“Apakah kau mendengar yang barusan kudengar?” tanya pria yang mengira bahwa dirinya berhalusinasi.
“Suara Pangeran Kecil?” bisik wanita yang juga terbelalak meski pandangannya remang-remang. “Tapi dia sudah tertidur pulas tadi.”
Selang satu kedipan, Max kembali mendesah. “Haruskah kita memeriksanya? Bisa saja, dia terbangun karena teriakanmu tadi.”
“Tapi aku tidak berteriak sekencang itu,” celetuk Gabriella, malu mengakui kecerobohannya.
“Pekikanmu nyaring, Gaby. Pangeran Kecil bisa saja terbangun,” tutur sang pria meyakinkan. Ia tidak mau jika keegoisan mereka menggeser Cayden dari puncak prioritas.
Sadar bahwa ucapan sang suami memang benar, sang wanita akhirnya membetulkan gaunnya yang tersingkap. “Kalau begitu, kita sudahi saja,” ujarnya dengan nada kecewa. Selagi ia mulai beranjak, Max pun memerintahkan lampu untuk menyala.
“Lights on!”
Begitu ruangan kembali diwarnai oleh cahaya, Gabriella sontak terkesiap. Cayden sedang
“Kau sungguh tidak keberatan dengan gaya berpakaianku ini, bukan?” tanya Gabriella sembari meringis. Ia merasa canggung karena semua mata tertuju padanya.“Percayalah padaku, Gaby. Apa pun baju yang kau kenakan, kau tetap sempurna,” timpal Max seraya membuat satu anggukan tegas.Sekali lagi, sang wanita melirik ke meja tinggi di sekitarnya. Beberapa orang kini berbisik sambil menyembunyikan tawa.“Termasuk ini?” tanya Gabriella sebelum memajukan sebelah kaki agar sang suami dapat melihat sepatu karet yang berwarna putih.“Ya, itu sangat cocok dengan dengan gaunmu. Warna mereka sama,” angguk Max sebelum membelai bayi yang sedang duduk dalam carrier di depan tubuhnya. “Kau setuju dengan Papa, bukan? Mama terlihat sangat cantik.”“Mamamama ...” sahut Cayden sembari berkedip lambat.Namun, bukannya terurai, alis sang wanita malah semakin kusut. “Pasti mereka m
Begitu memasuki ballroom yang luas dan megah, mata Cayden sontak berbinar. Padanan warna emas dan putih terlihat seperti kue lezat baginya. Selang satu kedipan lambat, ia pun mendesah, “Woah ....” Mendengar suara mungil itu, Gabriella otomatis menaikkan sudut bibir dan memeriksa raut wajah putranya. “Ada apa, Cayden? Apakah kau senang datang kemari?” “Cacacaca!” sahut sang bayi seraya meruncingkan telunjuk ke lantai dansa yang tampak mengilap. “Kau mau bermain di sana?” selidik Gabriella sembari menaikkan alis. Tanpa mengucap sepatah kata, Pangeran Kecil tiba-tiba meluruskan badan. Mengetahui keinginan putranya, sang wanita akhirnya menurunkan bayi berdasi kupu-kupu itu dari gendongan. “Jangan berlari terlalu cepat karena Papa sedang tidak bersama kita. Mengerti?” Seolah memahami perintah ibunya, Cayden mendesah, “Yah!” Namun, begitu kakinya menapak, bayi mungil itu melaju tanpa rem ke lantai dansa. Sambil tertawa leba
“Wow! Ada apa dengan ciuman ini?” tanya Max saat sang istri mengembalikan jarak di antara mereka. “Tidak ada apa-apa. Aku tiba-tiba saja merindukanmu,” sahut Gabriella sembari mengelus sudut bibir sang suami dan mengangkat pundak sekilas. Sedetik kemudian, ia membelai kepala bayi yang sedang memainkan kancing putih di bawah leher sang ayah. “Pangeran Kecil juga merindukanmu. Dia tadi sempat kebingungan karena tidak ada teman berlari.” “Begitukah?” timpal Max sebelum memasukkan wajahnya ke dalam bingkai pandang sang bayi. “Apakah kau bosan bermain tanpa Papa?” Alih-alih menjawab, Cayden malah tertawa kecil. “Mamamama ...” ocehnya sambil meruncingkan telunjuk ke arah piano. Kemudian, dengan penuh semangat, ia mengulangi gerakan kepalanya saat mendengarkan lagu favorit. “Oh, kau berjoget saat Mama memainkan lagu bayi paus?” terka Max dengan mata yang tak kalah lebar. “Bayi hiu, Max,” koreksi Gabriella untuk kesekian kalinya. “Ah, ya ... i
“Pangeran Kecil, mau sampai kapan kau menikmati makan siangmu? Perutmu ini sudah buncit,” celetuk Max sembari menggelitik putranya yang enggan melepas Gabriella. Merasa terusik, sang bayi pun mendorong tangan sang ayah agar menjauh. Tanpa sedikit pun rasa bersalah, ia kembali mengemut makanan favoritnya. “Apakah dia benar-benar masih minum?” selidik Max sambil mengernyitkan dahi di hadapan istrinya. Mengetahui keputusasaan sang suami, Gabriella spontan mendesahkan tawa. “Bersabarlah, Max. Pangeran Kecil tidak akan bisa tidur jika kau terus mengganggunya.” “Lihatlah, Gaby! Dia tidak benar-benar minum. Pangeran Kecil hanya bermain-main saja denganmu,” gerutu pria yang mengerutkan alis seperti anak kecil. “Kalau begitu, aku juga mau.” Sedetik kemudian, Max mulai memainkan makanan putranya yang sudah selesai dilahap. Mengetahui perbuatan nakal sang ayah, Cayden tiba-tiba menendang. Dalam sekejap, kedua orang tuanya terbelalak dan melepas keterkeju
