Share

6. Hans Menyerah, Tuan Marco Marah

Berusaha untuk tidak sedih, namun hatinya terasa sesak setiap kali datang ke kafe itu. Sudah tahu begitu, Maya tetap saja mampir ke sana setiap harinya walau hanya sekedar minum kopi. Berkat Hans, dia bisa kembali memakan donat yang sudah lama tidak berani dilakukannya.

Aidan. Tiba-tiba pria itu terlintas dipikirannya. Ketika ingat dengan sang anak, Maya juga jadi teringat dengan Aidan. Dia membuka ponselnya, mencari room chat milik Aidan yang kosong. Padahal, Maya selalu menyimpan riwayat chatnya dengan Aidan sejak mereka pacaran. Namun setelah bercerai, semuanya sengaja dia hapus. Meninggalkan penyesalan yang terus mengganggu hatinya.

“Bagaimana, ya? Apa aku cari pekerjaan di tempat lain saja?”

Awalnya, Maya yakin dia akan diterima si perusahaan itu. Keberadaan Rachel sebagai manager di sana membuat Maya berpikir untuk mundur sebelum nantinya bergabung.

Sebuah pesan masuk dari Hans tidak pernah langsung dibuka. Setelah beberapa menit, Maya baru membukanya. “Jalan-jalan?” ucap Maya setelah membaca pesan itu.

Karena mungkin Maya terlalu lama membalas, Hans akhirnya menelpon. “Apa aku mengganggumu?”

“Tidak, kok.”

“Sudah selesai wawancaranya?”

“Sudah.”

“Mau jalan-jalan?”

“Aku akan mengantarmu ke rumah sakit lebih dulu.”

“Sepertinya tidak perlu. Aku baik-baik saja.”

“Aku ke apartemenmu sekarang.”

Panggilan itu Maya matikan sepihak. Dia bersiap untuk pergi. Namun sebelum Maya benar-benar meninggalkan kafe, dia merasa tangan yang menepuk pundaknya. Dengan terkejut, Maya menengok dan menemukan Rachel di sampingnya, senyumnya terlihat tajam namun ramah. Rachel, dengan senyum yang terkesan tidak bersahabat, mendekati meja di mana Maya duduk sendirian.

“Kita bertemu lagi di sini.”

Maya merasa terkejut dan tidak nyaman melihat Rachel di sana, mengingat pertemuan mereka sebelumnya tidak berakhir baik. Maya mencoba untuk tetap tenang dan menyembunyikan ketidaknyamanannya.

“Oh, Bu Rachel?”

“Hey, santai saja. Tidak perlu seperti itu.”

“Oh, baiklah. Saya pergi dulu,”

“Kapan kamu punya waktu untuk bicara dengan saya?”

“Mungkin …,” Maya berpikir sejenak. “besok saat saya mengirimkan desain yang Anda pinta?”

“Baiklah, saya tunggu. Oh, iya, Hans sedang menunggumu di depan.”

Maya mengangguk, mencoba untuk menyembunyikan ketegangan di dalam dirinya. "Terima kasih. Sampai jumpa besok."

Maya mencoba untuk tidak menunjukkan kebingungannya pada Rachel. Dia cepat-cepat mengambil tasnya dan meninggalkan Rachel sendirian di meja. Saat tiba di luar kafe, Maya melihat Hans. Dia merasakan kelegaan meskipun hatinya masih dipenuhi dengan kekhawatiran atas pertemuannya dengan Rachel. Maya merasa ada yang aneh dari wanita itu. Mulai dari ucapan, senyuman, dan tingkahnya sejak pertama kali bertemu.

“Hans?”

“Oh, Maya?”

“Rachel bilang kalau kamu menungguku? Kalian datang bersama?”

***

Sudah hampir 2 tahun, rumah yang pernah dia tempati selama 5 tahun itu ditinggalkan. Hans dengan sangat ragu dan berat hati, kembali datang ke sana seorang diri. Jika bukan karena Maya, dia tidak akan mau datang lagi ke tempat yang penuh luka itu.

“Di mana Tuan Marco?”

“Mau apa kamu mencarinya?” tanya Vito, senior Hans yang juga bekerja untuk Marco. Dia orang yang pernah sangat melindungi Hans setiap kali Marco memarahinya.

“Apa dia sedang tidak di rumah?”

“Hans, tolong berhenti. Sampai kapan pun, kamu tidak akan bisa kabur darinya. Dia mengawasimu selama ini, sekali pun kamu ada di Swiss. Dia diam bukan berarti lupa. Dia hanya mencari waktu yang tepat.”

“Aku tahu. Aku masih berusaha memenuhi syarat dari Tuan Marco agar bisa segera terlepas darinya.”

