Sudah beberapa kali Max berusaha menghubungi sang interogator. Namun, tidak ada satu pun panggilan yang terjawab.
“Apakah Sharp Knife tahu bahwa kamera yang dia pasang sudah terbongkar?” batin Max seraya memutuskan panggilan dan meletakkan ponsel di atas meja. Sambil mengetuk-ngetukkan jari, pria itu berpikir.
“Apa hubungannya dengan peneror itu? Mungkinkah ... kedatangannya juga sudah diatur?”
Embusan napas samar terlepas dari mulut sang pria.
“Karena itukah Sebastian sengaja menceritakan tentang Sharp Knife? Agar aku tergerak untuk menyewa jasanya menginterogasi Gaby?”
Selang keheningan sejenak, Max berdecak kesal. “Apa yang harus kulakukan jika dia benar-benar si peneror?”
Merasa kepalanya semakin berat, pria itu akhirnya beranjak dari kursi. “Sebaiknya, aku mengurus Gabriella lebih dulu. Tidak seharusnya aku mengurung istri di kamar seperti ini.”
Tanpa sedikit pun curiga, Max kembali menuju kamar, membiarkan koper sang istr
“Tolong jangan membohongiku. Aku tahu, kau mengatakan itu hanya untuk menahanku agar tidak pergi,” ucap Gabriella seraya mengepalkan tangan.Mendengarkan penyangkalan itu, kekesalan Max tak dapat lagi diredam. Sembari mencengkeram lengan sang wanita, ia menunjukkan keseriusan lewat matanya.“Aku benar-benar mencintaimu. Untuk apa aku menahanmu jika tidak ada rasa itu?”Bibir Gabriella bergetar sejenak. “Untuk dijadikan pelampiasan jika memang tidak ada yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan jabatan.”Napas Max seketika kembali menderu. Ia sadar bahwa kepala wanita di hadapannya lebih keras dari batu. Perdebatan hanya akan menyia-nyiakan waktu.“Terserah kau mau percaya atau tidak. Kau harus tetap ikut denganku.”Tanpa basa-basi, sang pria mengunci pergelangan tangan istrinya. Selagi Gabriella kembali meronta, ia berjalan cepat membawa wanita itu menuju mobil.“Hentikan, Max! Lepas
“Sejujurnya, aku mulai curiga saat pertama kali dia memanggilku Gaby. Aneh rasanya ketika seseorang yang tidak begitu akrab menyebut nama itu,” jabar Gabriella sebelum menggeleng samar. “Tapi itu hanya berdasarkan perasaanku saja.”Mata pria yang menyimak langsung menyipit. “Apakah ada hal lain?”Sang wanita mengangguk. “Dia terlalu sering menanyakan tentang proyek rahasiamu. Seolah-olah, ada sesuatu yang mendesaknya untuk segera tahu.”“Selain itu?”Alis Gabriella berkerut semakin dalam. “Peneror itu berkata bahwa kami pernah bertatap muka beberapa kali. Satu-satunya pria yang memenuhi kondisi itu adalah Sebastian.”“Bagaimana dengan Julian? Bukankah kalian juga pernah bertemu?”“Tidak. Sebelum aku menerima telepon itu, kami hanya bertemu dua kali. Dan, aku yakin bukan dia orangnya.”Helaan napas berembus samar dari mulut Max. “Kenap
“Aku datang ke sini dengan maksud baik, ingin memeriksa kondisimu karena terancam kehilangan jabatan. Tapi ternyata, kau malah menuduhku sebagai orang jahat?” ucap Sebastian tak terima. “Kau tidak konsisten, Bas. Tadi kau bilang ingin mengucapkan selamat. Sekarang, kau menyatakan maksudmu untuk memeriksa kondisiku. Yang mana yang benar?” Helaan napas cepat terlepas dari mulut sang sekretaris. “Ini benar-benar tidak masuk akal,” gelengnya lambat. “Bagian mana yang tidak masuk akal? Kau diam-diam mengincar istriku atau kau menusukku dari belakang?” Sebastian tiba-tiba berdiri hingga kursinya hampir terjungkal. “Hentikan candaanmu! Ini sama sekali tidak lucu, Max. Selama ini, aku selalu berusaha menjaga kepercayaanmu. Apakah ini balasan yang kau berikan kepada orang yang telah setia kepadamu?” “Kau terlalu setia, Bas, dan aku baru menyadari hal itu. Kau bisa saja meneruskan perusahaan ayahmu. Tapi, kenapa kau malah memilih menjadi sekretarisku? B
Satu kilometer dari gedung Quebracha, Max dapat melihat lampu menyala terang di ruang kerjanya. Hanya dalam sekejap, gemuruh napas yang sempat mereda kembali terdengar. “Kurang ajar! Peneror itu benar-benar mengobrak-abrik kantorku,” gumam sang pria seraya menggenggam kemudi lebih erat. “Kuharap dia masih di sana saat aku tiba. Dia tidak boleh lolos dan membahayakan Gabriella.” Selang beberapa menit, sang CEO akhirnya tiba. Entah kebetulan atau memang sudah direncanakan, pintu masuk terbuka lebar untuknya. “Apakah dia memang ingin menyambutku?” pikir Max yang sempat memperlambat langkah. Namun, setelah menimbang-nimbang sejenak, ia akhirnya mempercepat gerak menuju lift. Tepat di depan pintu yang tertutup rapat, pria itu mendesah tak percaya. Tulisan “error” tertera di semua layar. “Apakah dia mempermainkanku atau sedang menguji keseriusanku?” Setelah berdecak kesal, Max bergegas menuju tangga darurat. *** Gabr
