Dengan mata terbelalak dan napas tertahan, Gabriella berusaha untuk kembali merapatkan pintu. Malangnya, tamu yang tak diundang sudah lebih dulu mengganjal jalan masuk dengan sepatu besarnya. Sekalipun sang wanita menekan ujung pintu dengan punggung, celah tetap tidak kunjung tertutup.
Melihat kesulitan sang ibu, Cayden pun ikut mendorong papan tebal itu dengan kedua telapak kecilnya. Menyaksikan keberanian sang bayi, kekhawatiran si ibu muda sontak berlipat ganda.
“Cayden, jangan berdiri di situ! Nanti kau terluka,” perintahnya di sela desah napas yang tak beraturan.
Alih-alih menurut, sang bayi malah mengerang, mengerahkan seluruh tenaga yang tidak seberapa hingga pipinya merah. Ia tidak mungkin membiarkan ibunya bekerja keras seorang diri. Saat Gabriella mencuci pakaian saja, dirinya ingin membantu, apalagi melawan penjahat.
Menyadari hal itu, sang wanita sontak meringis. Mau tidak mau, ia memaksa otak untuk berputar mencari solusi.
“Terima kasih banyak, Tuan Evans. Anda membuat saya semakin yakin bahwa saya tidak salah memilih arsitek,” tutur Abdul sembari menjabat tangan Max dengan penuh semangat. “Dan maaf karena telah mengundur jam istirahat Anda. Evans Kecil pasti sudah tidak sabar menunggu ayahnya.”“Sama sekali tidak masalah, Tuan. Saya justru bersyukur tim developer bersedia menunda makan siang demi menuntaskan pembahasan. Cayden pasti senang karena saya bisa menemaninya bermain sore ini,” tutur Max diiringi anggukan ramah.“Dan saya rasa, Evans Kecil pasti sangat bangga pada ayahnya. Apakah Anda tahu? Selama 20 tahun bergelut di dunia ini, baru sekarang saya mengikuti rapat yang begitu efektif. Tidak banyak hal yang perlu dipertanyakan ataupun diperdebatkan. Saya harus mengakui bahwa dokumen yang Anda siapkan benar-benar rinci dan rapi.”Mendapat pujian untuk kesekian kalinya, Max pun menaikkan alis. Ia merasa obrolan mereka tidak aka
Tanpa membuang waktu, Max mengumpulkan semua keperluan putranya ke dalam ransel. Sebotol susu dari kulkas, sebotol air putih, bubur yang terbengkalai, celemek bayi, pakaian ganti, popok, tisu, selimut, dan bahkan sunscreen. Sang pria telah mengingat dengan baik apa saja yang biasa disiapkan oleh sang istri.Terakhir, sebelum mulai beraksi, ia menyelipkan boneka beruang cokelat mungil ke dalam genggaman sang bayi. Max tahu, Cayden pasti akan merasa jauh lebih baik jika temannya ikut bersama mereka.“Apakah kau sudah siap, Pangeran Kecil?”Masih dengan mata terselimuti ketakutan, sang bayi berkedip. Tanpa memberikan jawaban, Cayden menyandarkan kepala sambil mendekap teman beruang yang tadi sempat ia tinggalkan.“Tidak apa-apa, Pangeran Kecil. Papa akan selalu bersamamu,” desah Max sebelum mengembuskan napas penuh tekad.Sedetik kemudian, tanpa basa-basi lagi, sang pria memotret pintu yang rusak dan memeriksa rekaman
“Ada apa, Nyonya Craig? Apakah kau terkesan dengan keromantisan suami barumu ini?” tanya Axel sambil mendongkrak sebelah sudut bibir dengan kepercayadirian yang terlampau tinggi.“Aku memang selalu mencatat setiap kata yang kau ucapkan dan menghafal setiap gerakan yang kau buat, Sayang. Karena itulah, aku mengingat keinginanmu ini dan mewujudkannya ... untuk diculik dan dicekoki dengan obat perangsang. Bukankah kau harus berterima kasih kepadaku?”Alih-alih menjawab, Gabriella malah mempertahankan raut tegasnya. Meski jantung telah terisi oleh kekhawatiran, sebisa mungkin ia menahannya agar tidak tersebar ke setiap sel dalam tubuh.“Kau benar-benar tidak waras,” ucapnya dengan nada rendah dan bergetar.“Ya ..., aku memang sudah tergila-gila oleh kecantikanmu, Gabriella,” sahut Axel sembari duduk di hadapan sang wanita dengan kaki terbuka lebar, memperlihatkan apa yang sudah tidak sabar untuk menunjukkan keku
