“Wah, sama dong. Aku juga berasal dari Pasaman Barat di kenagarian P,” Kintani menjelaskan di tengah rasa terkejutnya, karena dia dan Ridwan ternyata berasal dari daerah yang sama hanya saja berbeda kenagarian. “Oh ya? Kamu di kota ini juga bekerja Kintani?” “Nggak, aku kuliah di sini.” “Kuliah? Kuliah di mana?” kembali Ridwan bertanya. “Di Falkutas Kedokteran Universitas A. Dan sekarang aku udah masuk semester 3.” “Hemmm, calon dokter dong,” ujar Ridwan dengan senyumnya. “Ya, mudah-mudahan cita-citaku itu nantinya tercapai,” harapan Kintani seraya balas tersenyum. “Amin,” ucap Ridwan. Saking asyiknya ngobrol di dalam mobil jazz yang dikemudikan Kintani, tak terasa mereka pun tiba di pasar yang hendak dituju. Setelah memarkirkan mobil dan saling bertukar nomor ponsel, Ridwan pamit untuk lebih dulu masuk ke dalam pasar, sementara Kintani yang memang ingin mencari sayur-sayuran segar serta keperluan untuk memasak pagi itu tidak ikut masuk, karena yang ia cari berada di area luar
Sementara hari minggu itu sekembalinya dari pasar Kintani langsung memasak di kos-kosannya yang berada tidak jauh dari kampus tempat ia kuliah, sebagai anak dari keluarga yang mampu dan berkecukupan mahasiswi cantik fakultas kedokteran itu bukanlah gadis yang manja, meskipun dengan uang yang selalu terisi banyak di rekening dia bisa membeli apa saja termasuk untuk makan-minumnya sehari-hari, tapi Kintani lebih memilih untuk masak sendiri karena sudah menjadi kebiasaan sehari-harinya sewaktu bersama kedua orang tuanya di desa. Masakan seorang Kintani benar-benar lezat seperti umumnya wanita Minang yang memang di kenal pandai memasak, meskipun di zaman modern ini karena pengaruh kebudayaan luar dan perkembangan teknologi sulit ditemui wanita Minang yang serba-bisa seperti masa dahulunya, namun berkat didikan yang benar dari kedua orang tua, budaya dan tradisi serta pembentukan karakter seorang Kintani masih mencerminkan jika dia wanita Minang sejati. “Hemmm, harum sekali. Kamu masak a
Bagi Ridwan kerja lepas di pasar lebih menyenangkan, dan ia pun dapat meliburkan diri kapan saja ia inginkan tampa harus mendapat teguran atau pemotongan gaji seperti mall yang memiliki ketentuan mengikat karyawannya. Meskipun dari segi orang memandang kerja di mall lebih bergengsi dibandingkan bekerja di pasar, namun Ridwan tidak perduli dengan pandangan itu, karena ia lebih mengutamakan kenyaman bekerja di samping juga pendapatan yang tentunya dapat ia peroleh setiap hari. Tak jarang juga Ridwan kembali ke kos-kosannya hingga jam 8 malam, terlebih hari minggu pengunjung pasar sangat ramai dari hari biasanya dan itu memicu toko-toko yang berada di bagian luar petakan pasar buka hingga malam. Ridwan juga telah mengantisipasi hal itu dengan membawa pakaian ganti, sebelum waktu magrib tiba ia telah mandi dan berganti pakaian di salah satu toilet umum yang juga menyediakan kamar mandi di lokasi pasar raya. “Wah, pulang malam lagi nih, Ridwan. Pasar lagi ramai ya?” sapa seorang pria set
Cahaya kemerah-merahan tak terlihat lagi di ufuk barat, begitu pula dengan burung-burung yang tadi berlalu-lalang mencari tempat untuk bermalam, seiring datangnya gelap suara azan magrib pun terdengar di masjid-masjid dan mushola. Sebagian besar masyarakat kenagarian MK sholat berjamah di masjid dan mushola itu, begitu pula dengan Pak Rustam dan Bu Suci.Sekembalinya dari masjid seperti biasa kedua orang tua Ridwan makan malam bersama di meja makan sederhana di ruang tengah, di sana juga terlihat Fitria Adik kandung Ridwan satu-satunya yang tadi sibuk membantu Bu Suci dari memasak hingga menghidangkannya di meja makan itu.“Ayah, Ibu. Tadi siang Uda Ridwan mengirim uang lagi ke rekeningku,” ujar Fitria membuka obrolan di meja makan.“Mengirim uang lagi? Bukankah dua bulan yang lalu Ridwan juga mengirim uang untuk keperluanmu membeli buku-buku pelajaran sekolah?” tanya Bu Suci yang agak terkejut karena tak menyangka putranya berkirim uang lagi untuk Adiknya.“Nggak tahu tuh, Bu. Padaha
