Share

Diputuskan Pacar

Dering ponsel yang tiba-tiba berbunyi, membuat Ayya terpaksa terbangun dari tidurnya. Dengan gerak malas dan mata yang masih sembab, ia berusaha meraih ponselnya di samping kepalanya. Dikerjap-kerjapkannya matanya lagi, supaya pandangannya menjadi jelas. Setelah itu, ia terbangun, tepatnya saat mendapati nama sang kekasih muncul di layar ponsel tersebut.

"Halo, Randy," sapa Ayya pada pria itu.

"Hai, Ayy. Selamat pagi," balas Randy dari kota nun jauh sana.

Sejenak, Ayya terdiam. Lalu, setelah beberapa saat ia kembali berkata, "Kamu apa kabar, Randy?"

"Baik, Ayy. Kamu sehat, 'kan?"

"Ya, aku sehat."

Ayya menghela napas. "Aku pikir kamu kenapa-napa."

"Tidak, Ayy."

"Ya, syukur Alhamdulillah. Ada apa? Kenapa kamu baru menghubungi aku?"

"Ayy?"

"Ya?"

"Kita ... kita berpisah saja."

Berpisah? Sebuah permintaan yang sebenarnya sangat berat untuk dikabulkan. Tentu saja, membuat hati Ayya yang sudah lara akan semakin pilu. Permintaan Randy seperti petir dadakan yang datang, tak peduli dengan waktu yang masih pagi hari. Namun, ia tidak bisa menolak permintaan itu. Ia tahu posisi dirinya saat ini.

Ibarat sudah jatuh, tertimpa tangga pula, Ayya yang malang. Dengan buliran air mata yang menetes di pipinya, juga cengkeraman kuat tangannya pada bantal yang ada di samping, gadis itu berusaha untuk tetap tegar. Meski, ingin sekali mendatangi Randy detik itu juga dan langsung menampar keras pipi pria itu, tetapi apa mau dikata, keinginannya hanya sebatas khayal belaka. Lantas, Ayya bisa apa, selain berpasrah dan menerima?

"Baiklah ...," ujar Ayya setelah sebelumnya berusaha menguatkan hati dan dirinya.

"Ayya, maafkan aku. Aku--"

Gadis yang seharusnya masih duduk di bangku SMA itu mencoba mengulas senyuman, meski ia tahu Randy tidak dapat melihatnya sama sekali. "Iya, aku enggak apa-apa kok."

"Kamu jangan nangis, ya?"

"Hmm? Memangnya kamu siapa, sampai aku harus menangisi keputusanmu?"

"Ah, ya, benar. Aku ... aku bukan orang yang seberarti itu untukmu."

"Baiklah, Randy. Aku ada urusan, mari kita tutup perbincangan ini. Ah, ya, terima kasih selama satu tahun, kamu sudah menemani hari-hariku."

"Ayya?"

"Ya?"

"Kamu yang tabah, ya?"

"Tentu, aku ini orang yang kuat. Bye, Randy! Semoga hidupmu enggak hancur seperti hidupku."

Panggilan suara itu dimatikan secara sepihak oleh Ayya. Namun bukan berarti ia kuat atas segala keputusan Randy. Setelah sebelumnya menyudahi perbincangan itu, ia mendadak lemas. Badannya meluruh dan jatuh tengkurap di atas kasur keras itu. Ia membuang ponselnya secara sembarangan. Tangisan pilu tidak dapat dibendung lagi. Satu tahun menjadi waktu yang sia-sia.

Padahal, ia memikirkan keindahan di masa depan bersama Randy. Ia ingin lulus sekolah bersama pria itu, lalu dengan lantang mengucapkan kalimat indah tentang kelulusan. Baru setelah itu, mereka akan mengenyam pendidikan di perguruan tinggi yang sama. Namun sekarang tinggal bayang-bayang saja. Untuk merasa tidak adil pun sudah percuma, Tuhan menakdirkan jalan seperti saat ini untuk dilalui oleh Ayya dan keluarganya.

Beberapa saat kemudian, terdengar suara kamar Ayya yang tengah diketuk oleh seseorang. Dengan sigap, ia mengusap air matanya, tidak ingin jika sampai membuat orang tuanya tahu, apalagi justru menambah kekhawatiran di hati mereka. Ia bergegas turun dari ranjang ala kadarnya tersebut, kemudian berjalan menuju pintu kamar yang masih tertutup. Setelah sampai di sana, Ayya lantas membukanya.

"Iya, Pa," ujar Ayya pada Pak Raden yang ternyata pelaku pengetuk pintunya.

Pak Raden memberikan usapan lembut di kepala Ayya. "Selamat pagi, Sayang," sapa pria paruh baya yang baru saja mengalami kebangkrutan usaha tersebut.

"Pagi, Pa. Ada apa?"

"Ayo kita sarapan."

Dahi Ayya mengernyit. "Memangnya ada makanan?"

"Alhamdulillah masih ada. Untuk sekadar makan pun ada."

"Dan juga akan habis kalau enggak kerja-kerja." Ayya mengambil langkah pergi, mengabaikan sang ayah yang sudah rela datang menjemputnya untul bersantap pagi bersama.

