“Aku akan pergi membawa Bian untuk imunisasi,” kata Nora sambil memasukan keperluan Bian ke dalam tasnya. “Apakah perlu ku antar?” tanya Tomi sambil memakai dasi di lehernya. “Tidak usah, aku bersama Sumi saja, SIM ku kan sudah jadi kemarin,” jawab Nora tersenyum sambil menunjukan SIM yang baru dia dapatkan kemarin sore. “Bagaimana kalau besok kita beli mobil baru untukmu,” kata Tomi sambil mencium kening Nora. “Tidak usah, lagipula mobil itu masih sangat bagus kok,” jawab Nora lagi. Mobil yang di kirimkan kantor Tomi untuk Nora belajar masih terparkir manis di halaman mereka, bagi Nora mobil itu sudah sangat bagus untuknya, jadi dia pikir tidak perlu membelinya lagi, hanya buang-buang uang saja. “Itu kan mobil kantor, lagi pula pembelian empat tahun yang lalu, pokoknay besok kita pergi ke dealer mobil dan beli satu untukmu dan Bian,” kata Tomi lagi. “Kau hanya membuang-buang uang mas,’ kata Nora. “Aku pemimpin perusahaan besar Nora, beli mobil tidak membuang uangku,”
Nora sampai di rumah saat sore hari, dia sudah membeli bahan makanan setelah dari rumah sakit, sepanjang perjalanan dia memikirkan perkataan Tomi tentang kedatangan Adeline nanti malam ke rumah mereka, Setelah dia memastikan Bian sudah tertidur di kamarnya dan Sumi yang segera membereskan belanjaan di dapur, Nora berjalan ke kamarnya, dia duduk di pinggir tempat tidur lalu membuka laci di sampingnya, Nora mengeluarkan dua lembar foto yang di berikan Adeline padanya tempo hari, “Haruskah aku mengatakannya pada mas Tomi?” kata Nora pelan. “Mengatakan apa sayang?” tiba-tiba suara Tomi mengagetkan Nora sehingga foto-foto tersebut terjatuh di lantai, Nora spontan menoleh ke arah Tomi yang sedang berdiri di depan pintu. “Sejak kapan kau berdiri di sana?” tanya Nora dnegan wajah terkejut. “Baru saja, kau sedang melihat apa?” tanya Tomi sambil berjalan mendekat. Nora langsung buru-buru mengambil foto Adeline yang terjatuh di lantai, namun tangan Tomi sudah lebih dulu meraihnya, Tomi m
“Apa ini?” tanya Tomi pada Adeline yang duudk di hadapannya sambil menyodorkan sebuah foto yang dia dapatkan dari Nora. Adeline menelan ludahnya, dia terdiam sejenak, “Maafkan aku, aku tidak bermaksud apa-apa, aku hanya ingin memberitahumu, tapi aku rasa sudah terlambat karena aku mendnegar pernikahan kalian,” jawab Adeline. “Aku hanya ingin kau memberitahuku yang terjadi Adeline, kenapa bisa ada foto ini?” tanya Tomi lagi hati-hati. Adeline menundukan kepalanya, dia menghela napas lalu menatap Tomi, “Maafkan aku, aku benar-benar minta maaf, tidak bisa menjaganya,” kata Adeline. “Apa kau ingat saat aku mengatakan ingin pergi ke Paris?” tanya Adeline, “Bahkan aku masih mengingat wajahmu saat itu,” kata Adeline sambil tersenyum tipis, namun matanya terlihat sekali memendam kesunyian. Tomi mengangguk, “Iya, saat itu aku tidak bisa mengatakan apa-apa, karena aku harus menghadiri rapat penting,” jawab Tomi. Adeline tersneyum lagi, “Kau saat itu terlihat sangat tampan, kau s
“Apakah semua sudah siap?” kata Dion pada Adeline. Adeline masih saja duduk menatap sebuah lukisan yang terpampang di dinding apartemennya di Sydney, “Sudah,” jawabnya sambil mengangguk. “Kenapa kita harus berangkat sangat awal sekali?” tanya Dion lagi. Adeline menatap mata Dion, “Entahlah, aku tidak ingin lebih lama lagi di sini,” jawab Adeline. Tapi pesawat kita akan berangkat pukul empat sore nanti, dan ini baru pukul..,” kata Dion sambil melihat jam di tangannya. “Sebelas siang,” kata Dion lagi. “Aku tahu, tenanglah, banyak yang bisa kita lakukan di bandara,” kata Adeline sambil berdiri dan berjalan menggiring kopernya keluar di ikuti Dion. Mereka berdua mamasuki taksi yang sudah menunggu di lobby apartement dari sepuluh menit yang lalu, Adeline mengatakan kepada supir taksi untuk membawa mereka ke bandara, sepanjang perjalanan Adeline tidak pernah mengatakan apapun, bahkan setelah pulang dari rumah Nora dan Tomi, Adeline tidak membicarakan apapun pada Dion.
