Share

Bab3 Menunggu Momen

“Wah gawat, kali ini aku tidak bisa berkelit.” kata Kinora sedikit terburu-buru memacu langkah untuk menuju kelas perkuliahan.

Dia tak lagi menghiraukan pak Alman, yang tengah memberikan materi perkuliahan saat itu. Meski detak jantung Kinora kembang kempis karena berjalan dengan terburu-buru, namun dia berusaha tenang mencari tempat duduknya.

“Ehem!”

“Kinora, what are you doing?” ucap pak Alman, mencoba mengintrogasi Kinora yang masih tak percaya kedatangannya secara diam-diam diketahui oleh dosennya itu.

“A … anu Pak, maaf saya terlambat.” sambil menahan malu, dia tetap berdiri dengan posisi tangan yang mengepal karena cemas.

“Ok, I don’t know what you think this morning, out please!” seketika pak Alman menyuruh Kinora keluar dari kelas, karena keterlambatan hampir tiga puluh menit.

Kali ini Kinora tidak beruntung, dia langsung keluar dari kelas dan memutar arah menuju kantin kampus.  Dia memesan beberapa menu sarapan pagi, dalam hatinya masih menyisakan rasa malu bercampur resah, mengingat perkuliahan hari itu adalah salah satu mata kuliah favoritnya, dengan dosen yang juga kompeten dalam hal tersebut. Selain itu Kinora merasa, sudah ketinggalan jauh untuk materi perkuliahan, yang diberikan oleh pak Alman sebab Kinora sempat absen gara-gara sakit tipes.

“Gila! pake acara telat.”umpat Kinora saat akan mencicipi sarapan paginya.

“Sudah tau aku beberapa kali tidak mengikuti perkuliahan, tapi malah begini!” jerit gadis berambut hitam legam panjang terurai tersebut.

Apalah daya, kejadian itu telah usai, dan Kinora hanya bisa pasrah menerima nasib, kalau hari itu dia benar-benar terlambat memasuki kelas. Tangannya tak berhenti memainkan sedotan hitam, dengan gerakkan mengaduk minuman tak tentu arah. Kinora tampak menghela napas panjang agar pikirannya kembali waras.

Senyum seakan menghilang usai kejadian di kelas tadi, tiba-tiba dari arah depan Ayora melirik ke arah Kinora yang tengah tidak bersemangat.

“Kinora!”

“Hai, Kinora. Ada apa denganmu?”

Rupanya Kinora tidak terlalu mendengarkan suara di sekitarnya, dia hanya tampak sibuk berpikir menerawang, memanjangkan angan-angan agar dia bisa secepatnya menyelesaikan tugas akhir, dan bersiap untuk meninggalkan dunia perkuliahan.

“Ya ampun Kinora, dari tadi Aku panggil-panggil kamu diam saja.”

“Ada apa denganmu? ayolah kejadian di kelas tadi hanya ketidak beruntungamu saja hari ini.” ucap gadis bertubuh tinggi semampai yang kebetulan idola para lelaki di kampusnya.

“Ya tuhan, rasanya aku ingin menghilang saja saat Pak Alman memarahiku di hadapan puluhan mahasiswa.”

“Aku juga merasa telah banyak ketinggalan materi perkuliahan yang diberikan Pak Alman.” ungkap Kinora pada sahabatnya Ayora seketika.

“Ya, ya, ya …. aku tau itu.”

“Tapi apa dengan bersikap berlebihan begin,i masalahmu akan berkurang? aku rasa No.” imbuh Ayora guna menyemangati Kinora yang sepertinya kehilangan percaya dirinya.

Ada saatnya, dimana Kinora terlihat begitu serius dengan kegagalan yang dihadapinya, namun Kinora lebih sering menampakkan senyum indah nan memikat. Entah mengapa, kali ini dia begitu gusar, seakan kejadian pengusiran di kelas adalah tragedi berdarah dalam hidupnya.

Kinora lalu memilih pulang ke rumah untuk menenangkan diri, wajah sendu kentara menghiasi ronanya. Kinora sang putri kesayangan, memang begitu lembut hati. Dia jarang mengungkapkan perasaannya pada keluarga. Dia adalah tipe perempuan kalem, namun tangguh menghadapi segala persoalan hidup.

