Kiya tidak melihat di mana posisi mobil Gilang. Entah pria itu membawa mobilnya sendiri, ataukah membawa milik Adi. Namun, sejauh mata memandang, Kiya belum menemukan dua jenis mobil yang biasa dibawa Gilang bepergian.Yang ada hanyalah Garry, yang baru saja datang dan terlihat sangat lelah. Sepertinya, pria itu tidak beristirahat dengan nyenyak semalaman. Ditambah, Garry juga sedang kurang sehat, tetapi pria itu memaksakan diri untuk terbang ke ibukota.“Ayo, Yah!” ajak Duta sudah tidak sabar ingin menemui keluarga sang ayah. Meskipun Kiya sudah memberi peringatan sebelumnya, tetapi Duta masih optimis, keluarga ayahnya bisa bersikap seperti keluarga besar Gilang. Siapa tahu saja, setelah bertemu dengan Duta semuanya bisa berubah.“Masuk mobil dulu,” pinta Garry sembari mengusap puncak kepala putranya. Jika saja Garry memiliki kuasa, mungkin mereka bertiga tidak akan berakhir seperti sekarang. Namun, ia dan Kiya harus berpikir realistis. Demi kelangsungan hidup bersama, juga masa depa
Baru saja kaki Restu keluar selangkah dari ruang tamu, dan menginjak teras, tubuhnya terjerembab karena Garry mendorongnya. Detik itu juga, Restu mengumpat keras dan kembali berdiri. “Gar—“ “Jangan ikut campur, dan jangan pernah bicara kasar dengan anakku!” desis Garry memperpendek jarak, lalu mencengkram kerah kaos Restu. “Kalian semua berengsek!” Tidak terima didorong dan diperlakukan kasar oleh sepupunya, Restu juga menarik kerah kemeja Garry. Tangan Restu sebenarnya gatal, ingin memberi satu tinjunya pada wajah Garry, tetapi melihat ada Kiya dan Duta berdiri di ambang pintu, maka ia mengurungkannya. “Dengar, Berengsek!” balas Restu mendesis dan berbicara pelan di telinga Garry. “Semakin lama anakmu itu berdiri di dalam sana, semakin lama juga dia dengar omongan kasar dari orang tuamu! Tempat dia, bukan di sini! Dasar bodoh!” Detik berikutnya, Restu mendorong keras tubuh Garry hingga pria itu terpental ke belakang. “Kiya, bawa anakmu itu pulang, dan jangan pernah lagi datang ke
Sepanjang perjalanan ke kediaman Anggoro, Gilang memilih diam dan tidak bertanya mengenai perihal yang terjadi di kediaman Pradipta. Kendati penasaran, tetapi Gilang memilih bersabar hingga waktu yang tepat itu datang.Dari wajah sendu Duta saja, Gilang tahu bocah itu tengah mengalami kesedihan yang luar biasa. Terlebih, Duta saat ini tengah duduk di pangkuan Kiya, dan menyandarkan tubuhnya dalam dekapan sang bunda. Tubuh Kiya saja sampai tenggelam, karena tertutupi oleh besarnya tubuh Duta.Namun, Gilang tahu, tidak hanya Duta yang tengah bersedih di sini. Sebagai seorang ibu, Kiya pasti lebih terluka lagi. Bedanya, Kiya masih bisa menutupi hal itu dan tidak menunjukkan kesedihannya di depan Duta.Setelah sampai di kediaman Anggoro, Gilang masuk lebih dulu dan segera mencari Kasih. Mungkin saja, dengan kehadiran Kasih, luka yang ada di hati Duta bisa sedikit tertutupi. Meskipun sementara, tetapi paling tidak, hal tersebut bisa membuat kesedihan Duta teralihkan.“Kaaas …”“Laaang. Mas
Sabar …Masih banyak jalan menuju Roma. Tidak jadi ke Bali, Gilang masih bisa mengajak Kiya dan Duta jalan-jalan ke tempat lainnya. Hanya gara-gara celetukan Lex, Kiya mendadak kehilangan antusiasmenya untuk liburan bersama Gilang.Agak susah memang, jika memiliki kakak ipar yang terlalu menjunjung tinggi norma-norma yang berada di masyarakat. Kenapa juga, Lex harus muncul di waktu yang tidak tepat seperti itu.“Sudah mainnya?” tanya Kiya setelah melihat Duta masuk dengan terengah. Sebenarnya, permainan apa saja yang ada di rooftop rumah Elok, sampai bisa membuat Duta ngos-ngosan seperti itu?“Belum, Bun,” Duta menghampiri Kiya yang masih berada di meja makan bersama Gilang. “Tapi aku laper, mau makan.”“Biiik.” Gilang langsung memanggil asisten rumah tangga Elok, yang dulunya juga pernah bekerja di kediaman Mahardika.“Mas Gilang, nggak usah,” cegah Kiya tidak ingin merepotkan siapa pun di rumah tersebut. “Kita pulang aja. Nanti biar makan di—““Jangan kayak orang lain.” Gilang menga
