“Jangan pernah coba sentuh, calon istri gue!” Mendengar suara Gilang, Kiya segera menoleh kemudian reflek menggeser langkahnya untuk berdiri di antara calon suaminya, dan Restu. Dari wajahnya saja, Kiya bisa tahu Gilang saat ini hendak melepas amarahnya pada Restu. “Calon istri?” Restu berceletuk dan masih berdiam diri di tempatnya. Ia menatap pria yang berjalan cepat dengan tongkat di tangannya, lalu mengernyit. Restu mengingat-ingat sebentar, karena waja pria itu tidak tampak asing di matanya. “Mas, ini pak Restu—“ “Aku tahu siapa dia,” potong Gilang berhenti dengan jarak satu meter dari tempat kiya berdiri. Ia menunjuk Restu dengan tongkatnya, lalu berdecih. “Dia orang yang pernah melecehkan mbak Elok, kan?” Seketika itu juga, Restu langsung mengetahui siapa pria yang saat ini ada di depannya. Gilang Mahardika. Adik laki-laki Elok Mahardika. Namun, ada sedikit hal yang membuat Restu penasaran. “Tadi dia bilang, kamu calon istrinya, Ki?” tanya Restu yang dengan sengaja meletakk
Raissa hanya bisa menjadi pendengar yang baik, ketika putrinya menjelaskan beberapa masalah yang ada di masa lalu. Kiya menerangkan tentang siapa Restu, dan semua pernyataan yang sudah dilontarkan pria itu.“Tapi, Bun, aku nggak percaya yang diomongin pak Restu itu,” kata Kiya setelah menceritakan semuanya pada Raissa. “Ayah nggak mungkin begitu, kan? Aku dari tadi nyoba nelpon Garry, tapi nggak diangkat-angkat. Mungkin lagi kerja, atau … nggak tahulah.”Raissa yang baru merebahkan diri di tempat tidur, tidak bisa berkomentar banyak. Ia juga tidak tahu tentang masalah yang diceritakan oleh Kiya barusan, sehingga tidak bisa mengambil kesimpulan apa pun. “Kita tunggu penjelasan dari Garry aja. Karena Bunda juga nggak tahu apa-apa, Ki.”Kiya menuangkan body serum ke telapak tangan, lalu mengusapnya sebentar. Sembari membalurkannya ke tangan kiri lebih dulu, Kiya kembali berujar, “Tapi, Bun, andai yang dibilang pak Restu itu betul, gimana?”“Nggak gimana-gimana.” Raissa memiringkan tubuhn
“Bun, aku gugup!” Kiya sudah berulang kali menarik napas panjang, dan membuangnya dengan perlahan. Namun, hal yang dilakukannya tersebut, tidak kunjung membuat debaran jantungnya kembali berdetak dengan normal. Kedua telapak tangannya masih juga terasa dingin, dan tidak ada hal yang bisa membuat Kiya tenang seperti biasanya. Raissa segera mengambilkan air mineral yang tersedia di meja bar, lalu membukanya sembari menghampiri Kiya. Ia menyerahkannya pada Kiya, lalu duduk di samping putrinya di tepi tempat tidur. “Habis ijab kabul, gugupnya pasti hilang.”Kiya segera meneguk air mineral dari Raissa, tetapi tidak ada yang berubah. Semuanya masih sama saja. Jantung Kiya masih deg-degan tidak karuan, perutnya terasa mulas, ia juga merasakan tremor yang tidak kunjung reda, dan semua itu terasa menyebalkan. Belum lagi, Kiya masih saja memikirkan masalah Garry dan almarhum ayahnya yang belum mendapatkan kejelasan sama sekali. Garry tidak bisa dihubungi, karena pria itu tidak kunjung meneri
“Mati, kan!” Awan menarik cepat, ponsel dari genggaman Duta karena gilirannya bermain game online akhirnya tiba. Tidak terlalu lama baginya menunggu giliran, karena Duta benar-benar tidak mahir melakukan permainan battle royale.“Dasar nggak sopan.” Kasih tiba-tiba menepuk dahi Awan, karena selalu saja berbuat sesukanya. Sejak tadi, mulut Awan itu terus saja berisik dan mengomentari permainan Duta “Kalau hapenya Nando jatoh, terus rusak, gimana!”“Apa sih!” Awan menendang pelan kaki Kasih yang berdiri di depannya, tetapi fokusnya tetap tertuju pada layar ponsel yang sedang ia pegang. “Kalau rusak, tinggal beli lagi. Nando banyak uang! Iya, kan, Ndo!”Nando yang duduk di samping Duta, hanya meringis sembari menggaruk kepala. Sejak tadi, ia cukup pusing mendengar Kasih dan Awan selalu saja meributkan sesuatu. Padahal, ketika tidak ada Awan bersama mereka, suasana taman benar-benar tenang.“Iya, Nando, banyak uang,” timpal Duta membenarkan. Karena ia tahu, ayah dan ibu Nando merupakan pe
