“Dok, apa tidak bisa istirahat sebentar?”Lex dengan bahasa formalnya, sudah berusaha menahan diri sedari tadi. Melihat sang istri yang mengejan dengan susah payah, membuatnya harus mengatur napas berkali-kali guna menenangkan diri. Pantas saja Pras kala itu tidak mengizinkan Sinar memiliki anak lagi, ternyata suasana di ruang persalinan sangatlah horor. Melebihi ketika Lex berada di ruang persidangan.Elok mencengkram tangan Lex. Meringis kesal, karena ucapan absurd tersebut. “Ini bukan di ruang sidang, Mas ... nggak ada istirahat, sampai anakmu kelu— erghh …” Saat rasa itu kembali hadir, dokter pun sudah sigap seperti yang sudah-sudah. Elok menarik napas panjang sesuai instruksi, kemudian berusaha kembali mengejan sekuat tenaga. Namun, untuk percobaan yang sudah kesekian kalinya, putranya itu sepertinya belum mau keluar juga. Ia kembali terengah, lalu mencoba mengatur napas dengan sisa-sisa tenaga yang masih ada.“Pak Lex mohon tenang,” pinta dokter ketika melihat mulut Lex terbuk
“Kiya, tolong ambil tas yang tertinggal di rumah Lex,” pinta Adi saat memasuki ruang rawat VVIP, yang akan digunakan Elok setelah keluar dari ruang persalinan nantinya. “Tas apa, Pak?” Kiya yang tengah bicara dengan Dianti segera berdiri dari sofa. Melirik sebentar pada Duta dan Kasih, yang sedang menonton televisi di atas ranjang pasien. Kedua bocah itu terlihat akrab, dan selalu saja ada bahan untuk diobrolkan. “Isinya baju-baju Elok,” kata Adi menghampiri ranjang pasien lalu duduk di tepi, tepat di samping Kasih. “Pergilah sama Gilang, tapi kamu yang nyetir.” “Ayo, Ki,” ajak Gilang sambil bersandar di bingkai pintu, dan baru saja datang bersama Adi. “Duta—” “Duta biar sama saya,” putus Adi lalu mengulurkan tangan ke kepala bocah laki-laki itu. “Kamu di sini aja temani Kasih. Bundamu biar jalan sebentar sama om Gilang.” “Iya!” sambar Kasih lalu menepuk paha Duta yang bersila di sebelahnya. “Kamu di sini aja, Dut. Jangan nangis kalau ditinggal.” “Siapa yang nangis?” Duta mengat
Adi mengangguk-angguk dan memperlihatkan wajah seriusnya, ketika mendengar Duta berbicara. Menaruh perhatian penuh, agar bisa mengambil hati bocah itu. Adi melakukan itu semua, supaya bisa mengenal karakter Duta lebih dalam lagi. Selain itu, Adi juga ingin Duta merasa nyaman terlebih dahulu dengan keluarga Mahardika. Jika sudah nyaman, Gilang akan mengurus semua sisanya. Sementara ini, biarlah Gilang berkonsentrasi untuk mengambil hati Kiya. Setelah itu, Adi yakin semua akan berjalan sesuai dengan rencananya. “Kalau libur nanti, ajak bundamu main ke rumah Opa.” Adi bahkan sudah menyuruh Duta untuk memanggilnya, dengan sebutan yang sama dengan Kasih. Begitu juga dengan Dianti, agar mereka mudah mengakrabkan diri. “Om Gilang punya banyak game di kamarnya,” timpal Kasih mulai memamerkan semua hal yang dimiliki Gilang. “Ada PS, ada xbox, ada nintendo, terus … apa itu Opa, yang kayak kacamata?” “Apa, ya?” Adi menatap Dianti yang duduk santai di sofa. Saat istrinya itu menggeleng tidak
“Pa, aku minta kelonggaran waktu kerja selama satu bulan.” Ulah apa lagi yang akan diperbuat Gilang selama satu bulan ke depan, pikir Adi. Ia baru saja kembali dari rumah sakit, tetapi sudah dituntut penyataan seperti itu oleh putranya. “Kasih alasan yang jelas, kenapa Papa harus ngasih kamu kelonggaran, padahal kamu baru kembali lagi ke Jurnal?” “Aku mau antar jemput Duta sekolah.” “Kenapa—“ “Cuma satu bulan, Pa,” mohon Gilang kemudian mengikuti Adi pergi ke ruang kerjanya. Dianti sepertinya masih berada di rumah sakit dengan Kasih, karena Gilang tidak melihat wanita itu pulang bersama Adi. “Bagaimana dengan Kiya?” Adi berhenti sebentar saat sudah berada di tengah-tengah ruang kerjanya. Namun, setelah itu ia berbalik dan kembali pergi keluar ruangan. “Kalau Duta aman, Kiya aman.” Gilang berdecak kecil, karena harus kembali berjalan dan mengikuti Adi keluar ruangan. “Yakin?” tanya Adi tetap berjalan tanpa menunggu Gilang yang menyusulnya di belakang. “Yakin!” Lelah mengikuti Ad
