Sabar …Masih banyak jalan menuju Roma. Tidak jadi ke Bali, Gilang masih bisa mengajak Kiya dan Duta jalan-jalan ke tempat lainnya. Hanya gara-gara celetukan Lex, Kiya mendadak kehilangan antusiasmenya untuk liburan bersama Gilang.Agak susah memang, jika memiliki kakak ipar yang terlalu menjunjung tinggi norma-norma yang berada di masyarakat. Kenapa juga, Lex harus muncul di waktu yang tidak tepat seperti itu.“Sudah mainnya?” tanya Kiya setelah melihat Duta masuk dengan terengah. Sebenarnya, permainan apa saja yang ada di rooftop rumah Elok, sampai bisa membuat Duta ngos-ngosan seperti itu?“Belum, Bun,” Duta menghampiri Kiya yang masih berada di meja makan bersama Gilang. “Tapi aku laper, mau makan.”“Biiik.” Gilang langsung memanggil asisten rumah tangga Elok, yang dulunya juga pernah bekerja di kediaman Mahardika.“Mas Gilang, nggak usah,” cegah Kiya tidak ingin merepotkan siapa pun di rumah tersebut. “Kita pulang aja. Nanti biar makan di—““Jangan kayak orang lain.” Gilang menga
“Duta sudah tidur.”Kiya menghela lelah, kemudian duduk di samping Gilang dengan menjaga jarak. Ia baru saja keluar dari kamar Duta, dan menemani putranya itu sampai tertidur lelap. Setelahnya, barulah Kiya menemui Gilang yang tidak langsung pulang ketika mengantarnya. Pria itu memaksa mampir ke rumah Kiya, karena ada yang ingin dibicarakan lebih lanjut.“Harusnya, Mas Gilang itu bisa lebih sabar lagi,” lanjut Kiya sembari menumpu satu sisi kepala, dengan siku yang berada di atas punggung kursi. “Duta itu masih syok dengan masalah tadi pagi, tapi sudah ditodong begitu. Gimana anak nggak pusing, Mas.”“Tadinya, aku cuma mau memanfaatkan situasi,” terang Gilang ingin menjelaskan maksudnya pada Kiya. “Tapi, mana aku tahu kalau Duta sampe nangis begitu.”Kenapa Gilang harus jatuh cinta dengan janda beranak satu? Masih banyak gadis yang berkeliaran di lular sana, tetapi Gilang menjatuhkan hatinya justru pada Kiya. Yang membuat urusannya tidak rampung-rampung adalah, Kiya memiliki anak yang
Belum ada 15 menit Gilang pergi meninggalkan rumah Kiya, pintu rumahnya kini kembali diketuk dengan tidak sabar. Kiya yang baru saja berbaring dan hendak menutup mata, akhirnya terjaga. Ia tidak beranjak ke mana pun, karena mendengar suara derit pintu yang terbuka. Sepertinya, Raissa telah membukakan pintu untuk orang tersebut. Mungkin saja ada tetangga yang sedang berkunjung, untuk mengantarkan sesuatu.Namun, Kiya salah. Ia hafal benar dengan suara yang saat ini sedang berbicara dengan bundanya.Garry!Untuk itulah, Kiya segera beranjak dan keluar dari kamarnya untuk menemui pria itu.“Garry!” Kiya berseru tetapi dengan suara pelan, sembari menghampiri pria itu. “Ngapain ke sini.”“Garry mau bicara sama kamu,” ujar Raissa sedikit menggeser langkahnya. “Ajak dia keluar, Ki. Jangan bicara di sini.”“Makasih, Bun,” ucap Garry.Raissa mengangguk, kemudian berbalik pergi meninggalkan keduanya menuju kamar. Bukannya tidak menghargai Garry, tetapi, Raissa tidak ingin mencari masalah dan be
“Yesss!” Gilang menjerit, tetapi hanya di dalam hati. Ia tetap bersikap santai, dan tidak berlebihan ketika Kiya memberinya satu jawaban yang menjadi akhir dari perjalanannya.“Tapi, Duta gimana? Nggak papa, kan, kalau bunda nikah sama om Gilang?”Napas Gilang tertahan, ketika mendengar pertanyaan dari Dianti pada Duta. Gilang baru menyadari, perjalanannya bisa terhalang bila Duta sampai tidak merestui. Terlalu fokus dengan jawaban Kiya, membuat Gilang sampai melupakan Duta yang masih berdiri di sampingnya.Gawat! Jangan sampai Duta berkata tidak, karena bocah itu sangat menyayangi ayah kandungnya.“Saya …” Duta mengangkat wajah. Melihat wajah Gilang yang kini juga memandangnya. Untuk beberapa detik, Duta hanya terdiam dan menatap wajah yang selalu saja terbuka ketika bersamanya. Gilang tidak pernah menutupi apa pun, dan selalu menjawab semua pertanyaan Duta tentang apa saja.Sangat berbanding terbalik dengan ayah kandungnya sendiri, meskipun Duta tahu, Garry sangat-sangat menyayangin
