“Wow! Ada apa dengan ciuman ini?” tanya Max saat sang istri mengembalikan jarak di antara mereka.
“Tidak ada apa-apa. Aku tiba-tiba saja merindukanmu,” sahut Gabriella sembari mengelus sudut bibir sang suami dan mengangkat pundak sekilas. Sedetik kemudian, ia membelai kepala bayi yang sedang memainkan kancing putih di bawah leher sang ayah. “Pangeran Kecil juga merindukanmu. Dia tadi sempat kebingungan karena tidak ada teman berlari.”
“Begitukah?” timpal Max sebelum memasukkan wajahnya ke dalam bingkai pandang sang bayi. “Apakah kau bosan bermain tanpa Papa?”
Alih-alih menjawab, Cayden malah tertawa kecil. “Mamamama ...” ocehnya sambil meruncingkan telunjuk ke arah piano. Kemudian, dengan penuh semangat, ia mengulangi gerakan kepalanya saat mendengarkan lagu favorit.
“Oh, kau berjoget saat Mama memainkan lagu bayi paus?” terka Max dengan mata yang tak kalah lebar.
“Bayi hiu, Max,” koreksi Gabriella untuk kesekian kalinya.
“Ah, ya ... i
“Pangeran Kecil, mau sampai kapan kau menikmati makan siangmu? Perutmu ini sudah buncit,” celetuk Max sembari menggelitik putranya yang enggan melepas Gabriella. Merasa terusik, sang bayi pun mendorong tangan sang ayah agar menjauh. Tanpa sedikit pun rasa bersalah, ia kembali mengemut makanan favoritnya. “Apakah dia benar-benar masih minum?” selidik Max sambil mengernyitkan dahi di hadapan istrinya. Mengetahui keputusasaan sang suami, Gabriella spontan mendesahkan tawa. “Bersabarlah, Max. Pangeran Kecil tidak akan bisa tidur jika kau terus mengganggunya.” “Lihatlah, Gaby! Dia tidak benar-benar minum. Pangeran Kecil hanya bermain-main saja denganmu,” gerutu pria yang mengerutkan alis seperti anak kecil. “Kalau begitu, aku juga mau.” Sedetik kemudian, Max mulai memainkan makanan putranya yang sudah selesai dilahap. Mengetahui perbuatan nakal sang ayah, Cayden tiba-tiba menendang. Dalam sekejap, kedua orang tuanya terbelalak dan melepas keterkeju
Memahami kegalauan sang istri, Max pun membantu untuk memikirkan solusi. Sambil terus menahan kepala Cayden dengan sebelah tangan, ia menyipitkan mata. “Bagaimana kalau kita serahkan saja keputusan ini kepada Pangeran Kecil?” Mendengar ide dadakan tersebut, mata Gabriella otomatis membulat. “Bagaimana caranya?” “Kita jelaskan apa saja yang berubah jika Cayden memiliki seorang adik. Lalu, kita tanyakan apakah dia siap menerima perubahan itu atau tidak. Bagaimana?” “Apakah Pangeran Kecil bisa memahami penjelasan dan pertanyaan serumit itu?” balas sang wanita dengan alis terganjal kekhawatiran. Sekali lagi, Max mendesahkan tawa. “Kenapa kau malah meragukan kecerdasan Cayden sekarang? Aku yakin, dia pasti mengerti jika kita terangkan sejelas-jelasnya. Dan kita juga harus menegaskan bahwa kasih sayang kita kepadanya tidak akan berkurang.” Selang perenungan sesaat, Gabriella akhirnya melepas beban dari sudut bibirnya. “Baiklah. Mari kita cob
“Begitukah? Lalu, bagaimana jika ada pria lain yang lebih mencintai Anda? Yang lebih kaya, lebih tampan, dan lebih baik dalam segala hal dibandingkan Max Evans,” tanya Axel dengan nada geram. Gemuruh napasnya tidak lagi mampu diredam, begitu pula dengan kemarahan yang mencuat dari sela-sela jemarinya yang terkepal. Alih-alih menjawab dengan serius, Gabriella malah meloloskan desah tawa. Sambil mengernyitkan dahi, wanita itu menggeleng lambat. “Itu mustahil, Tuan. Tidak ada pria semacam itu di muka bumi ini. Bagi saya, pria yang paling kaya, tampan, dan baik adalah Max Evans. Kalaupun ada, mungkin itu baru terjadi dua puluh tahun lagi, setelah Cayden dewasa.” Tiba-tiba saja, kepalan tangan Axel Craig mendarat di atas meja. Meski tidak menimbulkan bunyi kencang, aksinya itu sukses membuat sang wanita mengerjap. “Kenapa kau yakin sekali dengan laki-laki itu? Apakah kau tahu berapa banyak harta kekayaan yang kumiliki? Keluargaku menguasai bisnis perhotela