“Maaf, Bas, bisakah kau mengemudi lebih cepat?” pinta Gabriella sembari terus menatap ke depan. Jalanan sedang dalam keadaan lenggang, tetapi mobil mereka sudah beberapa kali disalip oleh mobil lain. “Maaf, Nyonya Evans. Aku harus mengutamakan keselamatan,” tolak sang sekretaris dengan nada santai. “Tapi, tidak banyak kendaraan di jalan ini. Kurasa tidak apa-apa jika kau menambah sedikit kecepatan.” Sedetik kemudian, Sebastian menoleh dan menghela napas samar. “Sekarang aku mengerti kenapa Max bisa jatuh hati padamu. Kau sangat manis dan penuh perhatian,” ucapnya tanpa terduga. Kedipan mata Gabriella spontan membeku. Dengan alis berkerut, ia berusaha memecah ketegangan. “Kenapa kau tiba-tiba berkata seperti itu?” desahnya diiringi gelengan kecil. Dalam sekejap, raut sang sekretaris berubah datar. “Apakah kau merasa tak nyaman? Maaf. Aku hanya mencoba membantumu meredakan kekhawatiran.” Sambil berkedip datar, sang wanita mengembalikan p
“Sebastian? Kenapa kau ikut masuk? Keluarlah! Peneror itu bisa membatalkan pertemuan jika dia tahu aku bersama seseorang,” desak Gabriella dengan suara pelan. Wanita polos itu sama sekali tidak curiga dengan ekspresi santai sang pria. “Tenang saja. Dia tidak akan membatalkan pertemuan. Bukankah dia berada di ruang tengah?” “Ya, tetap saja ....” Kata-kata sang wanita mendadak terhenti oleh akal sehat. Dengan kedipan cepat di bawah kerutan alis, ia memiringkan kepala. “Dari mana kau tahu bahwa peneror itu mengungguku di ruang tengah?” Sudut bibir yang semula tinggi seketika turun. “Apakah aku salah dengar? Itulah yang dikatakan oleh pelayan tadi kepadamu.” Sembari menimbang-nimbang, Gabriella menatap sang sekretaris dengan guratan bimbang di dahi. “Kalau begitu, tunggulah di sini. Aku tidak ingin kehadiranmu membuat peneror itu marah.” Bibir Sebastian spontan mengerucut. Dua detik kemudian, tanpa terduga, ia mengulurkan tangan hendak menyentuh r
Melihat Gabriella yang mematung dengan wajah pucat, sebelah sudut bibir sang pria terangkat samar. “Apakah kau masih terkejut dengan perlakuan Sebastian? Maaf, dia memang sudah terobsesi sejak pertama kali melihatmu.” Diam-diam, sang wanita melirik ke arah sang sekretaris. Laki-laki yang baru saja duduk di sofa itu sudah kembali memasang raut serius, ekspresi yang selalu ia tunjukkan setiap kali berhadapan dengan urusan kerja. “Apakah kau kesal karena aku menghentikan aksimu?” tanya dalang sesungguhnya kepada Sebastian. Sang sekretaris mengangkat pundak singkat. “Apa yang bisa kulakukan jika Anda sudah memberi perintah?” timpalnya santai. Menyaksikan keakraban dua orang di hadapannya, napas Gabriella semakin menderu. “Kenapa kalian tega melakukan semua ini kepada Max? Apa kesalahannya sampai kalian menginginkan dia jatuh?” tanyanya dengan suara tipis dan bergetar. Rasa sesak dalam dada telah menyempitkan kerongkongannya. Si dalang dan tangan k
“Aku tidak akan sudi berpihak kepadamu!” seru Gabriella dengan sorot mata tajam meski air mata bisa jatuh kapan saja. “Jangan salah paham dulu,” geleng si pria tua sembari mengangkat kedua alisnya. “Aku justru ingin memberikan keringanan kepada anak haram itu. Bukankah kita sudah sepakat bahwa pilihan pertama jauh lebih baik?” Gabriella menatap sang mertua dengan tampang datar. Tidak sedikit pun otot wajahnya berani bergerak. “Karena itu, bantulah Max dengan membuatnya memilih Quebracha. Aku sudah menyiapkan dua skenario yang bisa kau lancarkan.” Sedetik kemudian, telunjuk Herbert teracung di udara. “Skenario pertama. Kau bisa mencuri dokumen yang selalu dia rahasiakan dan menyerahkannya kepada Julian.” “Lalu kau bisa menendangnya keluar dari perusahaan? Aku tidak sebodoh itu!” Tawa kecil sontak terlepas dari mulut si pria tua. “Jangan gegabah dalam menarik kesimpulan. Pikirkan bagaimana aksi itu akan akan membuatmu terlihat se