“Jadi, Papa langsung menangis saat mengetahui Julian sempat kritis?” tanya Gabriella yang masih menyisir rambut di depan cermin.
“Ya. Butuh beberapa menit untuk Papa berhenti terisak,” sahut pria yang telah berbaring di kasur.
“Kalau begitu, kurasa kau tidak akan kesulitan untuk mendamaikan mereka. Papa tidak membenci Julian sebesar itu,” gumam sang wanita sembari meletakkan sisir di meja rias. Sedetik kemudian, ia berjalan menuju tempat tidur.
Melihat sang istri telah berbaring di samping, Max diam-diam tersenyum. Dengan hati-hati, ia memiringkan badan agar bisa memandangi wajah Gabriella lebih jelas.
“Tapi, apakah Papa dan Julian tidak keberatan? Menunggu hingga kondisi mereka sama-sama pulih itu membutuhkan kesabaran. Kenapa tidak sekarang saja kau mempertemukan mereka?” celetuk sang wanita tanpa memedulikan tangan yang mulai menjalar tak tentu arah.
“Aku ingin membuat momen perdamaian yang b
“Selamat ulang tahun, Nyonya Evans!” seru para pelayan saat Gabriella baru menuruni tangga. Mendapat sambutan sehangat itu, perempuan bergaun biru otomatis melebarkan senyum. “Terima kasih,” ucapnya sembari mengangguk kepada semua wanita berseragam. Sedetik kemudian, Minnie maju dengan sebuah kotak di tangannya. “Kami bingung kado apa yang cocok untuk diberikan kepada Nyonya. Setelah berunding, kami akhirnya memutuskan untuk memberikan hal yang sederhana ini. Kami berharap Nyonya bisa bertambah sehat dengan kado dari kami.” Mendengar penjelasan tersebut, alis Gabriella sontak dikerutkan oleh rasa ingin tahu. Meskipun begitu, ia tetap mempertahankan lengkung bibirnya yang manis. “Terima kasih, Bi.” “Kalau Nyonya penasaran dengan isinya, buka saja,” celetuk seorang pelayan yang paling muda diiringi anggukan oleh rekan-rekannya. “Apakah tidak apa-apa?” tanya wanita bergaun biru dengan mata berbinar-binar. “Ya,” jawab mereka kompak.
Setelah menelan ludah, Sebastian langsung meruncingkan telunjuk ke arah hidangan. “Aku lupa. Ada sesuatu yang harus kubicarakan dengan Amber. Jadi, permisi. Kita berbincang lagi di lain waktu,” ucapnya tergesa-gesa.Tanpa menunggu tanggapan, pria itu pergi ke arah wanita yang disebut. Perubahan sikap itu sukses membuat Max menaikkan alis. “Apa yang salah dengannya?”Belum sempat si tuan rumah menemukan jawaban, perhatiannya teralihkan oleh tamu yang menghampiri. Kecurigaan terhadap kepanikan Sebastian seketika memudar.“Selamat malam, Tuan Evans, dan selamat ulang tahun, Nyonya Evans,” sapa sang tamu dengan senyum lebar.“Terima kasih, Rose. Aku sungguh tidak menyangka kau bisa hadir. Bukankah kau bilang kau sudah mulai bekerja?” ucap Gabriella hangat.“Memang benar. Tapi saya beruntung karena majikan yang baru juga baik hati. Dia bahkan mau ikut ke acara ini,” terang sang gadis sontak mem
Semua tercengang melihat kotak super besar yang diangkut oleh beberapa orang pria di balik kursi roda Herbert. Setelah mendapat arahan, mereka kompak menurunkan kotak berat itu di sudut ruang.“Apa yang Papa berikan kepada Gaby? Itu tampak berat sekali,” desah Max yang lupa menyapa karena terlalu takjub.“Itu sesuatu yang seharusnya sudah Papa kembalikan sejak dulu,” sahut si pria tua dengan lengkung bibir penuh arti.Mendapat petunjuk semacam itu, mata sang wanita sontak melebar. “Apakah itu pianoku?”Sedetik kemudian, Herbert mengangkat bahu. “Bukalah! Kau akan tahu.”Dengan hati yang berdebar, Gabriella mendekat ke arah hadiah. Ketika bungkusan biru selesai disingkirkan, helaan napas tak percaya otomatis terdengar.“Ini memang pianoku,” desahnya dengan mata berkaca-kaca.Setelah tersenyum ke arah Max, wanita itu beralih kepada sang mertua. “Terima kasih banyak, Pa.&r