Tomi mengendarai mobilnya menuju rumah, dia masih bisa membayangkan wajah Adeline yang tertunduk saat dia pergi meninggalkan acces lounge di bandara tadi, entah mengapa perasaannya tidak menentu, perpisahannya dengan Adeline sudah berlalu empat tahun yang lalu, meskipun saat itu Tomi masih mengharapkan Adeline namun dia mencoba menerima kenyataan dan membuah semua perasaannya pada Adeline, dan untuk membuka hatinya kembali dia harus melewati waktu yang tak pendek, hingga dia bertemu dengan Nora. “Seharusnya aku tidak merasa seperti ini, ada Nora di sampingku sekarang,” kata Tomi dalam hati. “Namun, Adeline mengandung anakku, meskipun dia tidak terlahir ke dunia,” batin Tomi lagi dalam hati sambil memukul setir mobil, Tomi menginjak gas dalam-dalam. Jalanan sangat lengang kala itu, namun mendung sudah menemani sejak Tomi keluar dari pintu bandara, dia menepikan mobilnya ke salah satu coffee shop di jalan Orchad St, dan memesan satu capucinno, Tomi memilih duduk di luar ked
“Tring..tring..tring,” Nora mengambil ponselnya yang berdering tanpa henti, dia melihat nama di layar ponselnya, namun raut wajahnya seketika berubah. “Pak Hendra Winata meninggal Nora,” kata Ayahnya di seberang sana. Nora terdiam sejenak sebelum menjawab perkataan ayahnya, dia memainkan ujung bajunya, tidak terasa sudah hampir dua tahun dia pergi dari Jakarta dan menetap di Sydney, dan kini dia harus kembali karena mantan mertuanya yaitu ayahnya Tian telah meninggal dunia. “Ayah dimana sekarang?” tanya Nora sambil mendudukan tubuhnya di samping Kasur. “Ayah baru saja sampai di Jakarta, pulanglah nduk, bagaimanapun dia sangat menyayangimu, singkirkan masalahmu dengan Tian, ya,” kata ayahnya, Nora terdiam lagi. “Nora bicarakan dulu dengan mas Tomi ya pak,” kata Nora lalu menyudahi pembicaraan dengan ayahnya. “Ada apa? siapa yang barusan menelepon?” Tomi tiba-tiba berdiri di depan pintu kamarnya. Nora menoleh, “Ayah,” jawabnya. Tomi berjalan mendekati Nora, lalu duudk di
Tian berjalan menyusuri lorong rumah sakit dengan terburu-buru, Almeera mengikutinya di belakang, “Apakah kamu harus ikut juga? Ayah masih sangat marah padaku,” kata Tian setengah berlari menuju ruang ICU. “Aku tidak akan mendekati keluargamu, aku akan melihat saja dari jauh,” jawab Almeera. Tian tidak ada waktu untuk protes pada Almeera, saat dia memberitahukan bahwa ayahnya masuk ruang ICU, Almeera memaksa untuk ikut dengannya ke rumah sakit. “Kau tunggu disini saja, ruang ICU di sana, sudah ada ibuku dan adikku, jangan sampai mereka melihatmu,” kata Tian, lalu berjalan menujur ruang ICU meninggalkan Almeera di ruang tunggu tamu. “Huh, kalau saja Tian tidak menikah dengan Nora, aku sudah menjadi bagian keluarga mereka, dan tidak perlu sembunyi disini,” kata Almeera dalam hati dengan kesal. “Bagaimana keadaan ayah?” tanya Tian pada ibunya yang terlihat duduk dengan wajah penuh ke khawatiran. “Menurutmu bagaimana?bisa-bisanya kau melakukan itu kepada ayahmu,” jawab ibunya
“Seperti yang kau tahu, pacarku hamil,” kata Tian sambil menyilangkan kedua tangannya di dada, wajahnya terlihat sangat lelah, Tyas tidak pernah melihat kakaknya seperti itu, dia masih ingat dulu, Tian pernah bicara bahwa dia akan mengakhiri hubungannya dengan Almeera, tapi kenapa sekarang ceritanya berbeda. “Bukankah kau pernah bilang, bahwa kau akan meninggalkan pacarmu itu,” kata Tyas, sambil melihat kea rah luar, dia tahu Almeera dari tadi menunggu di sana. “ Entahlah, aku hanya tidak bisa, karena dia hamil saat itu,” jawab Tian. “Lalu kenapa kau harus menceraikan Nora? bukan Nora yang harus keluar dari rumah itu, tapi wanita itu yang seharusnya tak datang ke sana,” kata Tyas dengan nada sedikit meninggi sambil menunjuk kea rah tempat Almeera menunggu, Tian terkejut, bagaimana bisa Tyas tahu ada Almeera di sana. “Kau kira aku tidak tahu wanita itu ada di sana dari tadi, menunggumu seperti orang bodoh,” kata Tyas, dia tidak peduli bila Tian marah kepadanya, usia mereka hany