“Aku sudah menyuruh sekretarisku mengurus semua tiket kepulanganmu, sekarang kau ikut denganku!” kata Tian. “Ikut denganmu?Kemana?” tanya Nora, Tian bisa melihat ketakutan dalam mata Tian, dia tersenyum sinis. “Lucu sekali, kau terlihat takut saat suamimu mengajakmu pergi, tapi kau bisa dengan santai pergi dengan laki-laki lain tanpa ragu-ragu,” kata Tian. “Bukan begitu maksudku,” jawab Nora, dia tidak tahu lagi harus bicara apa, setiap kata-kata yang dia keluarkan selalu salah di mata Tian. “Ikut denganku ke hotelku, aku tidak menginap disini, tapi di hotel lain, dan sudahs eharusnya kau ikut denganku,” kata Tian yang menatap Nora dengan dingin. “Baiklah, aku akan memberskan barang-barangku,” kata Nora sambil berdiri. “Tidak usah, tinggalkan saja, aku sudah menyuruh orang untuk membereskannya dan mengantarnya ke hotel,” kata Tian sambil menarik tangan Nora. Nora dan Tian berdiri di lobby hotel, wajah Nora yang hanya tertunduk memandangi ponselnya berdiri di b
Nora terdiam sepanjang jalan, dia masih mencerna perkataan Tian, seakan di sambar petir di siang bolong, Nora tidak percaya bahwa Tian akan menceraikannya, Tian tidak bertanya apapun mengenai kepergiannya berlibur dengan Tomi, Nora merasa lebih baik Tian membentaknya dan memarahinya dari pada diam seperti ini dan ingin menceraikannya. “Istirahatlah, besok kita berangkat jam delapan pagi,” kata Tian setelah mereka sampai di hotel. Nora menurut, dia hanya mengangguk tanpa mengatakan sepatah katapun, dia tidak berani menatap mata Tian, wajah Nora telihat lesu, sekuat tenaga dia menahan air matanya tumpah. Nora masuk ke kamar tidurnya, Tian menyewa kamar suite dengan dua kamar tidur, Nora mengurung dirinya di kamar, ponselnya dia biarkan tergeletak di samping tempat tidurnya, sesekali dia melihat layar ponselnya, Tomi, Dion dan Adeline bersamaan mengirimkan pesan untuknya, namun Nora hanya menarik selimutnya, mencoba memejamkan matanya, lelahnya sudah di titik terendah. “Apakah
Nora dan Tian berangkat menuju Jakarta pukul sepuluh pagi, perjalanan tiga jam di dalam pesawat mereka habiskan dengan pikiran masing-masing, Nora tidam bertanya sepatah katapun pada Tian, begitupun sebaliknya, dalam pikiran Tian dia masih membayangkan wajah Nora semalam, namun dalam pikiran Nora dia berusaha tidak melibatkan Tian di dalamnya, Nora masih belum berani menatap mata Tian setelah yang dilakukannya pada Tian semalam. Sore hari, Nora dan Tian sampai di rumah mereka, di depan pintu terlihat Almeera berdiri menunggu kedatangan mereka berdua, Nora tidak memperdulikan Almeera yang berdiri di hadapannya, dia langsung masuk dan menuju ke kamarnya. “Bagaimana bisa dia melewatiku begitu saja?” tanya Almeera pada Tian. “Sudahlah, mungkin dia lelah,” jawab Tian singkat. Almeera menghela napas, “Padahal aku sudah berniat baik menyambutnya pulang,” kata Almeera ketus. Tian hanya menoleh sebentar ke arah Almeera, lau naik ke lantai atas, “Aku ingin istirahat,” katanya pada
Tian masih memandang Nora yang berdiri di depan pintu kamarnya, kata-kata yang di lontarkan Nora barusan entah mengapa seakan menusuk hati Tian, “Menghargai?” batin Tian, “Beberapa jam lalu padahal dia masih di sana dengan pria lain,” kata Tian lagi dalam hati. “Kita bicara di luar,” kata Tian sambil melangkah keluar, Nora tidak mengerti apa yang Tian lakukan. “Aku ikut,” kata Almeera, memandang Nora sambil tersenyum sinis. “Aku mau berbicara empat mata dengan Nora, kamu tunggulah di kamar,” kata Tian tegas pada Almeera. Almeera menghentikan langkahnya, dia mengerucutkan bibirnya, dan berbalik masuk ke kamar, pintu kamar di tutup keras oleh Almeera membuat Nora sedikit terkejut. “Mengapa tidak disini saja bicaranya,”kata Nora dengan nada yang sedikit kesal. “Turunlah, akum au bicara empat mata denganmu,” kata Tian yang melangkah pergi, Nota mengikutinya di belakang. Tian dan Nora duduk berhadapan di ruang depan, Tian diam sejenak sebelum berbicara pada Nora. “A
