Share

BAB 05. SALAH PAHAM

"Berani sekali kau ingin menggodanya, Varo! Apa tidak ada wanita lain di luar sana, hingga kau ingin mengganggu calon istriku!"

Alka berjalan mendekat pada mereka berdua dengan sorot mata elangnya.

"Hey, Bung! Kau sudah salah paham, aku tidak menggodanya."

Alvaro mengelak tak ada niatan untuk mengganggu Calista. Namun, wajahnya tampak mengeras begitu mendengar Alka mengklaim Calista sebagai 'calon istrinya', meskipun itu memang benar adanya. 

Jantung Calista berdetak begitu cepat, ia dibuat terkejut dengan kemunculan Alka secara tiba-tiba tanpa diketahuinya. 

'Kalau saja malam itu aku tidak mabuk, mungkin kejadian gila itu tidak akan pernah terjadi. Ini salahku.'

Calista menjadi salah tingkah. Alvaro terlalu nekat, dan itu tidak membuatnya senang. 

"Kenapa kau menatapku seperti itu? Kau tidak percaya dengan ucapanku?"

Terang saja Alka menaruh kecurigaan pada mereka. Dengan mata kepalanya sendiri ia melihat adiknya dan juga calon istrinya bertatapan begitu intens, bahkan bibir mereka nampak begitu dekat.

"Tentu saja aku tidak percaya! Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri kau tengah merayu Calista. Bukannya kau sudah tahu kalau dia ini calon istriku, kenapa kau masih mengganggunya! Tak bisakah kau mencari perempuan lain?!"

Alvaro berdecak tak suka dengan tuduhan yang dilayangkan oleh Alka. Untuk menutupi kesalahannya, ia pun berdalih. "Memangnya apa yang tengah kau lihat? Kau bahkan tidak melihat apa-apa. Aku tadi melihat kecoak berjalan di rambut Calista, dan aku berniat untuk membantu mengusirnya. Apa aku salah, jika aku membantunya?"

Alka menyeringai. "Kecoak kau bilang? Di mana ada kecoak? Kau pikir aku percaya dengan alasanmu itu? Aku bukan anak kecil yang mudah untuk kau bohongi, Varo!"

"Terserah! Kau mau percaya atau tidak, itu bukan urusanku. Yang jelas aku tidak melakukan apa-apa pada Calista. Kau berkata seperti itu seolah-olah kau orang yang paling baik. Kau pikir aku tidak tau seperti apa keseharianmu!"

"Tutup mulutmu!"

Alka langsung membentaknya, tak ingin Calista mendengar cerita mengenai dirinya.

Tak ingin melihat kakak beradik saling berdebat karena dirinya, Calista langsung beranjak dari tempat duduknya, dan menengahi perdebatan mereka berdua.

"Sudah hentikan! Kalian ini apa-apaan sih. Ini hanya salah paham! Tolong jangan diperpanjang lagi!"

Tatapan kesal Calista tertuju pada calon suaminya. Ia sangat kesal, Alka yang mengajaknya datang ke rumah orang tuanya, namun setibanya di sana malah diabaikan. Lalu sekarang malah marah-marah saat melihat Calista bersama adiknya sendiri.

"Alka! Harusnya kau menemaniku di sini, bukan meninggalkanku begitu saja. Aku datang ke sini karena kau yang sudah menjemputku, jadi tolong jangan abaikan keberadaanku di sini."

Alka makin kesal saja. Calista menunjukkan bahwa dirinya bukan wanita baik-baik. Pertama kali mereka bertemu, Calista tidak pulang ke rumah semalaman dan ia juga mengetahui ada bekas kemerahan di sekitar lehernya. Sekarang dengan mata kepalanya sendiri ia melihat Calista bersama dengan Alvaro bertatapan intens, seolah-olah mereka berdua sudah saling mengenal.

"Apa kau pikir aku tidak punya pekerjaan lain sehingga harus duduk bersantai menemanimu? Sebagai perempuan, kau juga harus bisa menjaga diri, jangan kegatelan."

Refleks Calista memelototi laki-laki itu. "Heh! Jaga bicaramu, ya!"

Tak terima dengan ucapan kasar Alka, Calista langsung melawannya.

"Memang benar kan, apa yang kukatakan ini. Kemarin saja waktu aku datang ke rumahmu, kau tidak pulang. Kau ini memang perempuan liar!"

"Tutup mulutmu!" seru Calista kesal. Ia tak ingin mendengar apapun lagi. "Kalau kehadiranku di sini tidak diinginkan, lebih baik aku pergi."

Calista mengambil tas selempangnya yang ada di sofa. Saat kakinya hendak melangkah, tiba-tiba calon mertuanya memanggil. 

