Suara erangan panjang dari seorang wanita bernama Valerie, menjadi penutup malam ini, malam yang dihabiskannya bersama seorang teman dari masa lalunya yang tiba-tiba hadir, Juno.
Valerie bangkit dari tempat tidur di sebuah kamar hotel yang disewanya bersama dengan Juno. Membuka pengaman yang digunakan Juno dan membuangnya ke tempat sampah. Valerie memakai baju handuknya dan duduk di pinggir tempat tidur.
“Are you happy?” tanya Juno.
“Yes I am,” ujar Valerie sambil tersenyum.
“So, kenapa kamu gamau jadi pacar aku?” tanya Juno sambil mendekapnya dari belakang.
“Aku benci komitmen, kamu tau itu dan aku udah kasih tau kamu ribuan bahkan jutaan kali, Juno. Kenapa sih kamu masih nanyaaaa aja terus,” ujar Valerie kesal. Mood nya drop karna Juno terus-terusan bertanya pertanyaan yang sama kepadanya.
“Gini, sekarang aku tanya sama kamu. Apa sekarang kamu bahagia?” tanya Valerie.
“Iya aku bahagia sekarang,” jawab Juno.
“Apa yang bikin kamu bahagia sekarang ini?” tanya Valerie.
“Aku punya pekerjaan yang settle dengan gaji yang fantastis. Aku punya fisik yang ganteng, aku punya mobil, aku punya rumah, aku bisa beli apa aja yang aku mau, aku bisa pergi kemanapun yang aku mau,” jawab Juno.
“Nah, you got it? Kamu udah punya lebih dari cukup hal-hal yang bikin kamu bahagia. Trus pentingnya komitmen apa? Kalo sendiri aja bahagia, buat apa ada komitmen?” tanya Valerie lagi.
“Tapi Val, emang kamu ga mau kayak cewe-cewe lain? Kamu udah tidur loh sama aku, masa kamu ga minta komitmen? Minimal pacar lah,” Juno benar-benar tidak habis pikir dengan wanita satu ini.
“Aku tidur sama kamu dengan persetujuan kedua belah pihak. Aku udah cukup umur, sadar, kamu juga. Masalahnya dimana?” tanya Valerie.
“Masalahnya adalah, kamu aneh, ga kayak cewe lain yang baru aku cium aja udah nanya kita ini sebenernya apa? Hahahaha.”
“Aku bukan tipe yang kayak gitu kok Juno,” jawab Valerie sambil memakai handuknya dan berjalan ke arah kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya.
“Jadi besok flight jam berapa ke Ausie?” tanya Valerie kepada Juno dari dalam kamar mandi.
“Jam 7. Langsung dari sini aja, aku udah bawa semua yang aku butuhin. Di sana Cuma meeting beberapa project sama orang kantor pusat, jadi aku cukup bawa baju sedikit plus laptop aja,” jawab Juno.
“See? Kalo kamu punya pacar, apa kamu yakin bisa bebas kerja keluar negri atau luar kota terus? Kamu yakin kamu ga akan direpotin dan karir kamu akan tetep bagus kayak sekarang?”
Tidak ada jawaban dari Juno, lagi-lagi yang bisa Juno lakukan hanya tersenyum. Ia baru menemukan perempuan seperti Valerie
“Val..” panggil Juno.
“Iya!” jawab Valerie setengah berteriak dari dalam kamar mandi.
“Kamu kenapa benci komitmen?” tanya Juno.
“Kamu kenapa mau tau?” jawab Valereie.
“Hahaha,” Juno ditanya bukannya menjawab, namun hanya tertawa.
“Karna aku beda sama cewe-cewe lain?” tanya Valerie.
“That’s true,” jawab Juno.
Valerie tidak menjawab lagi, ia melanjutkan mandinya. Juno yang penasaran, tapi tidak bertanya lebih lanjut. Ia menunggu Valerie sampai selesai membersihkan tubuhnya.
