“Kayaknya ada tamu?” Cita menutup pintu mobil, sambil memandang sebuah roda empat yang terparkir di halaman rumah. “Papa nggak ada chat, Mi?”Setelah menutup pintu mobil, Sandra segera mengeluarkan ponsel dari tas. Mengecek notifikasi, tetapi tidak ada dari Harry. “Nggak ada.”“Mungkin orang kantor.” Gumam Cita sembari menyamakan langkah dengan Sandra.“Mungkin.”Keduanya menaiki tangga teras, lalu Cita mematung di bibir pintu saat melihat Arya tengah bercengkrama bersama Harry di ruang tamu. Apa pria itu tidak mengerti artinya penolakan?Cita benar-benar geram sendiri melihatnya. Karena kesal, Cita terus saja berjalan masuk tanpa menoleh. Bahkan, ia tidak menyapa Harry karena sang papa masih saja menerima Arya di rumahnya.Apa Harry tidak ingat tentang perilaku Arya pada Cita? Pria itu sudah main hati dengan perempuan lain, tetapi Harry masih saja mau bertemu dan bicara dengan Arya.Sementara Sandra, tidak ada yang bisa ia lakukan selain menggeleng dan menghela melihat sikap Cita. Pu
Cita heran, kenapa Arya begitu keras kepala. Pria itu kembali datang ke rumah, padahal Cita sudah berkali-kali tidak mau menemui pria itu. Cita juga menolak Arya dengan terang-terangan ketika pria itu mengajaknya jalan-jalan.Cita lebih memilih berdiam di kamarnya dan tidur, daripada harus keluar lalu mendapati sosok Arya berada di rumahnya.“Cita ... buka pintunya.”Cita menggeram sambil beranjak membukakan pintu untuk Sandra. “Orang itu masih di sini?” tanya Cita dengan suara pelan.“Ngapain bisik-bisik.” Sandra segera masuk kamar dan melewati Cita. “Orang di bawah juga nggak bakal dengar suaramu.”Cita meringis sambil menutup pintu. Ia berbalik dan segera menghampiri Sandra yang sedang membuka lemari pakaiannya. Kamar yang ditempati Cita di kediaman Lukito, tidak seluas kamar yang dimiliki Kasih. Tidak hanya itu, kamar mandinya pun juga standar tanpa menggunakan bathtub. Selain itu, Cita juga tidak memiliki walk in closet seperti yang berada di kamar Kasih. Hanya ada sebuah lemari
“Aku kira kamu sudah pulang.” Leoni keluar dari ruang khusus direksi hotel dan menghampiri Arya yang berada di ruang tunggu lantai tersebut. “Cita pindah rumah hari ini.” Arya segera berdiri ketika Leoni menghampirinya. “Mobil mbak Chandi dipake, bunda Asri juga—” “Hedeeeh! Basa-basi.” Leoni mengeluarkan kunci mobil barunya dan memberikannya pada Arya. “Balik, bensin full. Kalau baret, aku kirim tagihannya plus bunga 20 persen. Terus—” “Berisik,” sela Arya sambil mengeluarkan dompet dan memberi Leoni kartu debit miliknya. “Pinnya seperti biasa. Kalau make jangan ngelunjak. Aku bukan bosmu, yang uangnya datang terus, walaupun nggak kerja satu bulan.” Leoni terkekeh dan menerima kartu tersebut dengan senang hati. “Senang berbisnis dengan anda.” “Hm.” Arya mengembalikan dompetnya ke saku celana. “Pulang jam berapa? Nanti aku jemput.” “Nggak tahu.” Leoni meraih tangan Arya, lalu membawa kakak laki-lakinya itu berjalan menuju lift. “Soalnya habis makan siang aku keluar sama mas Nando
“Bukannya hari ini kamu izin?” Kasih segera beranjak dari kursi kebesarannya, ketika Cita masuk ke ruangan dengan wajah masam. “Jadi pindahan hari ini, kan?”“Jadi.” Cita menghempaskan bokongnya di salah satu sofa tunggal di ruangan Kasih. “Tapi aku males! Ada Arya tahu-tahu datang bantu-bantu. Jadinya, ya, aku tinggal aja. Biar Mami yang ngatur.”“Cita.” Kasih duduk di kursi tunggal yang berada di samping sang adik. “Aku tahu, mungkin sulit buat kamu maafin Arya. Tapi, coba, deh, berdamai.”“Nah, itu! Ini juga rencananya mau nemui psikolog,” jawab Cita malas. “Aku, tuh, pengen hidup tenang, Kak. Aku capek kalau harus marah, harus ... aku tiap lihat Arya bawaannya pasti sakit hati. Pasti pengen hiiih! Aku pengen baik sama dia, tapi ... nggak bisa.”“Karena ingat Almira?” tebak Kasih.Cita mengangguk. “Ingat Arya, pasti ingat Almira.”“Aku nggak bisa komen lagi kalau gitu.” Kasih bersandar pelan, lalu menepuk perutnya yang mulai terasa lapar. “Karena semua itu tergantung kamunya. Mau o
