“Bun.”Duta masuk ke kamar Kiya, yang selama ini ditempati berdua dengan Raissa. Ia duduk pada karpet di samping tempat tidur, dan melihat Kiya yang tengah melipat pakaian yang selesai dijemur.“Ya?” Kiya sampai lupa bertanya mengenai pengalaman Duta bersama Gilang hari ini. “Gimana, gimana?”“Bunda lebih senang nikah sama om Gilang, atau nikah lagi sama ayah?” Karena Gilang memintanya bertanya akan hal tersebut, maka Duta pun segera melakukannya setelah selesai belajar.Kiya tidak jadi melipat blazer kerjanya, dan meletakkannya di pangkuan. Mungkin, sudah waktunya untuk menceritakan beberapa hal mengenai keluarga Garry pada Duta. Kiya tidak bisa menyembunyikannya lebih lama lagi, karena putranya juga harus mengetahui kenyataan yang ada.“Sebenarnya, Bunda itu bakal senang, asal kamu juga senang.” Kiya menyelonjorkan kaki, lalu bersandar pada lemari plastik yang ada belakangnya. “Bunda tahu, kamu mau Bunda nikah lagi sama ayah, tapi … keluarga ayah nggak mau menerima orang seperti kit
“Kalau Mas Gilang capek, kita bisa duduk dulu, istirahat.” Kiya khawatir kaki Gilang tiba-tiba keram, ketika mereka sedang mencari kado di pusat perbelanjaan seperti sekarang. Harusnya, Kiya berpikir kembali ketika hendak mengajak Gilang pergi ke sebuah pusat perbelanjaan, karena kondisi kaki pria itu yang belum cukup pulih.“Nanti aku bilang kalau capek.” Dari tatapan Kiya yang tertuju pada kakinya, Gilang paham gadis itu sedang mencemaskannya. Gilang lantas meraih tangan Kiya dan menautkan jemari mereka. “Tapi, kalau jalannya gandengan gini, aku nggak bakalan capeklah.”Kiya terkekeh, lalu kembali melanjutkan langkahnya. “Kamu, tuh, Mas. Pantas aja cewek-cewek pada klepek-klepek. Tiap hari dibikin baper terus.”“Nggak semua cewek baper, Ki.”Mengingat Damay, gadis itu akhirnya pergi menjauh dan jatuh ke pelukan Banyu. Jika dibandingkan dengan Kiya, Damay memang agak sedikit keras dan cenderung menutup hati. Namun dengan Kiya, gadis itu sepertinya merupakan typical yang santai, dan t
“Ini rumah siapa, Om?” Kedua tangan Duta menempel di kaca jendela mobil, menatap luas halaman yang bisa dipastikan lebih lebar dari rumahnya. Taman yang ada di sana terlihat sangat rapi, dan terawat dengan beberapa tanaman hias yang berjejer indah. “Kok, nggak pulang?”“Rumah opa Adi.” Nasib Gilang saat ini, ada di tangan Duta. Untuk mempercepat rencananya, Gilang akhirnya memutuskan untuk mencari jalan lain. Yakni, membawa Duta ke kediaman Mahardika dan membuat bocah itu nyaman berada di rumahnya.“Waaah … kita mau jenguk adek Rezky?” Duta lantas berbalik, dan menatap Gilang. “Ada Kasih juga?”“Rezky ada di rumahnya sendiri.” Melihat wajah tembem dan polos yang antusias itu, membuat Gilang ingin tertawa. “Kalau Kasih, jam segini masih ngeles. Dia sore baru pulang ke rumah.”“Ooo …” Duta mengangguk-angguk, kemudian menatap pelataran rumah yang ada di depan mata. Mobil yang dinaikinya baru saja berhenti, dan Duta sudah tidak sabar keluar untuk melihat-lihat. Ia menunggu pintu di sampin
“Duta mau adek?”Melihat putra Kiya yang anteng saat melihat Rezky, Elok spontan membandingkannya dengan Awan, dan putrinya sendiri. Selain mulut kedua bocah itu yang tidak bisa diam, tangan mereka pun seolah ingin terus menempel di tubuh Rezki. Baik Kasih maupun Awan, begitu gemas dan selalu saja ingin mencubit pipi bayi yang usianya bahkan belum genap satu minggu.“Emm …” Duta yang tengah berdiri sambil melipat tangan di atas pagar boks bayi itu, menatap Elok. Kemudian, tatapannya berpindah lagi pada Rezky yang begitu kecil, jika dibandingkan dirinya sendiri. Bayi yang sedang tidur itu sangat menggemaskan dan Duta ingin sekali menggendongnya. “Mau!”Elok melipat bibirnya dalam-dalam sembari menatap Gilang. Adiknya itu tengah berbaring pada sofa di depan teve, dan terlihat sangat mengantuk. Sementara Elok, tengah menemani Duta dan duduk pada ujung sofa yang berbeda dengan Gilang.“Mau adek cewek atau cowok?” sambar Gilang yang sejak tadi berbaring miring, menatap interaksi Duta dan E