Herbert menghela napas lega melihat Max berdansa bersama Gabriella. Pasangan itu tak henti-hentinya tersenyum dan tertawa, menebar kebahagiaan kepada siapa saja yang menyaksikan mereka.“Bukankah mereka sangat serasi?” gumam si pria tua kepada pelayan muda yang duduk di dekatnya.“Ya, Tuan,” sahut sang gadis seraya mengangguk.Sembari menjaga lengkung bibir, Herbert terus memandangi kemeriahan acara. “Sepertinya, aku bisa tenang sekarang,” pikirnya sambil memeriksa ingatan.Selang beberapa saat, raut wajah si pria tua kembali datar. Benda yang baru dikembalikan oleh Julian lagi-lagi mengganjal dalam hatinya.“Tolong ambilkan ponsel hitam yang tadi kau simpan,” pinta Herbert sontak membuat sang pelayan meraih tas yang tergantung di kursi roda.Ketika ponsel itu tiba dalam genggaman, si pria tua langsung menekan tombol on. “Ada apa dengan ponsel ini? Kenapa aku menitipkannya kepada Julian?&
Tiba-tiba, seseorang mengetuk pintu. Mendapat kunjungan tak terduga itu, lengkung bibir Max seketika menciut.“Siapa yang berani mengganggu kesenanganku?” gerutu pria itu sebelum beranjak dari ranjang. Ketika membuka pintu, ia gagal menyembunyikan ketidaksenangannya. “Ada apa?”“Maaf, Tuan. Apakah Nyonya sudah meminum obat herbalnya?” tanya seorang pelayan dengan alis melukiskan cemas.Hanya dalam sekejap, kekesalan Max berubah menjadi kekhawatiran. “Sudah. Apakah ada masalah?”Ringisan sang pelayan sontak menambah ketegangan. “Maaf, Tuan. Saya salah memberikan tanaman herbal. Yang diminum Nyonya adalah obat titipan kakak saya.”“Obat apa itu? Apakah bisa membahayakan kesehatan Gabriella?” tanya sang pria dengan mata terbelalak.“Tidak, Tuan. Hanya saja, itu obat untuk meningkatkan ... gairah.”Mendengar jawaban tersebut, suara tawa hampir saja lolos d
“Ingat, Nyonya. Kalau ternyata bayi dalam kandungan itu adalah perempuan, Anda tidak boleh kecewa.” Tangan sang wanita spontan meremas jemari Max lebih kencang. Kata-kata Minnie yang terngiang-ngiang dalam benaknya telah menambah sesak dalam dada. Sambil terpejam, Gabriella mencoba menarik napas dalam. “Jangan khawatir, Gaby,” bisik Max sembari balas menggenggam, memberi sinyal bahwa dirinya mengirimkan dukungan. “Kenapa Nyonya tegang sekali? Pemeriksaan USG tidak menimbulkan rasa sakit,” ucap sang dokter sembari tersenyum. Gabriella tidak mampu menjawab. Ia hanya mengembalikan pandangan sambil terus mengatur napas. Gemas melihat sang istri, Max tiba-tiba mendengus ringan. Sambil menggenggam jemari yang terasa dingin itu, ia membelai kepala sang wanita dengan tangan lain. “Gaby,” bisik pria itu mencuri perhatian. Begitu sang istri membalas tatapannya, secepat kilat ia membentangkan senyum dan mengangguk. “Tidak apa-apa,” ucapnya hanya
Max berulang kali menarik napas lalu mengembuskannya dengan konstan. Ia berharap sang istri dapat mengikutinya. Akan tetapi, si wanita berwajah pucat tidak bisa lagi mengendalikan paru-paru. Rasa sakit telah melilit perutnya. “Sakit, Max,” rintih Gabriella sembari mencengkeram tangan sang suami lebih kuat. “Sabar, Gaby. Kamu belum boleh mendorong. Tunggu aba-aba dari dokter. Mengerti?” terang sang pria sembari mengusap keringat yang membanjiri wajah istrinya. “Sekarang, atur napas bersamaku.” Dengan air mata yang hampir tumpah, sang wanita terus menatap suaminya. “Tarik, embuskan ... tarik, embuskan.” Gabriella berusaha untuk patuh. Akan tetapi, lima detik berlalu, ia menggeleng, menyatakan dirinya sudah di ambang kesabaran. “Aku tidak bisa lagi, Max. Tidak bisa,” desah wanita itu sambil meringis. Merasa tak tega, pria itu mengecup kening sang istri. “Bertahanlah, Gaby. Demi Pangeran Kecil kita,” bisiknya. Sambil memeja
“Yeay! Hari ini, Pangeran Kecil jalan-jalan ke taman,” seru Gabriella sembari memakaikan tudung jumpsuit panda di kepala putranya.Seolah mengerti dengan apa yang diucapkan oleh sang ibu, Cayden tersenyum sambil menyatukan tangan. Mata bulatnya terlihat berbinar-binar.Menyaksikan respon semacam itu, sang ayah yang memperhatikan putranya sedari tadi pun tertawa. “Dia terlihat sangat senang,” ucap Max sambil membiarkan Cayden menggenggam telunjuknya.“Tentu saja. Ini jalan-jalan pertamanya,” sahut Gabriella sembari memeriksa perlengkapan di sisi ranjang. Selang beberapa saat, ia menutup tas lalu menyandangnya. “Semua sudah siap. Ayo berangkat.”“Apakah Bibi jadi ikut?” tanya Max seraya mengangkat Cayden dalam dekapan.“Tidak. Bibi mengeluh kalau lututnya sakit. Jadi, Lena yang menemani kita,” jawab Gabriella sambil membukakan pintu kamar dan menutupnya ketika sang suami sudah le