“Kenapa Gabriella dan Mia lama sekali? Ke mana mereka pergi?” gerutu Max sembari terus menatap pintu dan jam dinding secara bergantian.
“Apakah mereka sengaja membuatku menunggu sendirian?” desah pria yang tidak bisa menguraikan kerutan di alis. Sesuatu telah mengganjal dalam hatinya. “Atau jangan-jangan, terjadi sesuatu di luar sana dan mereka sengaja tidak memberitahuku?”
Setelah menimbang-nimbang sejenak, Max akhirnya mengulur tangan ke arah meja. Takut jika lukanya kembali menganga, ia pun menekan perut dengan tangan yang lain.
“Ah, kenapa Gaby meletakkan ponselku jauh sekali?”
Sembari meringis, pria itu mencoba menggeser ponselnya dengan ujung jari. Tanpa sengaja, benda itu malah keluar dari garis meja dan jatuh ke lantai. Embusan napas kecewa sontak terlepas ke udara. Ia sedang tidak bisa membungkuk mengambil barang yang terjatuh.
“Ck, kalau seperti ini, aku tidak punya pilihan lain,” gumam Max sebelum menarik napas panjang. Sedetik kemu
“Keluarga Tuan Julian?” tanya petugas medis dengan tampang serius. “Ya, Dok. Saya adiknya,” sahut Max di sela napas yang terengah-engah. Ia tidak tahu apakah laki-laki itu seorang dokter atau bukan. Yang penting, ia sudah memberikan jawaban yang benar. “Dokter spesialis sudah memeriksa. Ternyata, kerusakan dalam perut pasien cukup parah. Karena itu, beliau memutuskan untuk melakukan operasi reseksi usus. Jadi, semua usus yang rusak terpaksa harus dipotong.” “Apakah itu cara terbaik untuk menyelamatkan Julian?” tanya Max dengan alis melengkung tinggi. Tanpa berpikir ulang, pria berpakaian hijau itu mengangguk. “Ya, itulah satu-satunya cara untuk menghentikan pendarahan,” sahutnya tegas. “Kalau begitu, lakukan saja, Dok. Selamatkan kakak saya,” desah Max dengan penuh harap. “Ya, kami pasti melakukan yang terbaik. Sekarang, saya akan mengabarkan bahwa keluarga pasien sudah menyetujui. Operasi akan dilanjutkan.” Selang satu anggukan, pria
Sembari memegangi perban barunya, Max terus menatap ke arah pintu. Selang beberapa saat, apa yang ditunggu akhirnya datang. Beberapa orang perawat mendorong kasur dengan Gabriella yang tertidur di atasnya. “Gaby,” desah pria yang mencoba untuk beranjak. Namun, belum sempat pundaknya meninggalkan kasur, seseorang telah menekan kepalanya kembali melekat pada bantal. “Tolong jangan bodoh! Aku tidak mau membawamu ke IGD lagi,” omel Sebastian sukses mengundang tatapan sinis dari Max. “Benar, Tuan. Tolong jangan bergerak dulu. Istri Anda tidak apa-apa. Dia akan segera sadar begitu efek obat bius habis,” ujar seorang perawat sembari mengunci kasur Gabriella di samping sang pria. Mendapat larangan yang sama, Max tidak jadi membantah. Setelah menghela napas samar, dengan tangan masih terpasang oleh selang infus, ia berusaha meraih jemari istrinya. Mengetahui kesulitan pria itu, sang perawat pun mendekatkan tangan Gabriella. “Sekarang beristirahatlah, T
Dengan mata berkaca-kaca dan napas terengah-engah, Gabriella berjalan cepat. Ia sama sekali tidak memedulikan keributan yang terjadi di belakang. Kemarahan Amber tidak lebih penting dibandingkan kakak iparnya. Begitu ia membuka pintu, sang sekretaris langsung menoleh dengan lengkung alis tinggi. Tanpa menunggu perintah, gadis itu cepat-cepat menyerahkan kursi yang didudukinya. “Nyonya?” “Bagaimana kondisi Julian?” tanya Gabriella dengan suara pelan. “Operasinya berjalan lancar, Nyonya. Kita tinggal menunggu Tuan sadar,” terang Mia sembari menoleh ke arah pria yang dikelilingi oleh banyak selang. Merasa ragu, Gabriella pun memegangi pundak sang gadis. “Kau tidak berbohong demi membuatku tenang, ‘kan?” Dengan wajah tanpa senyum, Mia menggeleng. “Aku berkata jujur, Nyonya. Tuan sudah melewati masa kritis. Sekarang, kita hanya perlu menunggunya sadar.” “Jadi, dia tidak akan mati, bukan?” tanya Gabriella tak mampu lagi menyaring kata-kata.