“Jangan terlalu keras hati,” ucap Sandra yang duduk di tepi tempat tidur Cita. Menatap putrinya yang sedang memasukkan beberapa barang, ke tas kerjanya. “Apa salahnya kamu jenguk Arya sebentar? Angap ini ... seperti kegiatan kemanusiaan. Seperti kamu jenguk teman.”“Arya itu bukan teman.” Cita menarik resleting tas kerjanya, lalu menyampirkannya di bahu. Ia menghampiri Sandra, kemudian meraih tangan wanita itu dan menciumnya. Ketika Sandra berdiri, Cita segera memeluk lalu mencium pipi kiri dan kanan sang mama.“Paling nggak, pikirkan pak Lee dan bu Gemi,” bujuk Sandra. “Juga dengan semua kebaikan keluarga mereka.”“Yang sakit Arya, bukan pak Lee sama tante Gemi.” Cita mendahului Sandra keluar kamar. Menuruni tangga dan pergi ke kamar Harry terlebih dahulu. Tidak melihat pria itu di sana, maka Cita keluar dan melihat ke sekeliling ruangan. Di mana ruang keluarga, ruang makan, dan dapur, menjadi satu dengan tatanan yang minimalis. “Papamu di luar,” kata Sandra yang sedang menuruni tan
“Apa ... ini?” Cita berlutut di samping backdrop televisi dan mengangkat sebuah box yang tergeletak di sana. Karena ringan, maka Cita meletakkan box dengan bungkus kado berwarna merah mudah itu di pangkuannya. “Siapa yang mau ulang tahun, Mi?”“Itu buat kamu,” kata Sandra yang masih duduk bersandar di sisi tubuh Harry, sambil menonton televisi. “Dikirim kurir sore tadi.”Senyum Cita tersemat lebar. Hari ini bukanlah ulang tahunnya, tetapi mengapa ia mendapatkan sebuah kado.Siapakah gerangan yang mengirimkannya kado tadi sore?“Mungkin Nando,” celetuk Sandra.Cita menggeleng ragu, sambil mencari sisi kertas kado untuk dirobek. “Kalau mas Nando, pasti ngasihnya pake paper bag dari tokonya langsung. Dia nggak mau ribet bungkus-bungkus.”“Kan, bisa nyuruh orang,” celetuk Harry yang juga ikut penasaran.“Nggaklah.” Cita menggeleng yakin, karena sudah paham dengan kebiasaan Nando. “Dia memang nyuruh orang, tapi nggak pernah dibungkus begini juga.”Cita menyingkirkan serpihan kertas kado ya
“Mami mau ngomong sebentar,” ucap Sandra setelah Cita membukakan pintu kamar untuknya.Cita mengangguk, lalu membuka lebar pintunya dan mempersilakan Sandra masuk. “Aku baru ganti baju.”“Tadi, ngobrolin apa sama Duta?” selidik Sandra sambil berjalan masuk ke kamar Cita. “Kelihatannya serius.”Cita menggeleng, sambil memasukkan beberapa barang ke tas kerjanya. “Nggak ada yang serius.”“Mami tahu, mukamu berubah waktu balik dari tempat Duta,” sanggah Sandra sudah duduk di tepi tempat tidur. “Nggak usah bohongin Mami.”Cita menghela besar. “Kak Duta cuma bilang, Arya pagi ini pulang ke Surabaya ditemani Leoni. Aku malas ka—”“Astaga!” Sandra segera berdiri dan menutup mulutnya dengan kedua tangan. “Kenapa pulang? Di sini juga banyak keluarganya. Kaki sama tangan Arya itu lagi—”“Mi, sudah ada Leoni yang nemani dia pulang.”“Cita ...” Sandra menggeleng tidak habis pikir dengan sikap Cita. Hati putrinya itu benar-benar beku, seolah tidak memiliki perasaan sama sekali atas kondisi Arya. “S
“Kenapa papa bilang kita bakal lama ada di Jakarta?” Cita langsung mempertanyakan hal tersebut, ketika Sandra masuk ke kamarnya. Sepertinya, Harry sudah terlelap, karena itulah sang mami pergi ke kamar Cita.“Kamu tahu sendiri, kan, Kasih lagi hamil.”Kendati status Sandra saat ini adalah istri sah Harry, tetapi situasi dan kondisilah yang membuatnya tidak bisa protes perihal Kasih. Sandra cukup tahu diri, dengan semua kesalahan yang pernah dilakukannya di masa lalu.Cita menarik napas panjang. Ia berbaring, lalu memeluk guling dan menatap Sandra yang duduk di sampingnya. Setelah mendengar dan melihat betapa bahagianya Harry menyambut kehamilan Kasih, rasa cemburu itu kembali menyelimuti hati. Sampai kapan pun, Cita sepertinya tidak akan bisa sejajar, apalagi menggantikan posisi Kasih di hati Harry.“Kayaknya, kalau anak Kak Kasih lahir ... Papa nggak bakal balik ke Singapur.”“Kamu bisa pergi ke sana sendiri, kan?” Sandra juga tidak bisa melakukan apa-apa di situasi seperti sekarang.