kalah. Namun hanya tak ingin memperpanjang masalah. Aku ingin memberi kesan baik di hari pertamaku kerja. "Iya, itu hp saya," ucapku seraya menengadahkan tangan, meminta benda yang menjadi milikku. "Harusnya benda ini dibuang, bukan dipertahankan. Ketinggalan jaman," ucapnya sambil memberikan ponsel jadul milikku. Wanita yang baru saja aku lihat itu membalikkan badan, melangkah penuh keangkuhan menuju lift. Satu persatu orang yang sempat menjadi penonton pun pergi. Meninggalkan aku dengan tatapan ini. Seburuk itukah orang tak mampu di mata mereka? Tidak ambil pusing, aku kembali melanjutkan langkah menuju lantai dua. "Ara." Aku menoleh ke belakang hingga tak sengaja mata kami saling beradu. Lekas aku alihkan pandangan. "Pak Aziz."
"Mandi dulu, Fat," ucap ibu seraya menarik tanganku masuk ke dalam. "Kenapa mereka ada di sini, Bu?" tanyaku saat berada di depan pintu kamar mandi. "Mereka baru sampai lima belas menit yang lalu. Ibu belum tanya apa mau mereka."Aku menghela napas, sepertinya masalahku dengan lelaki itu belum benar-benar selesai. Entah sampai kapan ini akan berakhir. Tuhan, aku sudah lelah. "Buruan mandinya, Ibu sudah enek melihat wajah Toni. Kenapa juga dia datang ke sini. Dasar lelaki gak punya urat malu!" maki ibu seraya mengepalkan tangan. Tak lama wanitaku kembali melangkah ke ruang tamu. Dinginnya air mampu menusuk tulang. Cepat-cepat aku selesaikan ritual mandi. Karena aku sudah kedinginan. Semua orang sudah menunggu kedatanganku. Apa lagi ibu dan Mas Toni. Laki itu tak henti-hentinya menatap diri ini,hingga membuatku risih. "Fatimah sudah datang, apa yang ingin kamu katakan, Ton?" tanya bapak sambil menatap tajam ke mantan suamiku. Mas Toni diam, kegugupan tergambar jelas dari wajahnya
Sesaat kami terdiam, saling pandang, seolah waktu berhenti berjalan. Ini seperti adegan dalam drama yang sering kali kutonton. Kemudian aku tersadar, beranjak dengan cepat. "Ma--maaf, Pak," ucapku tak enak hati. Pak Aziz beranjak lalu membersihkan kemeja yang kotor karena terkena bekas air hujan. Lumpur mengenai beberapa bagian kemeja berwana biru laut itu. Warna pakaian pun berubah menjadi kecoklatan. "Aduh,maaf, Pak. Gara-gara saya pakaian Pak Aziz jadi seperti ini." Aku menundukkan kepala, rasa bersalah menyeruak memenuhi rongga dada. "Kamu tak apa-apa, Ara? Tidak ada yang terluka, kan?" tanyanya seraya menatapku dari atas hingga ke bawah. "Saya tidak kenapa-napa, Pak.""Saya benar-benar minta maaf, Pak." Lagi aku menundukkan kepala. "Kamu gak salah, kenapa harus meminta maaf?""Gak minta maaf gimana, sih, Mas? Gara-gara dia, kamu jadi seperti ini? Kotor di mana-mana. Harusnya dia ganti rugi, bukan cuman minta maaf," ucap wanita itu seraya melangkah mendekat ke arah kami. W
"Kenapa diam, Ra? Pertanyaanku salah?" Pak Aziz melirik ke arahku. Aku menelan ludah dengan susah payah. Tanpa diminta sesak itu kembali hadir. Ternyata melupakan luka tak semudah mengeluarkan kata. Berat. Semua orang menginginkan pernikahan sekali seumur hidup. Membangun istana kecil yang dilandasi dengan kebahagiaan. Namun apa mau dikata jika pada akhirnya istana itu roboh karena kehadiran selir. Aku bukan lagi wanita satu-satunya untuk seorang raja. Pernikahan kami hancur karena orang ketiga. "Ara, kenapa diam?" tanyanya lagi karena aku memilih membisu. "Ibu Aminah bukan lagi menjadi tanggung jawab saya, Pak.""Apa maksud kamu?" Pak Aziz kembali melirikku. Lalu fokus ke depan saat traffic light berubah menjadi hijau. "Mas Toni menceraikanku, Pak. Dia lebih memilih wanita lain dari pada aku, istrinya."CIIITTTTubuhku terdorong ke depan saat Pak Aziz menginjak pedal gas dengan tiba-tiba. Kepalaku nyaris membentur bagian depan mobil ini. Untung dengan cepat tangan menutup wajah.