“Jadi, selama satu bulan ke depan, Om yang antar jemput kamu sekolah.” Gilang menatap Duta, yang sejak tadi tidak mengeluarkan sepatah kata dari mulutnya. “Kenapa diam aja? Kamu nggak suka Om antar ke sekolah?”Duta menggeleng ragu. Antara suka karena ini adalah pengalaman pertamanya menaiki mobil mewah, dan tidak, karena Gilang memiliki niat menikahi bundanya. Ia masih tidak bisa terima, dengan satu hal itu. Menurutnya, satu-satunya pria yang pantas untuk Kiya adalah ayahnya, Garry. Namun, ada hal yang masih tidak bisa Duta mengerti hingga saat ini. Yakni, tentang keluarga ayahnya.Karena tidak kunjung mendapat jawabannya, Duta pun memilih untuk mengabaikan hal itu untuk sementara. Lantas, tatapannya kemudian jatuh pada tongkat yang tergeletak di antara tempat duduknya, dan Gilang.“Om Gilang sudah sembuh?”“Belum.” Ternyata, membujuk Duta tidaklah semulus yang ada di pikiran Gilang. Namun, mengapa Adi bisa dengan mudah melakukannya. “Dan, nggak tahu bisa sembuh apa nggak.”“Kenapa b
“Bun.”Duta masuk ke kamar Kiya, yang selama ini ditempati berdua dengan Raissa. Ia duduk pada karpet di samping tempat tidur, dan melihat Kiya yang tengah melipat pakaian yang selesai dijemur.“Ya?” Kiya sampai lupa bertanya mengenai pengalaman Duta bersama Gilang hari ini. “Gimana, gimana?”“Bunda lebih senang nikah sama om Gilang, atau nikah lagi sama ayah?” Karena Gilang memintanya bertanya akan hal tersebut, maka Duta pun segera melakukannya setelah selesai belajar.Kiya tidak jadi melipat blazer kerjanya, dan meletakkannya di pangkuan. Mungkin, sudah waktunya untuk menceritakan beberapa hal mengenai keluarga Garry pada Duta. Kiya tidak bisa menyembunyikannya lebih lama lagi, karena putranya juga harus mengetahui kenyataan yang ada.“Sebenarnya, Bunda itu bakal senang, asal kamu juga senang.” Kiya menyelonjorkan kaki, lalu bersandar pada lemari plastik yang ada belakangnya. “Bunda tahu, kamu mau Bunda nikah lagi sama ayah, tapi … keluarga ayah nggak mau menerima orang seperti kit
“Kalau Mas Gilang capek, kita bisa duduk dulu, istirahat.” Kiya khawatir kaki Gilang tiba-tiba keram, ketika mereka sedang mencari kado di pusat perbelanjaan seperti sekarang. Harusnya, Kiya berpikir kembali ketika hendak mengajak Gilang pergi ke sebuah pusat perbelanjaan, karena kondisi kaki pria itu yang belum cukup pulih.“Nanti aku bilang kalau capek.” Dari tatapan Kiya yang tertuju pada kakinya, Gilang paham gadis itu sedang mencemaskannya. Gilang lantas meraih tangan Kiya dan menautkan jemari mereka. “Tapi, kalau jalannya gandengan gini, aku nggak bakalan capeklah.”Kiya terkekeh, lalu kembali melanjutkan langkahnya. “Kamu, tuh, Mas. Pantas aja cewek-cewek pada klepek-klepek. Tiap hari dibikin baper terus.”“Nggak semua cewek baper, Ki.”Mengingat Damay, gadis itu akhirnya pergi menjauh dan jatuh ke pelukan Banyu. Jika dibandingkan dengan Kiya, Damay memang agak sedikit keras dan cenderung menutup hati. Namun dengan Kiya, gadis itu sepertinya merupakan typical yang santai, dan t
“Ini rumah siapa, Om?” Kedua tangan Duta menempel di kaca jendela mobil, menatap luas halaman yang bisa dipastikan lebih lebar dari rumahnya. Taman yang ada di sana terlihat sangat rapi, dan terawat dengan beberapa tanaman hias yang berjejer indah. “Kok, nggak pulang?”“Rumah opa Adi.” Nasib Gilang saat ini, ada di tangan Duta. Untuk mempercepat rencananya, Gilang akhirnya memutuskan untuk mencari jalan lain. Yakni, membawa Duta ke kediaman Mahardika dan membuat bocah itu nyaman berada di rumahnya.“Waaah … kita mau jenguk adek Rezky?” Duta lantas berbalik, dan menatap Gilang. “Ada Kasih juga?”“Rezky ada di rumahnya sendiri.” Melihat wajah tembem dan polos yang antusias itu, membuat Gilang ingin tertawa. “Kalau Kasih, jam segini masih ngeles. Dia sore baru pulang ke rumah.”“Ooo …” Duta mengangguk-angguk, kemudian menatap pelataran rumah yang ada di depan mata. Mobil yang dinaikinya baru saja berhenti, dan Duta sudah tidak sabar keluar untuk melihat-lihat. Ia menunggu pintu di sampin