“Yakin, ya?” Kiya kembali melempar pertanyaan tersebut pada Duta. “Bunda boleh nikah sama om Gilang?”Duta mengangguk sembari memakai sepatunya bergantian. Tidak ada alasan lagi untuk menolak, karena banyak hal yang sudah Duta pikirkan setelah kejadian di rumah ayahnya kemarin pagi. Bahkan, Garry tidak mampu mencegah Kiya dan dirinya masuk ke mobil Gilang, saat calon ayah barunya itu menjemputnya.Paling tidak, Duta ingin melihat Garry memperjuangkannya di hadapan Gilang, jika tidak bisa melakukan hal tersebut di depan orang tuanya. Namun, Garry hanya terdiam dan membiarkan Duta dan sang bunda pegi bersama Gilang.Jika mengingat hal tersebut, Duta rasanya ingin kembali memeluk sang bunda dan menumpahkan tangisnya.“Duta nggak papa, bener, ya?” tambah Kiya masih saja tidak yakin dengan keputusan Duta.“Iya, nggak papa,” kata Duta sudah berdiri dan meraih tas ranselnya. “Kata om Gilang, bunda nanti juga nggak boleh kerja lagi, kan? Jadi, bunda bisa antar jemput aku setiap hari di sekola
Duta pernah jalan bertiga dengan Gilang, juga Kiya ke pusat perbelanjaan kala itu. Agendanya juga tidak jauh berbeda, dari berkeliling dan cuci mata, makan, juga bermain sebentar. Namun, apa yang dilakukannya malam ini sangat-sangat berbeda. Duta masuk ke sebuah butik, dan mendapat pelayanan yang sangat istimewa.“Coba ambilkan satu ukuran di atas yang ini, Mbak,” pinta Gilang saat melihat kemeja putih yang dikenakan Duta terlihat sesak. Saat ini, Gilang tengah mencarikan Duta satu setel tuxedo, yang akan dikenakan pada resepsi pernikahannya nanti.“Banyakin olah raga habis ini, ya,” kata Kiya segera berlutut di hadapan Duta, dan membantu putranya membuka kancing kemeja agar lebih cepat.Duta mengangguk-angguk sambil menggaruk kepala. “Tapi capek, Bun.”Gilang tertawa, tetapi tetap duduk di sofa. “Kalau bisa berenang, nanti olahraganya berenang aja di rumah.”“Duta nggak bisa berenang,” jawab Kiya sambil melepas kemeja yang dikenakan putranya, dan menyerahkan pakaian tersebut pada kar
“Ngapain ke sini?” Elok melirik pada Gilang yang berjalan pelan menghampirinya. Adiknya itu langsung duduk di sebelah Elok, yang tengah mengerjakan sesuatu pada laptop di pangkuan. “Emang sudah ambil cuti?”“Cuti resminya besok.” Gilang menggeser posisi duduknya, agar bisa lebih dekat dengan Elok dan melihat apa yang sedang kakaknya itu kerjakan. Setelah merapat, Gilang mengeluarkan ponsel, lalu menunjukkan beberapa foto yang sempat dikirimkan padanya dengan nomor asing. “Ada yang ngirimin aku beginian.”Elok segera mengambil alih ponsel Gilang, lalu menggeleng sembari berdecak berkali-kali. “Kasihan Kiya. Harusnya dia bisa dapat laki-laki yang lebih baik dari kamu.”“Mbak!”“Sssshh … Rezky baru aja tidur!” desis Elok melotot pada Gilang. Bayi tampannya itu sedang berada di ayunan elektrik, yang Elok letakkan tepat di samping sofa yang didudukinya. “Kalau sampai bangun, kamu yang aku suruh tidurkan lagi!”Lebih baik Gilang menuruti Elok, daripada harus menidurkan seorang bayi. “Memang
“Jangan pernah coba sentuh, calon istri gue!” Mendengar suara Gilang, Kiya segera menoleh kemudian reflek menggeser langkahnya untuk berdiri di antara calon suaminya, dan Restu. Dari wajahnya saja, Kiya bisa tahu Gilang saat ini hendak melepas amarahnya pada Restu. “Calon istri?” Restu berceletuk dan masih berdiam diri di tempatnya. Ia menatap pria yang berjalan cepat dengan tongkat di tangannya, lalu mengernyit. Restu mengingat-ingat sebentar, karena waja pria itu tidak tampak asing di matanya. “Mas, ini pak Restu—“ “Aku tahu siapa dia,” potong Gilang berhenti dengan jarak satu meter dari tempat kiya berdiri. Ia menunjuk Restu dengan tongkatnya, lalu berdecih. “Dia orang yang pernah melecehkan mbak Elok, kan?” Seketika itu juga, Restu langsung mengetahui siapa pria yang saat ini ada di depannya. Gilang Mahardika. Adik laki-laki Elok Mahardika. Namun, ada sedikit hal yang membuat Restu penasaran. “Tadi dia bilang, kamu calon istrinya, Ki?” tanya Restu yang dengan sengaja meletakk