“Apakah kau sudah menyampaikan terima kasih kepada Julian?” tanya Max saat melihat wajah sang istri tidak lagi muram. Wanita yang baru memasuki kamarnya itu sudah bisa tersenyum lepas. “Ya. Dia sadar ketika aku menemuinya,” lapor Gabriella sebelum menarik kursi dan duduk di sisi ranjang. “Lalu, bagaimana keadaannya?” Bibir sang wanita sontak mengerucut. “Dia baik-baik saja, Max. Dokter mengatakan kalau tubuhnya kuat. Dalam beberapa hari, dia sudah boleh pulang. Julian hanya perlu menjaga lukanya tetap bersih dan menaati aturan makan. Banyak yang tidak boleh dia konsumsi sekarang. Kalau mengingat hal itu, aku jadi semakin merasa bersalah.” “Kau tenang saja, Gaby. Mia pasti mengurusnya dengan sangat baik,” ucap sang pria mencoba meringankan beban dalam hati istrinya. Tanpa terduga, kata-kata sederhana itu berhasil membuat senyum Gabriella kembali merekah. “Apakah kau tahu? Kurasa, Julian memiliki perasaan terhadap Mia,” celetuk wanita itu dengan
“Maaf, Tuan. Anda tidak bisa semena-mena terhadap saya. Meskipun saya bekerja sebagai sekretaris, tetap ada batasan untuk saya memenuhi permintaan Anda. Saya tidak bisa 24 jam terus memenuhi kebutuhan Anda,” ujar Mia mulai menaikkan suara. Alis gadis itu telah berkedut menahan jengkel. Ia tidak mengerti mengapa bosnya sangat kekanakan. “Jadi, kau tega meninggalkanku bersama Amber? Bukankah kau sudah tahu kalau wanita itu tidak becus. Dia memasak air saja gosong. Bagaimana nasibku jika diurus olehnya?” Sambil menggeleng-geleng tak habis pikir, sang sekretaris menghela napas. “Tenang saja. Nona Amber tidak perlu memasak air di sini. Sekarang, saya harus pergi. Sebentar lagi, dia akan tiba di sini.” Sedetik kemudian, gadis itu meraih tas, bersiap untuk berangkat. “Tapi aku tidak mau kau pergi, Mia. Tetaplah di sini bersamaku. Sebastian pasti bisa mengurus perusahaan seorang diri,” bujuk Julian dengan tampang memelas. “Permisi, Tuan. Saya sudah te
“Tampaknya, kau memang tipe pria yang tidak bisa menyembunyikan perasaan, hm?” celetuk Max yang tiba-tiba sudah berdiri di depan pintu.Menyadari kehadiran sang adik, Julian spontan mendengus. “Apakah kau menguping sejak tadi?” tanyanya sambil menaikkan alis.“Bukan menguping. Hanya tidak sengaja mendengar,” timpal Max sembari mengangkat pundak dengan ringan. Sedetik kemudian, ia menghampiri sang kakak dengan langkah santai. “Jadi, bagaimana keadaanmu?”“Kau lihat sendiri. Aku baru saja diabaikan oleh Mia,” jawab Julian seraya memutar bola mata. Ia sudah siap menyambut sindiran dari adiknya.“Bukan itu. Tapi, kondisi perutmu. Kudengar, kau telah menyelamatkan istriku dengan aksi yang sangat heroik. Sampai-sampai, kau rela mengorbankan nyawamu.”Mendapat jawaban yang tak terduga itu, tatapan Julian perlahan bergeser kembali kepada sang adik. Begitu menemukan lengkung bibir yang
“Tuan?” desah seorang pelayan yang semula duduk di sofa.Setelah melihat anggukan dari Max, si gadis muda bergegas keluar dari ruangan. Ia tahu bahwa pria itu membutuhkan privasi bersama sang ayah yang masih terbaring di kasur rumah sakit.Seperginya sang pelayan, Max menatap ayahnya dalam diam. Pria tua itu tampak tidur dengan pulas. Namun, ketika sang anak tiba di sisi ranjang, mata keriput itu perlahan terbuka.“Max?” desah Herbert menimbulkan embun dalam masker yang menutupi mulutnya. Sedetik kemudian, keharuan mulai melapisi penglihatannya.“Apa kabar, Pa? Apakah tubuhmu sudah lebih sehat?” tanya Max sembari berusaha melengkungkan bibir.Tanpa terduga, butir kesedihan mulai mengalir membasahi pelipis si pria tua. Dengan napas yang mulai tak beraturan, ia mengangkat tangan, berharap dapat menggapai putranya.“Kenapa kau memberikan hatimu?” tanyanya dengan suara yang agak tak jelas. “A
“Jadi, Papa langsung menangis saat mengetahui Julian sempat kritis?” tanya Gabriella yang masih menyisir rambut di depan cermin.“Ya. Butuh beberapa menit untuk Papa berhenti terisak,” sahut pria yang telah berbaring di kasur.“Kalau begitu, kurasa kau tidak akan kesulitan untuk mendamaikan mereka. Papa tidak membenci Julian sebesar itu,” gumam sang wanita sembari meletakkan sisir di meja rias. Sedetik kemudian, ia berjalan menuju tempat tidur.Melihat sang istri telah berbaring di samping, Max diam-diam tersenyum. Dengan hati-hati, ia memiringkan badan agar bisa memandangi wajah Gabriella lebih jelas.“Tapi, apakah Papa dan Julian tidak keberatan? Menunggu hingga kondisi mereka sama-sama pulih itu membutuhkan kesabaran. Kenapa tidak sekarang saja kau mempertemukan mereka?” celetuk sang wanita tanpa memedulikan tangan yang mulai menjalar tak tentu arah.“Aku ingin membuat momen perdamaian yang b