“Max, apakah kau menyukai kalung baruku?” tanya Gabriella sembari memperhatikan cahaya biru yang berpendar dari pendant di bawah lehernya. Melihat senyum manis sang istri dalam remang-remang malam, pria yang sedang menggendong Cayden pun ikut menaikkan sudut bibir. “Ya. Itu sangat cocok dengan kepribadianmu. Tetap indah meski dalam gelap. Tuan Abdul pasti sangat mengagumimu,” timpal Max sembari memindahkan sang bayi ke lengan yang lain dan meraih jemari sang istri dengan tangannya yang bebas. “Apakah kau cemburu?” tanya wanita yang menyandang ransel itu sambil menoleh dengan mata bulat. Alih-alih menjawab, sang suami malah tertawa. “Kenapa harus cemburu? Aku justru bangga karena istriku bisa menginspirasi banyak orang.” “Mamamama ...” sambung Pangeran Kecil, seolah tak ingin kalah dari sang ayah. Mata Cayden kini sama lebar dengan milik ibunya. Ia sudah puas tidur selama di perjalanan. Dengan tenaga penuh, bayi mungil itu siap memenuhi
“Selamat pagi, Ratuku,” sapa Max ketika wanita yang berbaring di sampingnya membuka mata.Melihat sang suami menyambut paginya dengan senyum manis, sudut bibir Gabriella ikut terangkat ringan. “Selamat pagi, Rajaku,” balas wanita itu dengan suara serak.“Mamamama,” oceh bayi yang bersandar di perut ayahnya.Dengan lengkung alis tinggi, Gabriella menoleh ke arah datangnya suara. Ketika mendapati Cayden sedang menatapnya dengan mata bulat, wanita itu sontak kembali terpejam dengan lengkung bibir yang lebih lebar. “Kenapa kalian bangun pagi sekali? Aku saja masih mengantuk.”Begitu mengembalikan pandangan, wanita itu langsung disambut oleh tawa putranya. “Mamamama ...” ucap Pangeran Kecil seraya menunjuk wajah sembap ibunya kepada sang ayah.“Ya. Ibumu kelelahan karena terlalu lama bermain semalam,” terang Max dengan senyum simpul.Salah memahami ucapan sang ayah, Cayden ma
Dengan mata terbelalak dan napas tertahan, Gabriella berusaha untuk kembali merapatkan pintu. Malangnya, tamu yang tak diundang sudah lebih dulu mengganjal jalan masuk dengan sepatu besarnya. Sekalipun sang wanita menekan ujung pintu dengan punggung, celah tetap tidak kunjung tertutup.Melihat kesulitan sang ibu, Cayden pun ikut mendorong papan tebal itu dengan kedua telapak kecilnya. Menyaksikan keberanian sang bayi, kekhawatiran si ibu muda sontak berlipat ganda.“Cayden, jangan berdiri di situ! Nanti kau terluka,” perintahnya di sela desah napas yang tak beraturan.Alih-alih menurut, sang bayi malah mengerang, mengerahkan seluruh tenaga yang tidak seberapa hingga pipinya merah. Ia tidak mungkin membiarkan ibunya bekerja keras seorang diri. Saat Gabriella mencuci pakaian saja, dirinya ingin membantu, apalagi melawan penjahat.Menyadari hal itu, sang wanita sontak meringis. Mau tidak mau, ia memaksa otak untuk berputar mencari solusi.
“Terima kasih banyak, Tuan Evans. Anda membuat saya semakin yakin bahwa saya tidak salah memilih arsitek,” tutur Abdul sembari menjabat tangan Max dengan penuh semangat. “Dan maaf karena telah mengundur jam istirahat Anda. Evans Kecil pasti sudah tidak sabar menunggu ayahnya.”“Sama sekali tidak masalah, Tuan. Saya justru bersyukur tim developer bersedia menunda makan siang demi menuntaskan pembahasan. Cayden pasti senang karena saya bisa menemaninya bermain sore ini,” tutur Max diiringi anggukan ramah.“Dan saya rasa, Evans Kecil pasti sangat bangga pada ayahnya. Apakah Anda tahu? Selama 20 tahun bergelut di dunia ini, baru sekarang saya mengikuti rapat yang begitu efektif. Tidak banyak hal yang perlu dipertanyakan ataupun diperdebatkan. Saya harus mengakui bahwa dokumen yang Anda siapkan benar-benar rinci dan rapi.”Mendapat pujian untuk kesekian kalinya, Max pun menaikkan alis. Ia merasa obrolan mereka tidak aka
Tanpa membuang waktu, Max mengumpulkan semua keperluan putranya ke dalam ransel. Sebotol susu dari kulkas, sebotol air putih, bubur yang terbengkalai, celemek bayi, pakaian ganti, popok, tisu, selimut, dan bahkan sunscreen. Sang pria telah mengingat dengan baik apa saja yang biasa disiapkan oleh sang istri.Terakhir, sebelum mulai beraksi, ia menyelipkan boneka beruang cokelat mungil ke dalam genggaman sang bayi. Max tahu, Cayden pasti akan merasa jauh lebih baik jika temannya ikut bersama mereka.“Apakah kau sudah siap, Pangeran Kecil?”Masih dengan mata terselimuti ketakutan, sang bayi berkedip. Tanpa memberikan jawaban, Cayden menyandarkan kepala sambil mendekap teman beruang yang tadi sempat ia tinggalkan.“Tidak apa-apa, Pangeran Kecil. Papa akan selalu bersamamu,” desah Max sebelum mengembuskan napas penuh tekad.Sedetik kemudian, tanpa basa-basi lagi, sang pria memotret pintu yang rusak dan memeriksa rekaman