“Hemmm, apa sebaiknya aku minta tolong sama Uda Ridwan aja ya, buat nemani aku mencari bahan seragam kuliah itu?” pikir Kintani sambil meraih ponselnya. “Jangan ah, nggak enak. Karena dia pasti lagi sibuk kerja,” gumam Kintani yang merasa ragu untuk menelpon ataupun mengirim pesan pada Ridwan. Rasa ragu dan ingin sekedar menyapa seperti bertarung dalam hatinya, akhirnya rasa ragu itu kalah dan ia pun mencoba untuk menghubungi nomor Ridwan. “Hallo, assalamualaikum,” Ridwan mengangkat panggilan darinya. “Waalaikum salam, maaf ya Uda Ridwan kalau aku mengganggu,” ujar Kintani yang mulai merasa tak enak hati. “Nggak ganggu kok, ada apa Kintani?” “Uda lagi sibuk, ya?” Kintani balik bertanya. “Nggak sibuk-sibuk amat kok, nih baru aja selesai menata barang-barang di toko. Apa ada yang perlu dibantu?” “Kalau Uda ada waktu, boleh nggak temani aku di pasar itu mencari bahan untuk seragam kuliah sekalian nunjukin tempat menjahitnya?” “Boleh, sekarang juga bisa kok. Datanglah aku tunggu
“Berapa Kak untuk dua stel bahan dasar pakaian ini?” tanya Kintani sambil menjinjing bungkusan dua stel bahan dasar pakaian yang tadi dikemas rapi oleh Ria. “Hemmm, kamu cukup membayar modalnya aja,” jawab Ria diiringi senyumnya. “Loh, nggak bisa begitu dong Kak. Kak Ria kan berdagang jika dibayar modalnya aja, gimana Kak Ria akan dapatkan keuntungannya?” “Kan nanti aku masih bisa dapatkan keuntungan berdagang dari pelanggan lainnya, udahlah nggak usah kamu pikirkan itu. Teman Ridwan berarti temanku juga,” tutur Ria sambil menghitung berapa jumlah uang yang harus dibayar berupa modalnya saja untuk dua stel bahan dasar pakaian seragam kuliah Kintani itu. Kintani terpaksa membayar sejumlah uang yang Ria sebutkan, walaupun beberapa kali Kintani berusaha melebihkannya tetapi Ria tak pernah mau menerima. “Gimana Kintani, udah selesai belanjanya?” tanya Ridwan datang menghampiri. “Udah Uda, tapi Kak Ria hanya memintaku untuk membayar modalnya aja,” jawab Kintani merasa tidak enak. “O
“Ada Kintani, di ujung los pasar ini terdapat masjid. Tepatnya di seberang jalan tempat kamu memarkirkan mobil tadi,” jawab Ridwan sambil menunjuk arah masjid yang ia maksud. “Oh, ya udah kalau begitu ayo kita berangkat sekarang. Tuh, azan udah terdengar sekalian aku akan mengambil mukenah yang aku taruh di mobil,” ajak Kintani. “Ya baiklah, kami pamit dulu Tante,” ujar Ridwan. “Iya Ridwan, Kintani. Makasih udah berkunjung kemari,” ucap Winda. “Sama-sama, Tante. Assalamualaikum,” tutur Kintani dan Ridwan berbarengan. “Waalaikum salam,” Ridwan dan Kintani segera meninggalkan taylor itu menuju masjid yang berada di seberang jalan di ujung los pasar raya tak jauh dari tempat parkiran. Seusai sholat zhuhur berjama’ah, Ridwan dan Kintani kembali bertemu di halaman masjid itu. “Nah, karena Uda udah membantuku mencari bahan dasar pakaian dan menunjukan taylor untuk menjahit seragam kuliahku, sekarang aku akan traktir Uda Ridwan makan siang. Di mana tempat makan yang enak di sekitar pa
Kintani mengajak Ridwan duduk di salah satu deretan kursi-kursi yang berhadapan langsung dengan pantai Padang, di depan mereka juga tersedia berbagai macam minum botol di atas meja, akan tetapi karena Ridwan meminta pada pelayan cafe es kelapa muda, Kintani juga ikut memesan hal yang sama. “Di sinilah aku sering duduk bareng teman-teman jika pergi ke pantai ini,” Kintani mengawali percakapan mereka di tepi pantai itu. “Kalau aku lebih seringnya duduk di tumpukan batu-batu itu, akan tetapi sore menjelang tibanya waktu magrib. Kalau sekarang terik matahari masih panas,” tutur Ridwan sambil menunjuk ke arah tumpukan batu-batu besar yang sengaja dibuat menjorok ke pantai. “Emangnya seru ya duduk di tumpukan batu-batu itu?” “Seru Kintani, apalagi melihat panorama saat matahari akan tenggelam.” “Wah, aku juga mau melihat momen saat terbenamnya matahari itu Uda.” “Tapi bisa-bisa nanti kamu kembali ke kosnya udah malam selepas magrib,” ujar Ridwan. “Nggak apa-apa, Uda. Kita kan bisa sh