“Si Siput itu apa nggak punya otak?” Gemas rasanya saat mendengar permintaan Garry, yang ingin membawa Duta. Setelah bertahun-tahun membiarkan Kiya berjuang membesarkan putranya, kini Garry dengan mudahnya ingin mengambil alih dengan dalih sudah merasa mapan. Memangnya, semapan apa, sampai-sampai pria itu berani mengambil Duta dari Kiya?Apa pria itu belum sadar juga, saat ini sedang berhadapan dengan siapa? Gilang memang sejemawa itu, karena ia memiliki orang-orang hebat di belakangnya. Ia memiliki Adi sebagai seorang ayah, dan Lex sebagai kakak ipar yang pengaruhnya sudah tidak dapat diragukan lagi.“Mas, tolong panggil Garry dengan benar.” Kiya sampai tidak berselera makan, karena Gilang ternyata tidak bisa menenangkannya. Pria itu justru semakin menyulut emosi, yang membuat Kiya akhirnya harus bersikap lebih sabar lagi. “Bagaimanapun juga dia itu ayahnya Duta.”“Ya, ya, Garry, ck!” Gilang berseru tidak ikhlas, karena masih saja merasa kesal dengan mantan suami Kiya itu. “Say—““Is
“Aku …” Duta menghampiri Garry dengan perlahan, lalu memeluknya. Kepalanya terangkat, menatap bimbang sekaligus kasihan pada sang ayah. “Aku ikut bunda.” Masih memeluk Garry, Duta lantas menggeleng. “Aku nggak mau pergi ke Kalimantan kalau nggak sama bunda.”Sejak kecil, Duta memang tidak pernah pisah dari Kiya. Walaupun, terkadang Kiya tidak pulang ke rumah karena bekerja, tetapi sang bunda selalu ada kapan pun Duta membutuhkannya. Bukannya tidak menyayangi Garry, tetapi, ikatan emosional antara Duta dan Kiya jauh lebih besar dari pada dengan sang ayah. Untuk itulah,“Duta.” Wajah Garry mulai memanas. Namun, ia tidak bisa menunjukkan kesedihannya di depan Gilang seperti sekarang. Garry harus tetap tegar, meskipun sudah kalah telak. “Selama ini, kamu sudah tinggal sama bunda.” Garry mengurai pelukan Duta, lalu kembali berjongkok sembari menggenggam kedua lengan putranya. “Jadi, ayo tinggal sama ayah. Paling nggak, sampai kamu lulus SD dan kita bisa balik ke sini lagi waktu kamu SMP na
“Siput aman?” tanya Gilang saat Kiya baru masuk ke kamar mereka. Sejak tadi, Kiya berada di kamar Duta untuk menemani putranya menelepon Garry. “Maksudku Garry.” Gilang segera meralat ucapannya, ketika tatapan Kiya mulai berubah kesal. “Ya begitulah.” Kiya merebahkan tubuh di samping Gilang, yang masih memangku laptop. “Sudah kubilang, aku, tuh, kasihan lihat Garry. Sejak nikah sama aku dulu, hidupnya kayak … tertekan.” “Aku malas ngomongin Garry.” Seperti tidak ada pembahasan lain saja. Garry lagi, Garry lagi. Nama itu hanya membuat mood Gilang berserakan saja. Karena itulah, Gilang segera mengalihkan pembicaraannya, agar semangatnya kembali seperti semula. “Papa nyuruh aku pelajari lagi masalah anggaran dasar perusahaan, sama dokumen-dokumen lainnya. Pusing.” Kiya lantas mendekat. Duduk di samping Gilang, lalu bersandar pada lengan sang suami. Ia ikut melihat layar laptop Gilang, lalu ikut membacanya dengan perlahan. “Yang aku dengar, pak Lex itu sudah minta bu Elok mundur dari
“Senang, Bunda bisa antar jemput tiap hari kayak begini?” Dengan perlahan, Kiya mengemudikan mobilnya keluar dari area sekolah Duta. Semenjak dekat dengan Gilang, Duta sudah tidak menggunakan antar jemput menggunakan armada sekolah lagi. Bocah itu lebih menyukai diantar jemput oleh Gilang atau Evan, karena tidak perlu menunggu giliran antar jemput dengan murid lainnya. “Senang, Bun!” Duta kemudian menggumam pendek, kemudian menatap serius pada Kiya. “Bun, aku boleh nggak sekolah full day, nggak? Kayak Awan sama Kasih?”“Kenapa?” Kiya harus mendengar alasan Duta terlebih dahulu. Selama ini, putranya tidak pernah protes tentang sekolahnya, dan terlihat senang-senang saja berada di sana.“Capek.”“Capek?” Baru kali ini Duta mengeluh capek akan kegiatan di sekolah.Duta mengangguk, sembari merebahkan sandaran joknya. Setelah itu, Duta melepas kedua sepatunya lalu bersandar santai sambil bersila. “Aku mau sekolah kayak Awan sama Kasih. Jam dua sudah pulang, terus tidur di rumah.”“Tapi Aw
