Dava pergi ke diskotek tempat ia biasa datang, ia tidak berminat menari di lantai dansa dan hanya menghabiskan tiap seloki alkohol yang tak henti membasahi tenggorokannya. Sejak pertemuan dengan Arka siang tadi ia merasa begitu sesak, persahabatan mereka berada di ujung tanduk hanya karena kesalahan Arka.
“Apa yang terjadi?” tanya Rangga melihat betapa frustrasi pelanggan yang sedang berada di hadapannya. Dava menarik nafas dalam, “Persahabatan kami di ujung tanduk.” “Apa kamu membuat kekacauan lagi?” Rangga tahu betul seperti apa persahabatan ketiga pria playboy yang juga pelanggan tetapnya. Arka dan Gavin adalah pria yang selalu berhati-hati pada tindakan yang akan mereka ambil, itulah kenapa mereka bisa menjalankan bisnis dengan baik. Berbeda dengan Dava yang selalu menimbulkan masalah. Dava menatap tajam Rangga setela mendengar perkataan bartender muda itu, Rangga tidak terintimidasi. Ia justru tertaNayara sudah di pindahkan ke ruang perawatan seperti tempat ia biasanya tinggal selama empat tahun di sini. Tentu saja ruangan itu sedikit lebih luas dan bersih daripada pasien lain karena Nayara adalah pasien VIP di sini.Ini hari kedua Gavin tak berani mendekat pada Nayara, ia selalu menjaga jarak aman agar tidak tertangkap pandangan Nayara. Meski begitu Nayara tahu betul bahwa Gavin berada di sekitarnya dan tak berani mendekat.‘Ibu harus bagaimana?’ Nayara berkata sangat lirih. Anak kecil di sampingnya adalah imajinasi nyata yang harus selalu ia rahasiakan. Beberapa dokter selalu ingin menghapus jejak kecil itu dari dalam dirinya, tanpa mereka mengetahui bahwa itu adalah satu-satunya kekuatan untuk Nayara bisa bertahan selama ini.‘Jika aku memutuskan untuk memegang kembali sambutan tangannya, apakah ia tidak akan menyakiti aku lagi seperti dulu?’‘Bisakah ia menjadi pegangan yang aku andalkan?’
Dava mendapati dirinya tengah terbangun di hotel, saat ia menoleh ke kanan di sebelahnya ada Claire yang masih tertidur dengan pulas. Ia sedikit terkejut hal terakhir yang ia ingat adalah saat dirinya di Bar bersama Rangga.Dava mulai duduk dan memijat kepalanya yang terasa pening. Ingatan mulai bermunculan di benaknya, dari dirinya yang tengah di bopong Claire hingga saat Mivi mengajak ia berpisah. Dava kini merasa seperti di tengah pusaran angin tornado, ia sudah membuat kesalahan besar. Meski ia begitu ingin berpisah dari Mivi tapi tidak dengan cara menyakiti Mivi secara terang-terangan. Gadis itu bukan tipe orang yang akan tinggal diam saat di usik, juga Ayah dari Mivi adalah orang berpengaruh yang jika dia tahu apa yang telah Dava lakukan pada putrinya maka kehidupan Dava sedang dalam bahaya.“Kamu sudah bangun?” tanya Claire dengan mata yang masih menyipit.“Aku dalam masalah besar!”“Kenapa?” Claire mul
Arka sudah sibuk dengan tour pameran keliling Asia Tenggara, ia sama sekali tidak tahu bahwa di Indonesia Dava sudah membuat masalah yang membuat Manajemen Stone mengalami kerugian besar. Tiga minggu setelah kejadian itu Dava hanya menghabiskan waktu dengan berdiam diri di apartemen. Ia belum menemukan cara membalas perbuatan Mivi padanya. Gavin juga harus membagi waktunya yang padat antara kantor dan Nayara, ia hanya bisa mengunjungi gadis itu tiap Sabtu dan Minggu. Setelah itu ia harus kembali ke kantor untuk membereskan permasalahan yang dibuat Dava.Di Singapura Arka sudah menyelesaikan tour terakhir pameran. Ia ingin segera berangkat ke Australia, tapi masih ada jamuan makan siang yang harus ia hadiri terlebih dulu. Matanya tak berhenti menatap jarum jam, ia ingin acara basa basi ini segera berakhir.Ia juga sempat mengirim SMS setiap harinya pada Ara meski tidak pernah Ara balas. Hari ini Arka juga mengirim SMS bahwa ia akan segera menyu
Arka menemani Ara dengan baik di rumah sakit, ia tak meninggalkan gadis itu bahkan sebentar. Meski Ara masih tak banyak bicara terhadapnya, ia hanya terus memastikan bahwa Ara tidak kekurangan apa pun selama di rawat. Ini hari ke dua mereka di rumah sakit, Arka sedang membaca buku di sofa tak jauh dari tempat tidur Ara.Ruangan begitu sunyi meski ada dua orang di dalamnya. Ara terus melirik ke arah Arka, ia tetap sibuk dengan buku yang di pegangnya.“Apa kamu perlu sesuatu?” tanya Arka ketika sadar bahwa ada dua bola mata yang terus mengamatinya.“Aku merasa pengap terus berada di dalam ruangan, bisakah kamu membawaku keluar sebentar?”Arka tersenyum tipis mendengar Ara akhirnya meminta sesuatu pada dirinya, ia seperti mengakhiri gerakan tutup mulut yang sudah dua hari ini ia lakukan.“Baiklah, aku akan mengambil kursi roda sebentar.”Tak berapa lama mereka sudah berada di taman, Ar
