“Senang tinggal di sini?” tanya Kasih sambil terus menyantap es krimnya sedikit demi sedikit. Setelah membeli es krim di sebuah kafe yang berada tepat di samping gedung apartemen, mereka duduk santai lebih dulu menikmati waktu senggang dengan damai.“Senang.” Cita mengangguk sambil menoleh pada Kasih yang duduk di sampingnya.“Bahagia?”“Bahagia,” jawab Cita tanpa ragu, karena memang seperti itulah kenyataannya. Ia bahagia bisa bersama suami dan kedua orang tuanya, lalu ditambah dengan bayi mungil yang semakin melengkapi kehidupan Cita saat ini.“Syukurlah.” Kasih menghela panjang. Kendati ada sesuatu yang hilang dalam hidupnya karena kepindahan Harry, tetapi Kasih sudah mengikhlaskan itu semua demi kebahagiaan keluarga mereka.Lagipula, Kasih juga menyadari bagaimana kerasnya kehidupan yang dilalui Cita sejak kecil. Karena itulah, Kasih tidak mencegah kepergian Harry ke Singapura agar bisa bersama Cita. Biarlah Harry menebus semua hal yang tidak pernah dilakukannya di sisa usianya, a
“Itu tadi ... Mas Nando kapan datangnya?”“Ha?” Setengah mengantuk, Arya membuka mata. Ia melihat Cita meletakkan Gusti di boks bayi yang berada tepat di samping tempat tidur. Satu sisinya terbuka, sehingga memudahkan Cita untuk meng-ASI-hi jika bayi tampan itu terbangun sewaktu-waktu. “Akhirnya dia tidur juga.”“Hem, digendong Mami baru dia tidur.” Tanpa mematikan lampu kamar, Cita merebahkan tubuh yang penat karena hampir seharian menemui tamu tanpa henti. Ia memang sempat beristirahat, tetapi tetap saja terasa sungkan berlama-lama jika ada keluarga jauh yang datang berkunjung. “Anaknya Kak Kasih malah tidur sama papa. Padahal jarang ketemu, tapi mau-mau aja.”“Enak banget mereka.” Arya merapatkan diri, lalu memeluk erat tubuh sang istri. “Ke sini malah bulan madu.”Cita menepuk lengan Arya karena pertanyaannya belum juga terjawab. “Itu tadi, Mas Nando kapan datangnya? Terus, siapa yang ngasih tahu dia kalau kita lagi ada acara keluarga?”Arya menarik napas panjang. “Mantan penggemar
Cita memicing saat menatap batita yang sibuk memindahkan mainan dari kamarnya ke kamar Harry. Bocah berusia dua tahun itu mondar mandir dan membiarkan beberapa mainan kecilnya berjatuhan, tanpa memungutnya kembali.Gusti melakukan itu semua untuk menyelundupkan mainannya di koper Harry atau Sandra, karena Cita hanya mengizinkan putranya membawa dua buah mainan saja ke Jakarta.“Gus—”“Sudah, biarin,” sela Arya setelah memastikan kelengkapan berkas yang akan dibawanya ke Jakarta. “Biarkan dia sibuk dengan mainannya. Daripada nanti di Jakarta dia rewel, karena mainannya ditinggal seperti waktu itu. Lagian kita lumayan lama di Jakarta sama Surabaya, jadi sudahlah.”Napas Cita terbuang pelan sembari mengusap perut buncitnya. Saat ini, ia tengah mengandung anak kedua dengan kondisi kehamilan yang benar-benar sehat. Tidak ada keluhan apa pun, seperti ketika mengandung Gusti dahulu kala. Untuk itulah, Arya tidak ragu mengajak Cita terbang ke Jakarta, sekaligus berkunjung ke Surabaya dalam wak
“Sampai kapan, kamu mau terus-terusan di kursi roda?”Cita mengerucutkan bibir dan mengendik menanggapi Sandra. Entah sudah berapa kali Cita mendengar sang mami mengucapkan hal tersebut, tetapi ia tetap pada pendiriannya. Cita tidak ingin orang-orang tahu, dirinya sudah bisa berjalan kembali seperti semula.Bahkan, saat Cita terpaksa menginjakkan kaki kembali ke Jakarta, ia masih tetap konsisten dengan pendiriannya.“Kamu itu masih muda, Cita,” lanjut Sandra sambil terus mengetikkan sesuatu pada layar ponselnya. “Kamu nggak akan bisa menikmati hidup, kalau terus-terusan keras kepala seperti sekarang.”Cita memalingkan wajah. Melihat deretan gedung pencakar langit yang semakin banyak dan beragam di Jakarta. Hampir dua tahun lamanya, Cita meninggalkan tempat kelahirannya dan akhirnya hari ini ia kembali. Jika saja Harry tidak jatuh sakit dalam kunjungannya ke Jakarta dan masuk rumah sakit, Cita pasti tidak akan mau kembali ke kota yang mengingatkannya dengan masa lalu.Pandu …Arya …Ke