“Kenapa mau pindah sekolah?” Sebelumnya, Kiya sudah menjelaskan pada Gilang tentang permasalah Duta. Bocah itu mengeluh lelah, dan tidak ingin lagi meneruskan sekolah full day-nya. Duta ingin pindah sekolah dengan jam belajar seperti Kasih, tetapi tidak ingin ikut les apa pun di sore harinya.“Capek.” Duta bertelungkup di kasur, dengan sebuah buku pelajaran yang terbuka di hadapannya. “Aku mau pulang sekolahnya kayak Kasih, Pa.”“Terus les kayak Kasih?” Gilang mendesah panjang, saat merebahkan tubuhnya melintang di hadapan Duta. Meskipun sudah tahu jawabannya, tetapi Gilang ingin mendengar langsung dari mulut Duta sendiri.Duta menggeleng. “Aku belajar sendiri aja di rumah, sama bunda. Nggak mau les, capek.”Tatapan Gilang menerawang. Melihat langit-langit kamar yang sudah jarang ditempatinya sejak kecelakaan. Gilang menempati kamar di lantai bawah, untuk memudahkan semua mobilitasnya, dikarenakan kondisi kaki yang pada saat itu tidak bisa bergerak bebas. Daripada harus naik turun tan
Kiya menutup pintu mobil, lalu melihat ke seluruh penjuru sekolah baru Duta. Dahulu kala, ia sempat beberapa kali menjemput Kasih sepulang sekolah, ketika gadis kecil itu rewel, dan Elok maupun Harry tidak bisa datang menghampiri. Karena tidak ingin merepotkan kakek nenek dari kedua belah pihak, maka Elok pasti akan mengutus Kiya ke sekolah Kasih. Kehidupan Kasih dahulu kala, tidak jauh berbeda dengan Duta. Orang tua mereka sibuk mencari nafkah, dan hampir tidak pernah memberi perhatian secara emosional. Baik Kiya maupun Elok, hanya tahu memberi materi, tanpa melimpahkan kasih sayang yang seharusnya. “Ayo ke kantor dulu,” ajak Kiya pada Duta yang baru saja menutup pintu mobil yang berseberangan dengannya. “Habis ketemu wali kelasnya, nanti Bunda tinggal. Berani, kan?” “Beran—” “Enduuut!” Duta berdecak, saat melihat Kasih melewatinya sambil melambai dari dalam mobil. Sudah seringkali Duta mengatakan, jangan memanggilnya dengan sebutan tersebut, tetapi Kasih tetap saja tidak menghir
Pada akhirnya, Gilang membiarkan Kiya kembali bicara empat mata dengan Garry. Mereka mengantarkan Duta ke hotel yang ditempati pria itu, lalu menuju ke lounge terlebih dahulu. Sebenarnya, Gilang keberatan bila Kiya masih saja bertemu dan bicara berdua dengan Garry. Namun, karena Kiya ingin sekali menuntaskan beberapa hal agar tidak menjadi beban pikiran, maka Gilang pun menyetujuinya. “Jangan lama-lama,” pesan Gilang yang sudah lebih dulu menyuruh Duta mencari tempat duduk. “Kita masih ada urusan habis ini.” “Iyaaa.” Kiya memberi senyum kecil, sambil mengusap lengan sang suami. “Aku cuma sebentar. Temenin Duta dulu.” “Oke!” Gilang meraih pinggang Kiya, dan menjatuhkan satu kecupan di pipi dengan cepat tanpa memedulikan Garry. Jika tidak ada Duta, Gilang pasti akan menyambar bibir sang istri dengan sengaja. Garry hanya diam. Menatap datar dan tidak berkomentar. Tidak ada juga yang harus dilakukannya, karena Garry benar-benar sudah kehilangan Kiya. “Jadi, Gar, ada yang mau aku bica
“Sudah minum pilmu, Bun?” Gilang mengingatkan, ketika jam dinding sudah menunjukkan pukul delapan malam. Ia baru masuk ke kamar, setelah berdiskusi panjang lebar dengan Adi di ruang kerja. Setelah berbicara dengan Garry siang tadi, Kiya tampak tidak ceria seperti biasanya. Akibat pembicaraan tersebut, Kiya lebih banyak termenung dan memikirkan tentang perkataan Garry. “Sudah.” Kiya menyingkap selimut yang dipakainya, ketika Garry menghampiri tempat tidur. Hati Kiya memang terasa lega ketika sudah mengetahui semua hal yang terjadi di masa lalu. Namun, ia merasa miris karena semua hal buruk yang terjadi selama ini adalah ulah ayahnya sendiri. Dengan begini, Kiya akhirnya menyadari perasaan Garry pada dirinya ternyata tidak pernah lekang oleh waktu. Dalam diamnya, Garry terus berusaha keras mencari jalan agar keluarga kecil mereka bisa bersatu kembali. Namun, di saat hal itu hampir terwujud, takdir akhirnya berkata lain. Bahkan, sebenarnya Kiya sudah bisa “move on” lebih dulu daripada