“Lalu, kamu datang ke sini karena sudah berhasil memenuhi syaratnya? Kamu sudah menemukan wanita terakhir?”

“Di mana Tuan Marco?” tanya Hans lagi, tanpa menjawab pertanyaan itu.

“Apa yang ingin kamu lakukan? Tolong jangan menentangnya, Hans.”

“Biarkan saja, Vito. Dia ingin menemuiku, kenapa kamu melarangnya?”

Orang yang Hans cari ternyata ada di sana. Dia mendengar semua pembicaraan mereka dari lantai atas. Hans meninggalkan Vito, berjalan mendekati bos yang telah mengurusnya selama 8 tahun sejak masih SMA.

“Apa kabar, Tuan?” tanya Hans dengan sopan.

“Kabar saya baik, tidak sepertimu.” Marco memegang lengan Hans yang walau tertutup jaket, dia dapat tau kalau ada luka dibaliknya. “Kenapa lenganmu?”

“Hanya luka biasa. Tuan, ada yang ingin saya bicarakan.”

“Silahkan duduk dulu.” Marco duduk di sebuah sofa besar, namun Hans tetap berdiri dihadapannya. “Saya senang kamu datang untuk menemui saya. Saya pikir, kamu ingin menemui Rachel? Atau mungkin kamu sudah menemuinya?”

“Tuan, saya tidak sanggup memenuhi syarat itu.” Hans mengatakannya langsung, tidak ingin basa basi lagi. “Tolong biarkan saya pergi, Tuan. Saya mohon.”

“Kamu sudah membawakan 2 wanita pada saya hanya dalam waktu 2 bulan. Tersisa 1 wanita lagi saja. Sudah 2 tahun saya menunggu, lalu tiba-tiba kamu mau menyerah? Boleh saja, tapi saya tidak akan melepaskanmu.”

“Saya mohon, Tuan. Saya tidak ingin melakukan semua kejahatan ini lagi.”

“Lagi pula, tidak ada yang dapat menghapus statusmu sebagai seorang penjahat. Kamu sudah melakukan banyak kriminalitas sejak lulus SMA.”

“Tapi setidaknya, saya sudah berhenti melakukannya.”

“Kenapa kamu tidak bawa wanita itu pada saya?”

“W-wanita?” tanya Hans penuh curiga.

“Maya. Bawa dia pada saya dan saya akan melepaskanmu.”

“Dari mana Tuan mengetahuinya?”

“Seperti yang Vito bilang, selama ini saya mengawasimu.”

Jantungnya berdetak tak semestinya. Hans merasa takut sekaligus kesal. Dia tidak ingin Maya menjadi korbannya, masuk ke dalam hidupnya yang kelam. Tapi, Hans juga tidak ingin melepaskan Maya, apalagi untuk Marco jadikan budak.

“Tidak akan pernah, Tuan. Dia milik saya.”

“Selama ini, yang saya miliki kamu anggap milikmu juga, kan? Bahkan, kamu mengambil Rachel, anak saya, milik saya!”

“Saya sudah mengembalikan Rachel pada Tuan.”

“Baiklah, baiklah. Bawakan saya 1 wanita lagi atau kamu tidak akan pernah terlepas dari saya?”

Hans tidak tahan lagi. Dia selalu ingin membela diri setiap Marco kasar dan membuatnya kesal. Namun, itu hanya akan membahayakan dirinya dan orang terdekatnya. Diperjalanan pulang, Rachel menelpon berkali-kali.

“Halo? Ada apa?”

“Aku pikir kamu sedang bersama Maya saat ini. Ternyata tidak.”

“Kamu bersamanya?”

“Aku akan menemuinya. Dia sedang duduk sendiri, seperti biasanya.”

“Jangan lakukan apa-apa padanya, Rachel.”

“Kalau begitu, datanglah.”

Hans menarik napas panjang. Baru beberapa hari di Indonesia, dirinya sudah dibuat pusing dan panik berlebih. Dengan taxi yang dipesannya, Hans bisa cepat sampai di kafe yang dimaksud. Baru saja sampai, dia langsung berpapasan dengan Maya yang baru keluar dari kafe itu.

“Hans?” panggil Maya dengan suara lembutnya.

“Oh, Maya?”

“Rachel bilang kalau kamu menungguku? Kalian datang bersama?”

“Oh, t-tidak. Aku sengaja datang ke sini untuk menemuimu, lalu tidak sengaja bertemu dengannya.”

“Dari mana kamu tahu aku ada di sini?”

“Aku ….” Hans tidak ingin Maya tahu kalau dia masih berhubungan dengan Rachel.

Melihat Hans seperti mulai terpojokkan, Maya sadar dan mencoba memahaminya. “Ayo, kita ke rumah sakit untuk memeriksa lenganmu?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status