"Calista! Mau ke mana, Sayang?"

"Saya mau pulang, Tante," jawab Calista, memaksakan seulas senyum. 

Riana menatap kedua anak laki-lakinya yang sama-sama diam dengan tatapan datar.

"Kau mau pulang? Kenapa Lista? Baru saja sampai kok udah mau pulang saja. Apa di sini ada yang membuatmu tidak nyaman?" tanya Riana dengan menatapnya bingung.

Calista tidak menjawab. Ia hanya menggigit bibir dengan gelisah sambil berusaha menahan air matanya. Situasi ini benar-benar membuatnya pusing!

"Alka! Apa yang sudah kau lakukan padanya?" Riana bertanya pada anak sulungnya, karena sudah pasti Alka yang membuat Calista tidak nyaman.

Alka melirik sekilas pada Mamanya. "Tuh, tanya saja sama mereka berdua. Mereka yang tau!"

Alvaro memelototinya. "Tau apa! Kau itu suka banget cari masalah. Aku sama dia nggak ngapa-ngapain, kau itu sudah salah paham."

"Salah paham gimana! Jelas-jelas aku melihat kedekatan kalian!" Alka tetap tidak percaya dengan ucapan adiknya. 

Calista sudah tidak tahan lagi mendengar perdebatan itu. Semakin lama berada di sana akan membuat keadaan semakin runyam.

"Tante, lebih baik saya pulang saja, ya? Saya masih banyak pekerjaan, kasian Papa bekerja sendirian."

Riana menggeleng dengan menatapnya sedih. "Jangan Lista! Mereka ini hanya salah paham. Sini duduklah dulu, jangan buru-buru pulang. Masih banyak hal yang ingin Tante ceritain sama kamu."

Dengan sangat terpaksa Calista kembali duduk di sofa diikuti oleh Riana yang juga menghenyakkan panggulnya di dekat Calista.

"Kalian berdua juga duduk!" Riana menatap kedua anaknya yang masih berdiri sama-sama memasang muka datar.

Mereka menurut dan duduk berhadapan dengan Calista dan juga Riana.

"Sekarang jelaskan pada Mama, kenapa kau tiba-tiba marah pada Calista?" 

Tatapan Riana tertuju pada anak sulungnya, meminta Alka untuk menceritakan apa yang membuatnya emosi.

"Aku mendapati kedekatan mereka berdua berdua," jawab Alka dengan muka datarnya.

Riana membuang napas. "Ya, memang Mama yang meminta Varo untuk menemaninya. Kau sendiri juga sibuk dengan pekerjaanmu sendiri. Apa salahnya jika Varo menemaninya?"

Alvaro mengulas senyuman tipis mendapatkan pembelaan dari Mamanya.

"Tuh, Mama sendiri yang bilang, aku di sini diminta untuk menemani Calista, bukan keinginanku sendiri. Lain kali kalau tidak suka calon istrinya bersama orang lain ya ditemani, jangan diabaikan," balas Alvaro.

Calista hanya diam menunduk. Ia tidak suka dengan sikap Alvaro yang terlalu sembrono. Dengan Alvaro selalu mengganggunya, yang ada semua orang akan menaruh kecurigaan pada mereka.

"Aku sih, nggak masalah kalau kau hanya sekedar mengobrol sama dia, masih aku maklumi. Tapi melihat kedekatan kalian berdua dengan tatapan intens, apa masih dibilang wajar. Kau itu adikku, seharusnya kau bersikap sopan, bukan berlebihan seperti itu!"

Alvaro menahan emosi menghadapi Alka yang selalu saja menyudutkannya.

"Kau bersikap seolah-olah sangat mencintai Calista!" sentak Alvaro kesal. Suasana langsung menegang mendengarnya. 

"Bukankah sejak awal kau menentang perjodohan ini? Lalu kenapa sekarang kau bersikap sangat posesif padanya hanya karena melihat kami lebih dekat?" 

Alvaro menyunggingkan seulas senyum miring melihat wajah Alka mengeras dengan tatapan tajam yang tertuju padanya. 

Atmosfer permusuhan membuat suasana di ruangan itu menjadi tidak nyaman. Kakak-beradik itu masih beradu pandang dengan sengit. 

"Sudah, hentikan ..." Calista mencoba menengahi.

"Apa kau takut kalah dariku?" tanya Alvaro dengan wajah penuh kemenangan. 

"Apa katamu?" 

Alvaro mengedikkan bahu sembari berdiri dari duduknya. "Kalau kau menginginkannya menjadi pendampingmu, sebaiknya perlakukan dia dengan baik atau kau akan menyesalinya."

Setelah berkata demikian, Alvaro beranjak dan melenggang pergi meninggalkan ruang keluarga.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status