Di dalam kamar mandi, Valerie terdiam. Ia mengguyur tubuhnya dengan air dingin. Berharap sedikit meredakan luka yang selama ini ia pendam dan ia sembunyikan untuk dirinya sendiri. Pertanyaan Juno menghantamnya, kenapa ia membenci komitmen? Apa ia yakin, benci komitmen hanya karna ia bahagia tanpa komitmen?
Valerie memejamkan matanya, ia merasakan setiap hentakan dari air pancuran yang mengalir membasahi dirinya. Berharap semua rasa sakit nya luntur bersamaan dengan air dan sabun yang ia gunakan.
Valerie keluar dari kamar mandi, dengan hanya berbalut handuk, ia duduk di pinggir tempat tidur.
“Aku udah bahagia dengan hidupku, toh aku bisa ngelakuin ini dengan bebas kan, buat apa sih ada komitmen,” jawab Valerie.
“Malem ini kamu nginep sini aja lagi, besok baru kita checkout. Aku ke airport kamu ke kantor,” ujar Juno yang hendak ke kamar mandi untuk gantian membersihkan diri.
“Gak deh, aku ga bawa baju. Lagi pula kalo sampe mamaku tau aku nginep sama kamu, bisa kena marah,” ujar Valerie.
“Mama kamu udah lama di Inggris tapi masih berfikiran kayak gitu?” tanya Juno.
“Hahaha ya gitu deh. Justru sebenernya karna Mama lama di Inggris, dia gamau anaknya kayak anak-anak di Inggris,” jawab Valerie.
”Yaudah aku mandi dulu ya, kamu nanti aku anter pulang oke?” Valerie hanya mengangguk sebagai jawabannya.
Valerie merapihkan barang-barangnya untuk dibawa pulang. Semalam ia menginap di hotel bersama Juno.
“Yuk, aku anter,” ujar Juno. Lelaki tampan bertubuh kecil namun kekar. Dengan fisik dan muka seperti ini pasti banyak wanita mengantri untuk menjadi pacar Juno, tapi tidak dengan Valerie. Bagianya, Juno sama dengan beberapa laki-laki yang dekat dengannya, hanya sekedar dekat, namun tidak ada status apa-apa.
“Yuk,” Valerie pun pulang kerumah diantar oleh Juno.
***
Valerie mengikat sebagian rambutnya di tengah, memberi kesan formal namun santai. Valerie mematut-matutkan dirinya di cermin, menggunakan tangtop putih, blazer hitam dan rok pendek berwarna hitam sudah cukup membuatnya terlihat rapih.
Makeup tipis-tipis membuat dirinya terlihat dewasa namun manis. Jika orang bertemu pertama kali dengan Valerie pasti menebak kalau ia campuran Indonesia dan Western, ditambah kedua orangtua nya memang tinggal di Inggris. Namun tidak, orangtua Val murni orang Indonesia, hanya bekerja dan tinggal di sana.
Valerie sudah tidak bisa dibilang remaja lagi, mengingat umurnya yang sudah berkepala 3. Namun, ia juga tidak bisa dibilang setengah baya mengingat wajah yang masih sangat cantik ditambah tubuh yang bagi sebagian besar wanita adalah tubuh yang diidam-idamkan.
Hari ini ia akan meeting dengan calon klien yang tidak terlalu formal. Sedari tadi, hpnya sudah dihinggapi pesan-pesan mengingatkan dari Intan, sahabat sekaligus assisten pribadi dan sekertarisnya di kantor mengenai meeting pagi ini.
Intan juga sudah mengirim draft yang berisi materi meeting mereka pagi ini. Valeri tersenyum melihat isi pesan dari sahabatnya itu.
-Jangan bangun kesiangan, gue tau lo semalem abis pacaran. Pokoknya kalo sampe kesiangan, ini heels bakalan nyangkut ke pala lo-
Belum sempat Valeri membalas, Intan sudah mengirimkannya pesan lagi.