“Bun, apa ayah mau nikah?”Semalam, Duta tidak sempat mempertanyakan hal tersebut pada Kiya. Mereka berdua pulang terlalu larut, dan langsung tidur di kamar masing-masing. Sehingga, baru pagi ini Duta bisa mempertanyakan ucapan Gilang tadi malam pada sang bunda ketika sarapan.“Om Gilang yang bilang?” Setelah Duta berangkat sekolah, Kiya berencana akan menelepon Garry dan membicarakan beberapa hal.Duta mengangguk. “Kenapa Bunda nggak ngasih tahu aku? Terus, kenapa ayah juga nggak pernah bilang?”Bila benar Garry akan menikah, Duta merasa seolah dikhianati oleh ayahnya sendiri. Mengapa Garry tidak mengatakannya pada Duta lebih dulu? Padahal, mereka sempat beberapa kali melakukan panggilan video.Raissa memilih pergi dari dapur, karena tidak ingin ikut campur dengan pembicaraan ibu dan anak tersebut. Bukannya tidak peduli, tetapi keduanya memang harus bicara dari hati ke hati tanpa interupsi dari orang lain.Bagaimanapun juga, Kiya harus menceritakan hal yang ia tahu saja. “Kakek … pap
Pada akhirnya, usai sudah segala agenda Rapat Umum Pemegang Saham yang dilakukan perusahaan. Yang tersisa hanya lelah, dan Kiya ingin segera pulang untuk beristirahat dari segala penat yang menjerat sepanjang hari itu.“Ayo makan dulu, habis itu aku antar pulang.”Tahu-tahu, Gilang sudah berdiri di hadapan Kiya, sembari menyunggingkan senyum kecilnya. Pria itu, semakin hari semakin terawat dan penampilannya sudah kembali seperti Gilang yang dulu. Selalu rapi, wangi, tetapi tetap dengan setelan santainya.Lupakan sejenak dengan kaki Gilang yang sudah tidak bisa berjalan dengan sempurna itu. Mau dilihat dari sudut mana pun, Gilang memang sangat tampan. Namun, wajah nakal itu memang sudah terlihat dan tidak bisa lepas dari pria itu. Sangat berbeda bila melihat Banyu, atau Lex yang pembawaannya selalu tenang dan terlihat keras.“Aku sebenarnya mau ke tempat bu Elok, Mas,” kata Kiya sembari mematikan dua laptop yang ada di meja. “Mau ambil motor. Tapi, kayaknya capek banget.”“Motormu aman
Ada perasaan lega, setelah Kiya menceritakan hubungan yang pernah terjalin dengan Bumi dahulu kala, pada Gilang. Sebenarnya, hal itu bukanlah sesuatu yang harus dirahasiakan, tetapi Kiya hanya tidak ingin mengungkit semua hal terkait Bumi. Biarlah semua terkubur dalam-dalam, dan tidak perlu dibicarakan lagi.Kiya … tutup buku. Tidak ingin menengok masa lalu, karena baik Bumi maupun Kiya, sudah sama-sama melanjutkan hidup masing-masing.“Bun, ayah bilang sabtu ini mau pulang.” Duta memasuki kamar yang tidak tertutup, kemudian menyodorkan ponsel Kiya yang baru dipinjamnya untuk menelepon Garry.“Ayah bilang begitu?” Bukankah Garry baru akan mendapat off lagi bulan depan? Pasti karena Kiya akan mempertemukan Duta dan Fadil. Oleh sebab itu, Garry mungkin meminta izin agar bisa kembali ke Jakarta. “Beneran pulang sabtu ini?”Duta mengangguk. “Kata ayah, barusan sudah beli tiket. Berangkat sabtu pagi.”“Ya sudah, sekarang balik kamar terus tidur,” titah Kiya sambil mengusap puncak kepala Du
Kiya tidak melihat di mana posisi mobil Gilang. Entah pria itu membawa mobilnya sendiri, ataukah membawa milik Adi. Namun, sejauh mata memandang, Kiya belum menemukan dua jenis mobil yang biasa dibawa Gilang bepergian.Yang ada hanyalah Garry, yang baru saja datang dan terlihat sangat lelah. Sepertinya, pria itu tidak beristirahat dengan nyenyak semalaman. Ditambah, Garry juga sedang kurang sehat, tetapi pria itu memaksakan diri untuk terbang ke ibukota.“Ayo, Yah!” ajak Duta sudah tidak sabar ingin menemui keluarga sang ayah. Meskipun Kiya sudah memberi peringatan sebelumnya, tetapi Duta masih optimis, keluarga ayahnya bisa bersikap seperti keluarga besar Gilang. Siapa tahu saja, setelah bertemu dengan Duta semuanya bisa berubah.“Masuk mobil dulu,” pinta Garry sembari mengusap puncak kepala putranya. Jika saja Garry memiliki kuasa, mungkin mereka bertiga tidak akan berakhir seperti sekarang. Namun, ia dan Kiya harus berpikir realistis. Demi kelangsungan hidup bersama, juga masa depa