“Ayolah, Kas!” Sudah setengah jam Arya membujuk Kasih, agar mau membawanya menjenguk Harry di rumah sakit, tetapi wanita itu masih bergeming. Berulang kali Kasih menolak, karena keluarganya memang sudah tidak ingin lagi bertemu Arya.Sejak kejadian dua tahun yang lalu, Harry telah memutuskan semua hubungan dengan Arya. Namun, Harry tetap berhubungan dengan keluarga Arkatama yang lain untuk menghormati Lee, serta Gemi.“Arya, jangan maksa.” Kasih berdecak. Memberi pria itu rungutan sebal.“Kas, ini mungkin satu-satunya kesempatanku bicara sama papa.”Kasih kembali berdecak dan menghempas dokumen di tangannya di meja kerja. Kalau tahu begini, ia tidak akan menerima kedatangan Arya di ruangannya. “Ar, kamu itu sudah dilarang manggil papa, sama papaku. Jadi, nggak usah sok-sokan mau akrab.”Mengingat perbuatan Arya pada Cita, darah Kasih bisa tiba-tiba mendidih dibuatnya. Namun, ketika Kasih mengingat usaha Arya untuk bertemu Cita selama ini, ia bisa terharu seketika. Memang serba salah,
“Ada Arya dimmpp …”Kasih buru-buru menutup mulut Duta, agar pria itu tidak meneruskan ucapannya. Mata Kasih melotot dan menggeleng samar, sambil meraih kantong plastik yang dibawa pria itu.“Diam,” desis Kasih kemudian melepas tangannya ketika Duta mengangguk-angguk. “Ayo masuk!”Duta menggeleng. “Aku mau ke—”“Masuuuk!” Kasih meraih tangan Duta dan menyeret pria itu ke dalam ruang rawat inap yang ditempati Harry. “Nggak sopan banget jadi anak.”“Kas—”“Masih ingat Duta, kan, Pa?” Kasih melepas tangan Duta. Mendorong pelan pria itu ke arah Harry. “Ini si Ndut yang dulu aku ceritain suka ngabisin makananku waktu SD.”Sandra melihat Pria yang tersenyum canggung pada Harry, sembari mengulurkan tangan kanannya. Ia bingung, mengapa Kasih memanggil pria itu dengan sebutan “ndut”, padahal tubuh pria yang bernama Duta cukup proporsional.“Saya Duta, Om.” Duta mencium tangan Harry dengan sopan, berikut dengan Sandra setelahnya. Ketika masih berada di sekolah dasar, Duta terkadang melihat Harr
“Mami aja yang pulang,” ujar Cita kembali berdebat dengan Sandra, perihal, siapa yang akan menemani Harry di rumah sakit malam ini. Karena kemarin malam Kasih yang berada di rumah sakit, maka malam ini Cita ingin menemani papanya. “Biar aku yang di sini temani papa.”“Apa kata orang, kalau Mami ninggalin papa, sama kamu?” Sandra menunjuk kursi roda Cita yang berada di samping jendela. “Kamu masih “lumpuh”, kan?”Sandra sampai angkat tangan karena ulah putrinya. Ia tidak akan mau berdebat lagi mengenai hal tersebut, karena Cita begitu keras kepala. Sandra hanya ingin lihat, sampai sejauh mana Cita sanggup bertahan dengan pendiriannya.“Tapi aku—”“Kamu yang pulang, Cita.” Harry bersuara dan ada di pihak Sandra. “Mamimu benar, apa kata orang kalau papa dijaga sama anak perempuannya yang juga masih sakit?”Cita berdecak pelan. Kedua orang tuanya benar-benar kompak menyudutkannya.“Nggak ada orang di rumah.” Bukan hanya tidak ada orang, tetapi kediaman Lukito yang sangat megah itu, juga m
“Maaf, ya, Mas, kalau ngerepotin.”Sebenarnya, Cita kasihan melihat Nando. Pria itu selalu baik dan tampak masih berharap pada Cita. Sementara itu, Cita tidak lagi berminat menjalin hubungan dengan siapa pun, karena masa lalunya.Cita … hanya tidak sanggup jika harus kembali mengalami satu luka lagi di masa depan. Karena Cita akhirnya mengerti, setiap hubungan pasti dihadapkan dengan ujiannya masing-masing. Karena itulah, Cita tidak ingin lagi menjalin hubungan romantis dengan siapa pun.“Kamu nggak ngerepotin.” Nando menatap Cita yang berada di sebelahnya. Mereka sedang berada di dalam lift, bersama seorang bellboy yang tengah membawa satu buat tas miliki Cita.Mengapa Pras bisa menyimpulkan, Cita sebenarnya sudah bisa berjalan?“Harusnya, kamu kasih kabar kalau mau datang ke sini,” tambah Nando.Cita mendongak dan tersenyum. “Aku sama mami sudah panik duluan waktu dengar papa masuk rumah sakit. Jadi, sudah nggak mikirin yang lain-lain.”Begitu lift berdenting dan sampai pada lantai