-Dear Ibu Valerie yang terhormat. Mohon untuk membalas pesan saya agar saya yakin Ibu sudah bangun. Jangan lupa untuk menghadiri meeting pagi ini dengan Pak Risko. Tidak terlalu formal, namun penting untuk kelangsungan hidup perusahaan kita. Saya akan tiba di sana sekitar 30 menit dari sekarang. Regads, Intan.-
Valerie benar-benar tertawa. Bekerja dengan Intan selalu menyenangkan, Intan benar-benar tahu kapan ia harus menjadi sahabat Valerie, kapan ia harus bersikap profesional dan tidak membiarkan Valerie melakukan kesalahan.
Valerie memakai jam tangannya. Melihat yang tertera, ia masih memiliki waktu satu jam. Valerie keluar kamar membawa hp nya, menuju meja makan dan mengambil roti. Mengolesinya dengan selai kacang kesukannya.
Ia kemudian mengambil kopi yang sudah didinginkan, dijadikannya es batu. Menaruhnya beberapa keping dan menuangkan susu UHT cair.
“That’s enough,” ucapnya.
Ia duduk di meja makan, sambil menikmati sarapannya, ia mencari lagu untuk membuat paginya semangat hari ini. Pilihannya jatuh kepada lagu “Eminem, In The End”. Lagu lama namun tidak pernah gagal membuat hari Valerie bersemangat.
Valerie kembali masuk ke dalam kamarnya, menggunakan perfume kesayangannya. Mengambil kunci mobil yang tergeletak di meja riasnya. Ia sekali lagi menoleh ke arah cermin, memastikan penampilannya sempurna.
Ia menyambar tas tangannya, mengunci pintu rumahnya dan masuk ke dalam mobilnya. Sambil memanaskan mobil, ia terdiam memandang pintu rumah yang baru saja ia kunci. Pikirannya melayang ke masa lalu…
Valerie tiba-tiba teringat akan dirinya yang dulu hidup sendiri di rumah ini. Semua berawal karena ayahnya mendapatkan kerja di Inggris dan akan stay di sana untuk jangka waktu yang amat sangat lama, Mamanya ikut dengan Ayah. Mereka menawarkan Val untuk ikut, namun Val tidak mau. Ia ingin kuliah dan bekerja di Indonesia, jadilah sejak itu Val hidup sendiri di Indonesia. Valerie tersenyum, mengingat semua perjuangannya di awal ia tinggal sendiri. Ia memang memiliki uang lebih jika ia ingin makan beli dan mencuci di laundry, namun ia tidak ingin menjadi anak yang selalu mengandalkan orang lain. Valerie muda mulai belajar masak, belajar mencuci baju dengan mesin, dengan bantuan internet, ia mempelajari semuanya sendiri. Kecuali memasang gas. Sampai detik ini, Valerie tidak bisa memasang gas dan selalu meminta bantuan satpam komplek rumahnya. Oleh karena itu, Valerie lebih suka mengkonsumsi makanan yang tidak memerlukan dimasak, misalnya roti atau buah, atau sayuran mentah. Orangtua ny
Sampai di kantor, Valerie langsung menuju ruangannya. Ia masuk ke dalam ruangan dan mengganti sepatu high heelsnya dengan sendal jepit lagi. Tanpa basa-basi, Valerie langsung duduk dan membuka laptopnya.Intan masuk ke dalam ruangan untuk memberikan beberapa dokumen yang harus ia tandatangani. Beberapa perjanjian kerjasama dengan klien-klien baru. Dan repeat order dari klien yang sudah menjadi langganannya menjadi pemandangan setiap hari yang Valerie lihat.Meeting sana sini, menjelaskan produk kesana kemari, menandatangani perjanjian kerjasama menjadi tugas utama Valerie. Untung ada Intan, sahabatnya yang sekarang menjadi sekertaris sekaligus asisten pribadinya. Ketika pertama Valerie naik ke jabatan ini, posisi sekertaris diisi oleh orang kantor, tapi ia mereasa tidak cocok dan meminta direktur untuk menggantinya.Pada waktu itu, Intan sedang tidak bekerja, karna Valerie tau Intan orangnya seperti apa, ia mengajukan Intan untuk menjadi sekertarisnya, dan akhirnya sampai sekarang sud