Memahami kegalauan sang istri, Max pun membantu untuk memikirkan solusi. Sambil terus menahan kepala Cayden dengan sebelah tangan, ia menyipitkan mata. “Bagaimana kalau kita serahkan saja keputusan ini kepada Pangeran Kecil?” Mendengar ide dadakan tersebut, mata Gabriella otomatis membulat. “Bagaimana caranya?” “Kita jelaskan apa saja yang berubah jika Cayden memiliki seorang adik. Lalu, kita tanyakan apakah dia siap menerima perubahan itu atau tidak. Bagaimana?” “Apakah Pangeran Kecil bisa memahami penjelasan dan pertanyaan serumit itu?” balas sang wanita dengan alis terganjal kekhawatiran. Sekali lagi, Max mendesahkan tawa. “Kenapa kau malah meragukan kecerdasan Cayden sekarang? Aku yakin, dia pasti mengerti jika kita terangkan sejelas-jelasnya. Dan kita juga harus menegaskan bahwa kasih sayang kita kepadanya tidak akan berkurang.” Selang perenungan sesaat, Gabriella akhirnya melepas beban dari sudut bibirnya. “Baiklah. Mari kita cob
“Begitukah? Lalu, bagaimana jika ada pria lain yang lebih mencintai Anda? Yang lebih kaya, lebih tampan, dan lebih baik dalam segala hal dibandingkan Max Evans,” tanya Axel dengan nada geram. Gemuruh napasnya tidak lagi mampu diredam, begitu pula dengan kemarahan yang mencuat dari sela-sela jemarinya yang terkepal. Alih-alih menjawab dengan serius, Gabriella malah meloloskan desah tawa. Sambil mengernyitkan dahi, wanita itu menggeleng lambat. “Itu mustahil, Tuan. Tidak ada pria semacam itu di muka bumi ini. Bagi saya, pria yang paling kaya, tampan, dan baik adalah Max Evans. Kalaupun ada, mungkin itu baru terjadi dua puluh tahun lagi, setelah Cayden dewasa.” Tiba-tiba saja, kepalan tangan Axel Craig mendarat di atas meja. Meski tidak menimbulkan bunyi kencang, aksinya itu sukses membuat sang wanita mengerjap. “Kenapa kau yakin sekali dengan laki-laki itu? Apakah kau tahu berapa banyak harta kekayaan yang kumiliki? Keluargaku menguasai bisnis perhotela
“Max, apakah kau menyukai kalung baruku?” tanya Gabriella sembari memperhatikan cahaya biru yang berpendar dari pendant di bawah lehernya. Melihat senyum manis sang istri dalam remang-remang malam, pria yang sedang menggendong Cayden pun ikut menaikkan sudut bibir. “Ya. Itu sangat cocok dengan kepribadianmu. Tetap indah meski dalam gelap. Tuan Abdul pasti sangat mengagumimu,” timpal Max sembari memindahkan sang bayi ke lengan yang lain dan meraih jemari sang istri dengan tangannya yang bebas. “Apakah kau cemburu?” tanya wanita yang menyandang ransel itu sambil menoleh dengan mata bulat. Alih-alih menjawab, sang suami malah tertawa. “Kenapa harus cemburu? Aku justru bangga karena istriku bisa menginspirasi banyak orang.” “Mamamama ...” sambung Pangeran Kecil, seolah tak ingin kalah dari sang ayah. Mata Cayden kini sama lebar dengan milik ibunya. Ia sudah puas tidur selama di perjalanan. Dengan tenaga penuh, bayi mungil itu siap memenuhi
“Selamat pagi, Ratuku,” sapa Max ketika wanita yang berbaring di sampingnya membuka mata.Melihat sang suami menyambut paginya dengan senyum manis, sudut bibir Gabriella ikut terangkat ringan. “Selamat pagi, Rajaku,” balas wanita itu dengan suara serak.“Mamamama,” oceh bayi yang bersandar di perut ayahnya.Dengan lengkung alis tinggi, Gabriella menoleh ke arah datangnya suara. Ketika mendapati Cayden sedang menatapnya dengan mata bulat, wanita itu sontak kembali terpejam dengan lengkung bibir yang lebih lebar. “Kenapa kalian bangun pagi sekali? Aku saja masih mengantuk.”Begitu mengembalikan pandangan, wanita itu langsung disambut oleh tawa putranya. “Mamamama ...” ucap Pangeran Kecil seraya menunjuk wajah sembap ibunya kepada sang ayah.“Ya. Ibumu kelelahan karena terlalu lama bermain semalam,” terang Max dengan senyum simpul.Salah memahami ucapan sang ayah, Cayden ma