Menyadari kebenaran dari ucapan Abdul, kerut alis Max sontak bertambah dalam. Sambil tertunduk, ia mengamati betapa erat Pangeran Kecil mencengkeram bajunya. Bayi mungil itu pasti sangat takut terpisah dari sang ayah.“Maafkan Papa, Cayden,” bisik pria itu sembari menyeka pipi merah putranya. “Papa sedang tidak bisa berpikir jernih. Tidak seharusnya Papa memaksamu untuk ikut dengan Tuan Abdul.”Sambil terus menempelkan diri pada sang ayah, Cayden menumpahkan lebih banyak air mata. Kepedihan dalam hatinya terasa begitu menyiksa. Ia belum pernah merasakan penderitaan sebesar itu sepanjang hidupnya.Berulang kali, Max mengecup kepala sang bayi. Akan tetapi, jeritan hati Cayden tidak kunjung mereda. Menyadari bahwa ia sudah mencungkil luka batin putranya, penyesalan sang pria bertambah tebal.“Maafkan Papa, Pangeran Kecil. Papa berjanji tidak akan mendesakmu lagi. Kita akan terus bersama. Kau mau ikut mencari Mama, bukan? Kalau b
Dengan sekuat tenaga, Gabriella menendang-nendang udara. Meski sudah lelah, ia tidak akan memberi Axel Craig kesempatan untuk melucuti celananya.“Ck, seharusnya aku tidak membuka ikatan itu,” gerutu sang penculik sebelum mendengus. Matanya masih belum lepas dari tali di dekat kaki kursi yang tidak lagi mengekang sang wanita.Setelah membuang napas kasar, pria itu kembali memaksakan diri untuk mendekati Gabriella. Namun, tendangan yang mengenai paha membuatnya mundur secara tak sadar. Dalam sekejap, kesabaran Axel lenyap tak bersisa.“Cukup! Aku sudah lelah bermain-main denganmu!” hardiknya sembari meraih gelas di atas meja. Demi meminimalkan perlawanan, ia mencekoki sang wanita dari samping. “Minum!”Akan tetapi, Gabriella bukanlah lawan yang mudah. Mulut wanita itu terkatup rapat seolah ada lem yang menyegel celahnya.“Ayo! Buka mulutmu! Biar kubuktikan bahwa performaku jauh lebih baik dibandingkan laki-l
Sembari membiarkan sang istri menenangkan diri dalam dekapan, Max mengamati kondisi di sekitarnya. Satu setel pakaian pria yang berceceran, beberapa potongan tali yang berserakan, gelas yang tak lagi tegak di atas meja, serta tubuh Gabriella yang mulai menghangat. Setelah memberikan beberapa tepukan ringan di punggung sang wanita, pria itu akhirnya memecah keheningan.“Gaby, apakah kau sungguh baik-baik saja? Kenapa detak jantungmu begitu cepat?”Sambil beringsut menjauh, Gabriella menjawab lirih. “Laki-laki itu mencekokiku dengan obat perangsang. Aku sudah berusaha melawan, tapi ada sedikit yang terminum olehku.”Mendengar pengakuan semacam itu, alis Max sontak melengkung tinggi. Sekali lagi, ia mengangkat wajah sang istri agar tidak terbebani penyesalan.“Lalu sekarang, kau mau bagaimana? Haruskah kita melakukannya? Apakah efeknya sudah mulai bekerja?” tanya pria itu seraya memeriksa sorot mata Gabriella dengan saksam
“Hei, Pangeran Kecil, apakah kau masih belum mengantuk? Kau sudah berjam-jam tidak istirahat. Sekarang lebih baik kau tidur,” celetuk Max sambil menepuk-nepuk popok empuk putranya.Alih-alih menanggapi, Cayden Evans hanya berkedip-kedip. Ia masih betah menyandarkan diri di atas perut Gabriella. Kedua tangan mungilnya bahkan enggan melepas baju yang dikenakan sang ibu.“Biarkan saja, Max,” desah sang wanita seraya melirik dengan senyum yang penuh makna. “Pangeran Kecil pasti sangat merindukanku. Dia takut jika kami terpisah lagi. Jadi, wajar saja jika dia ingin menikmati setiap detiknya bersamaku.”“Lalu, bagaimana denganku? Kau sudah berjanji akan menyuguhkan makan malam yang lezat untukku,” ambek sang pria, terdengar seperti anak kecil.Mengetahui bahwa sang suami sengaja melebih-lebihkan ekspresi, Gabriella otomatis tertawa samar. Sedetik kemudian, ia mengelus pipi pria yang agak pucat itu.“M
“Woah!” desah Cayden sambil menempelkan telapak tangan mungilnya pada kaca jendela di sisi kanan mobil. Matanya yang berbinar-binar sibuk menyoroti satu per satu hewan pemakan rumput di tepi jalan.Selang beberapa saat, balita berusia tiga tahun lebih itu menoleh ke belakang. Dengan alis terangkat maksimal, ia menekan ujung telunjuknya pada kaca.“Lihat itu, Mama! Mereka persis seperti yang ada dalam buku cerita. Kuda memang suka bermain di halaman luas. Mereka pasti sedang bergembira sebelum pulang ke kandang.”Mendengar celotehan yang penuh semangat itu, Gabriella sontak mengembangkan senyum dan membelai rambut putranya. “Apakah kau gembira?”“Tentu saja,” sahut Cayden sembari mengangguk tegas. “Ada banyak kuda di sini. Jumlah mereka bahkan lebih dari sepuluh.”Merasa terkesima, pria yang duduk di jok lebih depan sontak berbalik menatap keponakannya. “Hei, Pangeran Kecil. Sejak kap