Dava berkunjung ke ruang kerja Gavin setelah menghabiskan tiga minggunya hanya berdiam diri di Apartemen. Media belum sepenuhnya meredam berita tentang skandal dirinya, apalagi Claire ikut menyentil Mivi di setiap media sosial. Hal itu membuat pemberitaan tentang dirinya semakin melebar ke mana-mana dan yang mendapat panggung untuk semua ini tentu adalah Mivi dan Claire. Dava hanya semakin tersudut dengan semua jadwal kerja yang terpaksa di batalkan.“Untuk apa kamu datang kemari? Media masih berkerumun di depan kantor, kamu seharusnya tetap berdiam diri,” kalimat itu keluar dari bibir Gavin setelah Dava memasuki ruang kerjanya. Ia masih menyimpan banyak amarah dalam hatinya, karena Dava ia mengorbankan banyak hal, waktu dengan Nayara dan uang yang banyak untuk membayar kerugian. Ia memang sahabat Dava, tapi bisnis bukan hanya tentang persahabatan. Ada banyak karyawan yang menjadi tanggung jawab Gavin bukan hanya Dava.“Aku hanya merasa
“Baiklah, buktikan saja. Sebelum membunuhku kamu pasti sudah menikam Arka lebih dulu!” jawab Dava dingin.Ia meninggalkan Gavin dalam kekacauan. Gemetaran di tubuh Gavin membuat otaknya tidak dapat berfungsi dengan baik. Jika ini hanya manipulasi Dava makan dia bertekad akan membelah tubuh Dava menjadi dua. Tapi, untuk membuktikan itu ia sekarang harus terbang ke Australia, yang Gavin tahu Arka sekarang tengah berada dalam tour peragaan busana dan make up di beberapa negara Asia Tenggara. Ia tidak mungkin mendatangi Arka yang entah sekarang berada di negara mana untuk mendapatkan penjelasan darinya.Gavin meraih handphone di atas meja. Ia segera keluar dengan wajah yang kalut, “Hubungi pilot pribadiku, aku butuh jet pribadi untuk di terbangkan ke Australia sekarang!” perintah Gavin pada sekretarisnya.“B-baik pak,” jawab sekretaris itu yang sedikit ketakutan melihat wajah dingin Gavin, cara melangkah pria itu sudah
Hawa panas memenuhi penjuru ruangan, untuk beberapa saat ketiga orang itu hanya berdiri dalam diam. Kaki Ara gemetar melihat kakaknya penuh amarah di depan matanya. Keringat dingin membasahi punggungnya, tapi Arka terlihat begitu tenang.Hanya Tuhan yang tahu bahwa sebenarnya Arka sepenuhnya merasa kerdil dan ketakutan. Ia tak pernah melihat tatapan dingin Gavin seperti hari ini. Arka tetap berusaha menyeimbangkan diri, ia harus menjadi kuat di hadapan Ara. Cepat atau lambat ia juga harus menghadapi Gavin, meski hari ini terlalu cepat baginya.Ara berusaha melepaskan genggaman tangan Arka setelah tatapan tajam kakaknya menatap pegangan itu, tapi Arka justru semakin kuat menahan genggaman itu. Jantung Ara semakin berdegup dengan kaki yang kian melemas, ia seperti tengah berada di medan perang.“Lepaskan!” pekik Gavin“Gavin maafkan aku, tapi kali ini aku tidak akan melepaskan tangan adikmu.”Gavin menarik tangan Ara s
Sepanjang perjalanan Ara hanya duduk diam dalam ketakutan, bahkan bernafas saja ia sangat berhati-hati. Ia ingin menyamarkan kehadiran dirinya di dalam pesawat yang hanya berjarak satu bangku dengan kakaknya. Gavin sedari tadi terlihat memijat keningnya atau menatap kosong dari balik jendela, udara dingin masih menguap dari tiap pori-pori Gavin hingga membuat seisi ruangan terasa begitu dingin.Gavin sebenarnya menahan rasa sakit yang terus menjalar di kepalan tangan yang tadi sudah menghancurkan wajah sahabatnya sendiri. Hatinya masih diliputi amarah, tapi di ujung terdalam masih tersisa rasa bersalah sudah membuat Arka terluka.Saat tengah malam mereka sudah sampai di rumah, Tante Geby belum tidur ketika mendengar suara mobil memasuki rumah. Di atas tangga berbentuk setengah lingkaran ia menatap siapa yang datang di tengah malam. Saat pintu besar itu di buka, ia terkejut melihat yang datang adalah Gavin dan Ara. Mulutnya menganga lebar hingga rahangnya