“Duta sudah tidur.”Kiya menghela lelah, kemudian duduk di samping Gilang dengan menjaga jarak. Ia baru saja keluar dari kamar Duta, dan menemani putranya itu sampai tertidur lelap. Setelahnya, barulah Kiya menemui Gilang yang tidak langsung pulang ketika mengantarnya. Pria itu memaksa mampir ke rumah Kiya, karena ada yang ingin dibicarakan lebih lanjut.“Harusnya, Mas Gilang itu bisa lebih sabar lagi,” lanjut Kiya sembari menumpu satu sisi kepala, dengan siku yang berada di atas punggung kursi. “Duta itu masih syok dengan masalah tadi pagi, tapi sudah ditodong begitu. Gimana anak nggak pusing, Mas.”“Tadinya, aku cuma mau memanfaatkan situasi,” terang Gilang ingin menjelaskan maksudnya pada Kiya. “Tapi, mana aku tahu kalau Duta sampe nangis begitu.”Kenapa Gilang harus jatuh cinta dengan janda beranak satu? Masih banyak gadis yang berkeliaran di lular sana, tetapi Gilang menjatuhkan hatinya justru pada Kiya. Yang membuat urusannya tidak rampung-rampung adalah, Kiya memiliki anak yang
Belum ada 15 menit Gilang pergi meninggalkan rumah Kiya, pintu rumahnya kini kembali diketuk dengan tidak sabar. Kiya yang baru saja berbaring dan hendak menutup mata, akhirnya terjaga. Ia tidak beranjak ke mana pun, karena mendengar suara derit pintu yang terbuka. Sepertinya, Raissa telah membukakan pintu untuk orang tersebut. Mungkin saja ada tetangga yang sedang berkunjung, untuk mengantarkan sesuatu.Namun, Kiya salah. Ia hafal benar dengan suara yang saat ini sedang berbicara dengan bundanya.Garry!Untuk itulah, Kiya segera beranjak dan keluar dari kamarnya untuk menemui pria itu.“Garry!” Kiya berseru tetapi dengan suara pelan, sembari menghampiri pria itu. “Ngapain ke sini.”“Garry mau bicara sama kamu,” ujar Raissa sedikit menggeser langkahnya. “Ajak dia keluar, Ki. Jangan bicara di sini.”“Makasih, Bun,” ucap Garry.Raissa mengangguk, kemudian berbalik pergi meninggalkan keduanya menuju kamar. Bukannya tidak menghargai Garry, tetapi, Raissa tidak ingin mencari masalah dan be
“Yesss!” Gilang menjerit, tetapi hanya di dalam hati. Ia tetap bersikap santai, dan tidak berlebihan ketika Kiya memberinya satu jawaban yang menjadi akhir dari perjalanannya.“Tapi, Duta gimana? Nggak papa, kan, kalau bunda nikah sama om Gilang?”Napas Gilang tertahan, ketika mendengar pertanyaan dari Dianti pada Duta. Gilang baru menyadari, perjalanannya bisa terhalang bila Duta sampai tidak merestui. Terlalu fokus dengan jawaban Kiya, membuat Gilang sampai melupakan Duta yang masih berdiri di sampingnya.Gawat! Jangan sampai Duta berkata tidak, karena bocah itu sangat menyayangi ayah kandungnya.“Saya …” Duta mengangkat wajah. Melihat wajah Gilang yang kini juga memandangnya. Untuk beberapa detik, Duta hanya terdiam dan menatap wajah yang selalu saja terbuka ketika bersamanya. Gilang tidak pernah menutupi apa pun, dan selalu menjawab semua pertanyaan Duta tentang apa saja.Sangat berbanding terbalik dengan ayah kandungnya sendiri, meskipun Duta tahu, Garry sangat-sangat menyayangin
“Yakin, ya?” Kiya kembali melempar pertanyaan tersebut pada Duta. “Bunda boleh nikah sama om Gilang?”Duta mengangguk sembari memakai sepatunya bergantian. Tidak ada alasan lagi untuk menolak, karena banyak hal yang sudah Duta pikirkan setelah kejadian di rumah ayahnya kemarin pagi. Bahkan, Garry tidak mampu mencegah Kiya dan dirinya masuk ke mobil Gilang, saat calon ayah barunya itu menjemputnya.Paling tidak, Duta ingin melihat Garry memperjuangkannya di hadapan Gilang, jika tidak bisa melakukan hal tersebut di depan orang tuanya. Namun, Garry hanya terdiam dan membiarkan Duta dan sang bunda pegi bersama Gilang.Jika mengingat hal tersebut, Duta rasanya ingin kembali memeluk sang bunda dan menumpahkan tangisnya.“Duta nggak papa, bener, ya?” tambah Kiya masih saja tidak yakin dengan keputusan Duta.“Iya, nggak papa,” kata Duta sudah berdiri dan meraih tas ranselnya. “Kata om Gilang, bunda nanti juga nggak boleh kerja lagi, kan? Jadi, bunda bisa antar jemput aku setiap hari di sekola