“Mantan, lo, kan? Iya, kan?” buru Salsa masih penasaran karena Cita masih saja bungkam. Jika bukan mantan, kenapa Cita terdengar akrab ketika bicara di telepon dengan ibunya Arya siang tadi.Sembari menyusuri garbarata, Salsa tetap memasang telinga guna mendengar percakapan Cita di telepon dengan seseorang yang dipanggilnya tante. Kendati hanya bisa mendengar dari satu pihak, Salsa sudah benar-benar yakin dan bisa menyimpulkan Arya adalah mantan kekasih Cita dahulu kala.“Kepo.”Salsa yang bersila di lantai kamar setelah mengambil baju di koper, lantas menoleh. Memindai penampilan Cita yang sudah rapi, setelah keluar dari kamar mandi.“Nggak bawa baju, lo, Cit?”“Lo nggak lihat isi koper gue?” tunjuk Cita pada kopernya yang masih terbuka, di sebelah pintu kamar mandi.“Maksud gue, nggak ada baju lain?” tanya Salsa lagi. “Lo makan malam sama camer pake kaos sama celana jeans?”“Camer apaan?” Cita menghempas bokòngnya di sudut tempat tidur. Ia menyisir rambut, sambil menunduk melihat ka
“Berasa rugi, nggak, sih?” Salsa menghempas tubuh lelahnya di tempat tidur, tanpa melepas kedua sepatunya terlebih dahulu. “Check out hotel jam 12 tapi kita subuh-subuh harus pergi dari sini.”Karena ada perubahan rencana liputan hingga malam, maka pihak redaksi Antariksa, mengubah jadwal penerbangan menjadi keesokan paginya.“Kalau aku bukan masalah ruginya, Sal.” Cita juga melakukan hal yang sama dengan Salsa, di tempat tidur berukuran single yang berbeda. “Tapi capeknya.” Cita melihat jam tangannya. “Kita baru nyampe hotel jam 11 malam, tapi jam 3 harus ke bandara.”“Mana langsung kerja,” sambung Salsa lalu menguap dan memiringkan tubuhnya memunggungi Cita. “Pasang alarm, Cit. Aku sudah nggak sanggup mau ngambil hape di tas. Ngantuk!”Tubuh Cita pun sama lelahnya, tetapi pikirannya seolah tidak bisa diajak kerja sama. Lantas, ia melepas tas selempang yang masih mengalung di tubuhnya, tanpa bangkit dari tidur. Cita mengeluarkan ponsel, lalu memasang alarm pukul 2.30 dini hari. Denga
“Aku nggak bisa lama-lama.” Cita duduk lebih dulu, kemudian Arya memilih duduk berhadapan dengannya. “Ada tugas yang harus aku cek ulang.”“Pulang jam berapa?” Karena pekerjaan Arya sudah selesai, sepertinya ia bisa menunggu dan mengantar Cita pulang ke rumah. “Biar aku antar.”“Nggak usah, ada pak Aiman,” tolak Cita. “Lagian kamu pasti capek.”“Aku senang kalau diperhatikan gini.”“Aku nggak lagi perhatian,” sanggah Cita buru-buru mengklarifikasi ucapannya.Saat ini, Arya sudah mulai berani bersikap dan tidak lagi terlihat muram. Ini pasti gara-gara mereka sempat satu pesawat dan pria itu melihat Cita membawa boneka kelincinya.Andai waktu bisa diulang, Cita pasti tidak akan membawa boneka itu pergi dengannya. Kalau begini, Arya semakin besar kepala.“Terus tadi, emangnya kamu sama Rashi belum baikan juga dari dulu?” selidik Cita mengingat betapa canggungnya, sikap kedua orang yang pernah saling mencinta itu.“Yaaa, seperti itu tadi.” Arya menjeda percakapannya, karena seorang pelaya
Dua panggilan tidak terjawab dan sebuah pesan masuk sekitar satu jam yang lalu. Cita hanya melihat hal tersebut pada pop up notifikasi yang ada di layar ponsel dan membiarkannya.Yang menjadi perhatian Cita saat ini, justru pesan dari Kasih. Ibu hamil itu mengiriminya pesan dengan huruf kapital dan banyak tanda seru di belakangnya.“AYO KETEMUAN!!!!!”Cita terkekeh sendiri, lalu segera menelepon kakak perempuan yang hampir tidak pernah ditemuinya belakangan ini. Kesibukannya yang padat, membuat Cita tidak ingin pergi ke mana-mana jika sudah berada di rumah, atau ketika hari liburnya tiba.“Napa, Kak?” todong Cita menjauh dari keramaian setelah selesai melakukan sedikit wawancara di sebuah gedung pertemuan.“Aku bedrest! Bosan nggak bisa ke—”“Hah? Kenapa bisa sampe bedrest? Kecapean, atau kenapa?” cecar Cita baru mengetahui hal tersebut. “Dari kapan? Kok, papa nggak ada ngabarin?”“Baru hari ini,” jawab Kasih dengan helaan panjang setelahnya. “Tadi pagi ke dokter, karena aku ngflek da