Apa yang bisa dilakukan, kecuali merintih diam-diam? Begitulah yang saat ini bisa dilakukan oleh Pak Raden. Rasa bersalahnya pada kedua anggota keluarga masih sangat membekas begitu jelas. Usahanya bangkrut dalam sekejap, perusahaan diakusisi oleh perusahaan lain. Baru sebatas itu yang ia tahu. Tentang siapa dalang penggelapan dananya, ia sama sekali belum mengetahuinya.

Dengan langkah gontai, Pak Raden menyusul sang putri. Menuju meja makan yang ada di dapur rumah itu. Terlihat di sana, Ayya sudah menuangkan nasi ke dalam piring bersama lauk ayam dan sajian sayur kangkung. Ia bersama Ibu Medina, dan tentu saja ibunya itu masih sering menggerutu. Dulu, menu makanan begitu lezat, bergizi, dan pasti berasal dari sumber yang bersih serta terjaga kuantitas dan kualitas. Kini, mereka hanya membeli dari tukang sayur biasa.

"Mama, kenapa sih?!" tanya Ayya ketika sudah jengah dalam mendengar gerutu berisik sang ibu.

"Kesal!" sahut Ibu Medina.

"Kenapa bisa kesal?"

"Hidup kita sudah kacau, Sayang! Ini berat buat Mama!"

Ayya menghela napas dalam. "Berat juga buat aku dan Papa, Ma!"

"Maaf." Hanya itu kata yang keluar dari mulut Pak Raden. Setelah akhirnya, ia menelan saliva dengan berat. Lantas, apa lagi yang bisa dilakukan agar ia bisa mengembalikan kehidupan yang jaya? Jika istrinya terus seperti itu, mungkin lama-lama ia juga tidak bisa bertahan dengan rasa sabar. Padahal, hari ini ia mengupayakan menu ayam sebagai lauk yang cukup mewah ketika berada di kondisi seperti sekarang.

Melihat sang suami sudah terlihat oleh matanya, Ibu Medina memilih diam. Meski tidak dapat dipungkiri bahwasanya rasa kesal masih jelas bersarang di dalam hatinya. Sebenarnya, ia selalu berupaya untuk tetap bersabar, tetapi rasa sakit dan syok terus menghadang keinginan baiknya itu. 

Banyak kenangan indah dari kehidupannya dulu. Setiap sabtu pagi, ia akan berkumpul dengan geng sosialita. Sedangkan, minggu paginya, ia akan berjalan-jalan bersama suami dan anaknya. Membayangkan kenangan yang tinggal mengenang, rasa ingin menangis pun mencuat dari dalam dirinya. Tidak jarang, ia menyantap hidangan bersama air mata yang keluar dari pelipis mata indahnya.

"Kamu besok mulai sekolah, Ayya," ujar Pak Raden sembari menghaluskan makanan di dalam rahang.

"Apa?" Ayya menghentikan gerakan tangannya, dahinya mengernyit lantaran heran. "Bagaimana bisa? Papa ambil uang sisa itu buat daftar sekolah baru?"

Dengan berat, Pak Raden mengangguk. "Iya, kamu harus sekolah."

"Terus? Setelah ini kita makan apa, Pa?! Untuk apa juga Ayya sekolah, kalau kondisi kita kekurangan seperti ini?"

"Hanya kamu harapan kami satu-satunya, Nak. Kamu harus sekolah, Papa berjanji secepatnya akan bekerja."

"Kapan?"

Pak Raden terdiam, sedangkan sang istri sudah memasang wajah semakin masam. Pertanyaan dari Ayya sudah seperti belati yang menusuk jantung ayahnya. Karena Pak Raden juga belum tahu, kapan pekerjaan bisa ia dapatkan. Sementara Ayya masih perlu mengenyam pendidikan. Alhasil, mencari jawaban tertepat pun takkan terlaksana dengan baik.

"Pa? Papa sudah mendaftarkan Ayya?!" tanya Ayya lagi, kali ini dengan nada lebih tinggi.

Pak Raden menggeleng. "Belum, tapi besok kamu dan Papa bisa menuju sekolah itu. Kita daftar, ya? Berkas kepindahan sudah diatur oleh Paman Anwar.”

Tiba-tiba, Ayya berdiri dari duduknya. Ia menyudahi sarapan pagi ini detik itu juga. Dengan gelagat tak baik, ia berkata, "Pa, Ayya tidak perlu sekolah! Tidak ada uang! Dan Ayya akan cari kerja. Jadi, lupakan saja tentang sekolah!"

"Apa maksud kamu, Ayy?" Ibu Medina menimpali. "Kamu pikir mencari pekerjaan itu gampang?"

"Ayya tidak peduli. Sekarang, sekolah hanya buat menghambur-hamburkan uang saja. Ayya akan benar-benar mencari kerja sampai dapat, lupakan tentang sekolah! Pokoknya lupakan! Titik!" 

Setelah itu, Ayya mendorong kursi ke belakang dengan keras. Detik berikutnya, ia mengambil langkah cepat untuk pergi dari tempat itu. Ia meninggalkan kedua orang tuanya yang masih tidak habis pikir dengan pemikirannya. Anak itu masih di masa-masa labil. Entah apa yang akan terjadi setelah ini.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status