Almeera menatap tajam kepada Nora yang berdiri dengan wajah sama terkejutnya dengan dirinya, kepalanya berpikir cepat dan keras untuk menemukan jalan keluar akibat dari kebohongannya. Almeera berjalan mendekati Nora, dengan santainya dia tersenyum sinis, “Bila kau berani bilang apa yang kau lihat dan ketahui, lihatlah apa yang bisa aku lakukan untuk menyeretmu keluar dari sini secara tidak terhormat,” kata Almeera. “Maksudmu?” tanaya Nora. “Yahh, kau tidak akan bisa membayangkan apa yang bisa aku perbuat, aku masih mengkasihani dirimu, karena itu aku membiarkanmu masih disini, tapi aku pastikan kau tidak akan senang bila tahu apa yang akan ku lakukan bila kau bertingkah,” ancan Almeera. Nora hanya menelan ludahnya, dia tahu Almeera tidak main-main dengan ucapannya, dan itu terlihat dari matanya yang menatapnya tajam, “Kau wanita yang mengerikan Almeera, teganya kau membohongi Tian,”kata Nora. “Sudahlah lebih baik kau jangan banyak bicara, lebih baik kau keluar dari kam
“Apa maksudmu berbicara seperti itu?” tanya Tian pada Nora. Nora terdiam sejenak lalu menatap Tian, “Ehmm, a-aku tidak sengaja masuk ke kamar Almeera dan melihat kain yang dijahit untuk…” kata Nora tergagap. “Sudahlah Nora, mengapa kau tega membawa kehamilan Almeera untuk alasan perceraian kita,” potong Tian. Nora tidak percaya dengan apa yang dia dengar, Tian menuduhnya berbohong tentang kehamilan Almeera, “Kau menuduhku berbohong?” kata Nora masih dengan wajah terkejut. “Bukan begitu, aku tahu kau membenci Almeera, tapi aku melihat bukti USGnya saat dia memberitahukanku bahwa dia hamil,” kata Tian. “Tapi aku melihat dengan kepala mataku sendiri kalau dia…” kata-kata Nora terpotong lagi. “Kita akan bicarakan ini di rumah,” kata Tian sambil melirik Tomi. “Tapi..aku belum selesai bicara,” kata Nora sambil menarik tangan Tian dengan wajah panic. Tian mencoba melepaskan genggaman Nora, “Aku sudah bilang, kita akan bicara di rumah,” kata Tian lagi sambil berjalan meni
Nora masih memandangi surat yang dia ambil dari amplop coklat itu, satu persatu Nora baca surat yang Tian suruh untuk dia tanda tangani, berulang-ulang Nora baca dari awal sampai akhir “Surat Perjanjian Cerai Antara Bastian Abimana Winata Dengan Lairana Nora” judul surat itu. Surat yang dibikin Tian di hadapan pengacaranya seperti sudah di rencanakan Tian jauh-jauh hari untuk dirinya, isinya sesuai dengan yang Tian katakana tempo hari padanya, saat bercerai Tian akan memberikan Rumah, salah satu anak perusahaannya dan sejumlah uang yang lebih dari cukup untuknya sebagai kompensasi, namun persyaratannya adalah bahwa Nora tidak boleh memberitahukan siapapun termasuk orang tuanya atas perceraian mereka selama dua tahun, Nora tersenyum putus asa membacanya, “Bagaimana bisa mereka melakukan ini padaku,” batinnya dalam hati. “Tok..tok..tok,” pintu kamar Nora di ketuk seseorang, Nora berjalan dengan enggan, membuka pintu kamarnya dan melihat Almeera berdiri di depan kamarnya dengan m
Nora keluar dari ruang dokter dengan wajahnya yang pucat, di tangannya masih tergenggam hasil tes lab yang dia lakukan tadi, hasil dengan tanda “Positif” di hasil pemeriksaannya. “Ada apa Nora? kenapa wajahmu pucat sekali?” tanya Tomi saat melihat Nora keluar dari ruangan dokter. Nora tertunduk, dia memandangi amplop di tangannya, air matanya tak kuasa dia tahan, dia mendongak menatap Tomi. “Aku hamil,” kata Nora sambil mengelus perutnya. Tomi tak kalah terkejutnya, dia duduk kembali di samping Nora, mereka terdiam sejenak, “Apa kau baik-baik saja?” tanya Tomi. Nora mengangguk, “Aku baik-baik saja, hanya..” kata-kata Nora tercekat di tenggorokannya. “Hanya apa?” tanya Tomi berusaha menenangkan Nora. “Hanya saja aku kasihan dengan anak ini, dia akan tumbuh tanpa ayahnya,” kata Nora. Mereka terdiam lagi, Nora tidak bisa berpikir jernih, dia memang memutuskan untuk membesarkan anaknya dan tidak akan memberitahukan Tian bahwa dirinya hamil, Tian sudah yakin dengan pendiri