“Tante ...” Dengan terpaksa, Cita harus mengganggu obrolan Elok dan sang suami, yang sedang duduk santai di tepi kolam renang.“Loh!” Elok menoleh dan segera beranjak menghampiri. “Sudah mau pulang?”“Bukan.” Cita terkekeh pelan dengan menggeleng. “Maaf kalau ganggu, tapi, apa bisa bicara sebentar?”“Sama Om Lex?” Elok menoleh pada suaminya sekilas. “Atau sama Tante?”“Sama Tante.”“Oke, oke.” Elok mengangguk-angguk lalu kembali menatap Lex. “Mas, aku tinggal bentar.”Saat Lex mengangguk, Elok segera merangkul Cita kembali masuk ke dalam rumah. Merasa ada hal pribadi yang ingin dibicarakan Cita, maka Elok mengajak gadis itu menuju ruang kerja Lex.“Arya masih di atas?” tanya Elok sambil membukakan pintu ruang kerja dan masuk lebih dulu ke ruang kerja.“Iya, masih sama bang Awan, sama kak Kasih.” Cita melihat Elok lebih dulu duduk di sofa panjang. Wanita itu memintanya menutup pintu, lalu segera duduk di sampingnya.“Kamu balikan sama Arya?” tanya Elok setelah pintu ruang kerja Lex ter
“Oia, jangan juga kasih tahu Duta kalau aku bedrest.”Permintaan Kasih tersebut, membuat Cita yang masih betah berada di tempat tidur mengangguk-angguk. Ia sedang melakukan panggilan video dengan Kasih, karena wanita itu tengah dilanda kebosanan yang teramat sangat. Hari masih pagi, tetapi obrolan mereka hampir tidak pernah terputus.“Tapi, tante Kiya sama om Gilang, emang nggak tahu kalau kamu bedrest, Kak?”Kasih menggeleng. “Mama nggak ngomong ke siapa-siapa, biar nggak rame yang jenguk. Nanti aku capek katanya.”“Semalam sudah ngasih tahu Arya juga nggak?” Karena Arya sedang mengerjakan proyek dengan Duta, pastilah kedua pria itu akan sering berkomunikasi.“Nah! Itu dia!” Kasih lagi-lagi menggeleng. “Kamu yang telpon Arya, ya! Eh, udah dulu, ya, Cit. Mama udah bawain makanan. Nanti kita ghibah lagi. Jangan lupa telpon Arya! Babay!”Cita menahan napas, ketika wajah Kasih hilang dalam sekejap dari pandangannya. Wanita itu, memang selalu mengakhiri panggilan, tanpa menunggu jawaban l
Cita mengakhiri panggilannya ketika sudah melihat Arya melambai dan berjalan ke arahnya. Yang mengejutkan ialah, pria itu tengah menggendong sebuah boneka kelinci, yang besarnya hampir menutup tubuh Arya.Semakin Arya mendekat, debaran jantung Cita semakin cepat. Perasaan seperti ini, membuat Cita semakin yakin, perasaannya ternyata hanya untuk Arya seorang.“Udah check-in?” tanya Cita sambil menahan luapan emosi dan rasa gugup yang mendera. Kedua tangannya mengerat memegang tali ras yang menyilang di depan dada dan berusaha tersenyum seformal mungkin.Arya mengangguk, lalu menyerahkan boneka kelinci yang dibawanya pada Cita. “Yang ini bu Kelinci.”“Kok, bu Kelinci?” Akhirnya, Cita terkekeh geli. Namun, ia belum mengambil boneka tersebut dari Arya. “Buat siapa?”“Buat bidadariku.” Arya meraih tangan Cita, lalu menyerahkan boneka tersebut pada gadis itu. “Karena warnanya pink dan lagi megang botol susu, jadi kita panggil dia ibu kelinci.”Tawa Cita semakin keras. “Kenapa gedean bu keli
“Mas.” Rinai menunjuk seorang gadis yang baru saja keluar dari mobil sedan hitam, yang berhenti di depan gedung Antariksa. “Tahu nggak, dia itu siapanya mas Arya? Cewek yang pake ransel abu-abu itu, tu!”Sembari mencari tempat parkir, Duta menoleh sebentar ke arah telunjuk sepupunya tertuju. Tanpa harus memicingkan mata, Duta sudah tahu siapa yang dimaksud oleh Rinai.“Kenapa tanya-tanya?” Duta harus mengetahui maksud Rinai terlebih dahulu.“Kemarin, dia ada di mobil mas Arya,” jawab Rinai tidak melepas tatapannya, pada gadis yang berjalan masuk ke gedung Antariksa. “Terus, aku juga lihat mas Arya video call-an sama dia? Ceweknya, ya?”“Kenapa nggak tanya sama Arya langsung?” Duta berbelok pelan, ketika sudah menemukan tempat parkir yang kosong.“Aku sudah tanya, tapi, dia nggak pernah jawab.” Rinai beralih pada Duta, setelah sosok gadis yang dilihatnya sudah menghilang dari jangkauan. “Mas Arya paling senyum. Kalau nggak, langsung ngomongin kerjaan. Kayak menghindar gitu.”“Kamu suda