Valerie bekerja sampai larut malam. Untung besok akhir pekan, ia bisa beristirahat sebelum senin jadwalnya sudah full lagi dengan meeting-meeting. Tanpa terasa waktu sudah menunjukan pukul 11 malam. Valerie meregangkan badannya. Sudah 20 Surat Perjanjian yang berhasil ia sign hari ini. Benar-benar melelahkan.“Val ayo pulang, gue udah teler banget,” ujar Intan dari luar ruangannya.“Duluan duluan, gue masih mau beberes,” ujar Valerie.“Yaudah gue duluan yaa,” ujar Intan sambil berlalu dari ruangan Valerie.Valerie mengedarkan pandangannya. SPK yang sudah di sign sudah bertumpuk rapih di mejanya, tinggal dikirim ke masing-masing klien. Ia melihat laptopnya, sudah semua rapih, ia tinggal mematikannya. Valerie teringat, ia belum membuka hp nya sama sekali seharian, dan seingatnya tadi ada notifikasi ketika ia di mobil.Valerie membuka hpnya, muncul sebuah nama yang mengirimkan pesan, Risko. Valerie mengerutkan kening. Ia berfikir ada revisi dengan perjanjiannya, akan sangat memakan waktu
Risko datang tepat jam 2. Ia mengetuk pintu. Sekali, tidak ada jawaban. Dua kali, masih tidak ada jawaban. Akhirnya Risko membuka pintu dan masuk ke dalam, sesuai dengan pesan yang diterimanya dari Valerie.Warna monokrom langsung memenuhi penglihatan Risko. Semua barang yang ada di rumah Valerie hanya memiliki 3 warna. Hitam, putih dan abu-abu. Itupun abu-abu hanya sedikit sekali, hitam dan putih yang mendominasi segalanya.Tatanan ruang tamu Valerie sangat rapih, tidak ada satupun barang yang tidak pada tempatnya. Lebih tepatnya, tidak terlalu banyak barang di ruangan itu. Hanya sofa berukuran sedang 2 buah, dengan lemari buku di sampingnya. Sisanya hanya terbentang karpet bulu berwarna hitam. Suasana yang nyaman untuk ngobrol tanpa terkesan formal.Kemudian bergeser sedikit ada sebuah meja makan besar berbentuk bulat, dan 3 buah kursi yang mengelilinginya. Juga sebuah kulkas di dekatnya.Risko duduk di sofa sambil masih mengamati ruangan ini. Di depan ruangan yang sedang di dudukin
“Usaha hamburger kamu masih jalan sampe sekarang?” tanya Valerie.“Masih. Tapi jangan kamu bayangin usaha hamburger saya usaha yang besar, berkembang pesat dan punya franchise dimana-mana. Usaha hamburger saya usaha keluarga yang bahkan orangtua saya gamau anaknya ada yang colek-colek resep mereka hahha," Risko tertawa. Satu hal yang Valerie dapat dari Risko adalah, di luar pekerjaan, Risko orang yang sangat suka tertawa. “Orang tua kamu keren. Saya mau banget usaha makanan dari dulu tapi ga bisa-bisa. Mungkin karna masih kerja kali ya. Ajak saya dong ke usaha keluarga kamu,” pinta Valerie.“Boleh, kapan-kapan kamu saya ajak yaa ke warung hamburger punya orangtua saya,” janji Risko.“Kalo kamu emang niat mau usaha yang beneran, kamu harus berani buat keluar dari zona nyaman kamu di kantor Val,” nada bicara Risko semakin lama sudah semakin santai. Sudah seperti bicara dengan teman dan bukan partner bisnis lagi.“Itu yang belom saya bisa. Saya ngerasa kayak saya ga akan bisa kayak seka