Sedari kecil Kinora sering merasa, kedua orang tuanya terlalu sibuk mengurusi pekerjaan mereka masing-masing. Di saat seperti itu Kinora hanya berteman dengan seekor kucing Persia miliknya, dan beberapa orang asisten rumah tangga. Rasanya tidak perlu, mengungkapkan keluh kesah apapun kepada mereka, yang penting bagi Kinora adalah orang tuanya selalu memenuhi kebutuhannya untuk melukis, sebab Kinora memiliki hobi melukis dari kecil.

Keluarganya yang terpandang di kota tersebut, memang tak diragukan lagi reputasinya. Memiliki perusahaan ternama, dengan berbagai bisnis lainnya membuat Kinora tidak pernah mengalami kesulitan ekonomi. Dia nyaris memiliki kehidupan sempurna, dengan apa yang telah dia dapatkan dari kekayaan tersebut.

Sang pewaris perusahaan dan bisnis itu merasa hidupnya bukan untuk bisnis, tetapi dia ingin sekali mewujudkan mimpinya, untuk menjadi seorang designer ternama, menyadari bakatnya ada di design dan seni melukis dia yakin akan keputusan yang dia pilih nantinya. Perjalanan itu tak akan mudah, karena sang ayah tak pernah merestui niatnya menjadi seorang designer.

Gurita bisnis keluarga Kinora memang membutuhkan pewaris, pewaris yang siap mengembangkan segalanya. Kinora sering merasa tak sepaham dengan ayah dan ibunya, yang selalu mengarahkannya ke dunia bisnis. Kegiatan yang tidak disukai KInora yaitu berbasa- basi pada investor merayu mereka untuk mau menanamkan saham, hal ini berbanding terbalik dengan ke piawaian sang ayah, dalam berbisnis puluhan tahun.

Selama perjalanan, wajah serius Kinora masih terpasang diliputi kegalauan hati yang luar biasa. Kinora khawatir, ayahnya semakin memaksa dia untuk menekuni dunia bisnis. Terlebih sampai saat ini, Kinora masih berusaha membuktikan bila dirinya mampu merintis kesuksesan, sebagai seorang designer ternama.

“Fiuh … aku bersiap untuk jadi bulan-bulanan Papa.”

“Kalau aku tidak bisa membuktikan kemampuanku untuk menjadi seorang designer, tamatlah aku.” kata-katanya mulai tak terkontrol. Pikiran Kinora dipenuhi kecemasan bahwa sang ayah akan benar-benar memaksanya menekuni bisnis.

“Tak akan aku biarkan Papa memaksakan kehendaknya lagi padaku.” gumam Kinora melampiaskan kegundahan hatinya dan sesekali memukul stir mobilnya.

Kondisi hujan yang begitu deras, membuat jarak pandang Kinora menjadi terbatas. Siang beranjak sore tepatnya pukul 17.05Wib hujan tiba-tiba mengguyur kota dan seisinya. Kinora sangan berhati-hati membawa mobil tunggangannya. Sampai sesat terdengar suara gaduh, bercampur gemuruh yang datang saat itu.

"Sialan!"

"Apa jalanan ini milik Ibumu?" teriak seorang pria dari jarak tak terlalu jauh dari laju kendaraan Kinora.

“Turun! Kau akan tau berurusan dengan siapa kali ini.”

"Sorry, aku tak sengaja."terang Kinora sambil tergesa-gesa menepikan mobil miliknya dan bergegas turun.

"Maafkan aku." mata sayu Kinora terlihat memohon maaf dengan tulus.

Sorot mata tajam nan bringas, terpancar jelas di raut pria bertubuh kekar tersebut. Tak henti dia mengumpat Kinora, karena tubuhnya terkena cipratan air hujan.

“Waduh, apa yang harus aku lakukan?” tanya Kinora polos sambil berusaha membersihkan baju pria itu.

“Hei, wanita teledor. Jangan kau sentuh aku!” lagi-lagi pria itu tak terima atas perlakuan Kinora terhadapnya.

“Maaf …. Maaf!”

“Aku tak bermaksud kurang ajar padamu, aku hanya ingin membantu membersihkan pakaianmu.” ungkap Kinora mencoba menjelaskan.

Ternyata diketahui pria itu ialah Lovrin si tengil. Tingkahnya memang selalu memunculkan kejengkelan, bagi yang baru bertemu dengannya. Sang dewa penghancur hati dengan omongan-omongan yang terdengar spontan, namun cukup kasar tentu saja membuat siapapun yang bertemu pertama kali, akan malas berurusan dengannya. Bisa jadi ini juga termasuk ketidak beruntungan Kinora, yang terpaksa harus bertemu pria menyebalkan seperti Lovrin.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status