Sambil terus berjalan, Duta menoleh ke arah koridor yang baru ditinggalkannya. Ia menggaruk kepala, lalu melihat satu tangannya yang berada di gandengan Garry. Bukankah, seharusnya mereka tidak melewati koridor sama sekali?Jika ingin menemui Kiya, Garry seharusnya pergi menuju lift yang berada tidak jauh dari restoran. Namun, mengapa ayahnya justru mengajak Duta ke lobi?“Ayah, aku tahu kamarnya bunda.” Duta sempat mengira, Garry sudah tahu di mana kamar Kiya saat ini. Namun, ketika mereka berjalan ke arah yang berlawanan, di situlah Duta mulai kebingungan. “Kita harus naik lift dulu.”“Nggak perlu,” kata Garry lalu menoleh pada Duta dengan senyuman hangat. “Nanti bunda pasti nyusul kita.”“Tapi, bunda, kan, mau nikah bentar lagi, Yah?” Duta semakin bingung, karena ucapan Garry kini berubah. Yang tadinya mengatakan, mereka akan bertemu Kiya dan bertanya tentang kepergian ke Kalimantan. Saat ini, Garry mengatakan Kiya pasti menyusul mereka. “Kalau kita nggak datangin bunda sekarang, b
“Berhenti di situ, Garry.”“Om Lex!” Duta terpaku di tempat, dan tidak jadi masuk ke dalam mobil yang pintunya baru saja dibuka oleh Garry. Dari wajah dingin Lex, Duta bisa merasakan sesuatu yang tidak biasa.“Siapa tadi?” tanya Garry segera meraih pergelangan tangan Duta, karena merasa terintimidasi dengan kehadiran pria asing yang mengenalnya. Garry menelisik wajah pria itu dengan cermat, dan ia yakin tidak pernah bertemu, atau mengenalnya sama sekali. Lantas, bagaimana bisa pria itu mengenali Garry?“Om Lex, masnya, om Gilang.” Karena Gilang selalu memanggil Lex dengan sebutan mas, maka Duta pun menyimpulkan hal tersebut.Garry menelan ludah, karena kali ini rencananya sudah pasti berantakan dan bubar jalan. Terlebih, ada dua orang security yang saat ini berdiri dan mengapit pria itu.“Duta, kemari,” panggil Lex sembari menyunggingkan senyum tipisnya.“Duta, ayo masuk dulu,” titah Garry agak memaksa, sembari memegang kedua lengan Duta.“Garry, saya Lex, pengacara keluarga Antasena
Kiya memeluk Duta, setelah putranya menceritakan semua hal yang terjadi menurut versinya. Sementara itu, Kiya juga sudah mendengar penjelasan dari Gilang, serta Elok sebelum ia bertemu Duta di kamar Raissa.Hari pernikahan yang seharusnya berjalan dengan suka cita, mendadak menjadi runyam karena kehadiran Garry. Kiya tidak tahu lagi, apa jadinya bila Kasih terlambat memberi tahu Elok, dan Lex terlambat bertindak untuk mencegah semuanya. Pernikahannya dengan Gilang hari ini, pasti tidak akan terlaksana, dan Kiya pasti akan semakin serba salah bila Duta sudah berada di tangan Garry.Kiya yakin, Garry sebenarnya ingin membawa Duta pergi ke Kalimantan bersamanya.“Nanti, Duta telpon ayah, ya.” Bagaimanapun juga, Kiya tetap tidak ingin hubungan Garry dan Duta merenggang, karena adanya masalah ini. Namun, mulai saat ini Kiya harus lebih waspada lagi, agar Garry tidak lagi mengambil Duta secara tiba-tiba seperti tadi.Duta mengangguk di pelukan Kiya. Ternyata, bundanya sudah resmi menikah de
“Duta aman, kan?” Kiya kembali mempertanyakan hal tersebut, karena khawatir kejadian pagi tadi akan terulang kembali. Meskipun rasanya tidak mungkin karena Gilang dan Lex telah mengatur dan mengantisipasi semua hal, tetapi hati Kiya tetap saja belum bisa tenang. Terlebih lagi, karena Garry sama sekali tidak bisa dihubungi sejak siang tadi. Ponsel pria itu aktif, tetapi tidak mau menerima panggilan dari Kiya. Walaupun, ia sudah mengirim pesan, yang menelepon adalah Duta, bukan Kiya. “Mas!” “Hah? Apa?” Gilang tidak fokus. Sejak tadi, Gilang menatap Kiya yang terlihat sangat cantik dengan gaun pengantin yang menutup semua bagian tubuhnya. Gilang tidak terlalu paham dengan jenis-jenis gaun pengantin, tetapi gaun pilihan Kiya sungguh membuat gadis itu semakin anggun. “Duta aman, kan, Mas?” Kiya masih berdiri di samping jendela kaca, setelah sesi foto dan shooting untuk video dokumentasi pernikahan mereka. Mereka hanya tinggal menunggu salah satu pegawai wedding organizer datang, dan mem