Valerie mengulat. Senin pagi. Saatnya ia bekerja kembali. Valerie melihat ke arah jam di kamarnya, baru pukul 2. Ia masih memiliki banyak waktu.Semalam, Valerie tertidur terlalu cepat, sekitar pukul 7, jadilah ia bangun terlalu dini. Valerie menguncir rambutnya, membawa hpnya bersamanya dan keluar dari kamarnya.Valerie meletakkan hpnya di atas meja, mengambil gelas yang berukuran sedang. Membuka toples kopi, menuangkan kopi 3 sendok dan gula pasir 1 sendok. Menyeduhnya dengan air panas sedikit, dan sisanya di masukkannya es batu.Es kopi kesukaan Valerie sudah siap dinikmati. Ia tidak peduli pagi, siang, sore atau malam, es kopi tetaplah juaranya. Valerie duduk di meja makan, menikmati kopi sambil membuka hpnya. Ada 1 pesan dari Risko yang belum ia buka semalam.-Oke goodnight Valerie. Have a very best dream-Valerie tersenyum membaca pesan dari Risko.Hari Sabtu, mereka mengobrol sampai sore sekali, sampai Valerie hampir lupa mengeluarkan
Valerie berangkat ke kantor, berharap pikirannya akan teralihkan dengan setumpuk pekerjaan yang menumpuk. Valerie melewati kumpulan ibu-ibu yang masih berbelanja di tukang sayur, mereka terdiam melihat mobil Valerie lewat. Tersenyum padanya.Munafik, pikir Valerie.Setelah mobil Valerie lewat, mereka kembali melanjutkan menggunjing.“Tuh bener kan, pagi banget berangkatnya. Karyawan apaan berangkat jam segini coba, emangnya OB,” ucap salah satu ibu-ibu.“Ya mungkin kantornya jauh Bu, jadi berangkat pagi-pagi,” kata Si Tukang Sayur.“Ah si Mamang emang ga bisa nih kalo dibilangin. Ya bu yaa,” Ibu-ibu yang lain mengangguk mengiyakan.Valerie melihatnya dari kaca spion mobilnya, ia kembali kesal. Ia kesal karna beberapa fakta menyakitkan yang selama ini ia hindari.Pertama, fakta bahwa dirinya belum menikah bahkan takut untuk menikah atau sekedar memiliki komitmen. Kedua, fakta bahwa orang-orang mengira dirinya memiliki banyak uang karna bekerja yang bukan-bukan, padahal untuk mencapai p
“Ah selesai juga. Cepet kan kalo saya bantuin, coba tadi kamu sendirian pasti jam segini belum selesai cuci piringnya,” kata Valerie.“Bu, saya minta maaf ya sama sekali saya ga ada maksud buat nyuruh Bu Valerie bantuin saya cuci piring. Tangan Ibu jadi kotor pasti,” ucap Daus dengan nada panik.“Kamu kenapa?” Valerie yang bingung kenapa Daus sepanik itu.“Saya takut dipecat Bu, karna Bu Valerrie udah bantuin saya cuci piring,” ujar Daus.“Hahaha ga bakalan. Udah ah, saya mau masuk dulu ya. Mau ganti baju. Masa saya kerja pake kaos begini,” Valerie memang masih menggunakan kaos dan celana jeans. Ia membawa baju kerjanya, sengaja ia belum berganti pakaian agar ketika kerja, bajunya tidak lecek.Valerie masuk ke ruangannya, mengeluarkan dari tasnya baju kerja yang akan ia pakai. Hari ini ia akan memakai blouse berwarna pink dan celana hitam panjang. Hari ini tidak ada pertemuan dengan klie